Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Badut Kursi

21 September 2016   16:59 Diperbarui: 22 September 2016   07:55 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: picclick.ca

Bila melihat gerak-geriknya, takkan ada yang mengira bahwa ia seorang badut. Tetanggaku itu perawakannya ringkih. Air mukanya muram. Kemarau seakan baru saja menghampiri bibir keringnya yang tak pernah tersenyum. Bila berpapasan dengannya, dunia berubah menjadi kelabu di mataku.

“Mengapa Bapak selalu muram?” tanyaku pada satu waktu.

Ia menatapku ganjil. “Untuk apa kau bertanya?” Lelaki itu balik menanyaiku.

Kata-kata berhenti di ujung lidahku. Rasa malu menyergapku. “Mmm.. sekadar ingin tahu,” jawabku tak enak hati.

Sekarang, ia melihatku seperti seorang pengganggu. Lelaki itu bergumam tak jelas dan mulai mengemasi kostum, make up dan perlengkapan badut miliknya di teras rumah. Padahal, hari masih sangat pagi.

Pak Mardi berbeda dengan badut lain yang pernah kulihat. Mulai pagi hingga nyaris malam, ia mengais rezeki di perempatan jalan sebelum taman kota. Berubah lakon menjadi badut yang duduk di sebuah kursi tua. Hal itu berlangsung sejak aku remaja, mulai mengenal cinta monyet, hingga menikahi istriku dan memboyongnya ke rumah warisan almarhum ayah yang kutempati hingga saat ini.

Istriku tak kalah herannya denganku. Perempuan cerdas itu selalu bertanya tentang lelaki tetangga kami itu. Mengapa Pak Mardi hanya tinggal sendiri? Mana anggota keluarganya yang lain? Badut kok cuma duduk di kursi? Terkadang, aku sampai kelabakan menjawab rentetan pertanyaannya. Tapi justru itu yang dulu membuatku terpesona setengah mati pada perempuan itu-selain betis indah dan lekuk tubuhnya yang semampai itu tentunya.

Bukannya aku tak peduli dengan tetangga sebelah rumah. Tapi apa mau dikata? Sedikit pun aku tak tahu apa-apa tentang Pak Mardi. Begitu juga dengan orang-orang di lingkungan kami. Lelaki itu tak pernah bercerita tentang dirinya. Tertutup. Dunianya hanya rumah dan perempatan. Kami cuma mengenalnya sebagai Pak Mardi si badut kursi.

***

Suatu siang, istriku meneleponku saat jam pulang kantor. Ia memintaku menjemputnya sekaligus mengajakku mampir ke taman kota. Kantor kami letaknya berdekatan. Aku tersenyum saat mematikan telepon genggam. Hari ini, pernikahan kami genap berumur lima tahun. Perempuan itu pasti ingin memberikan kejutan.

Kulirik jam di dinding. Saatnya pulang. Semoga sore ini aku bisa pulang tepat waktu. Namun, baru saja aku beranjak dari kursi, suara berat segera menegurku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun