Bila melihat gerak-geriknya, takkan ada yang mengira bahwa ia seorang badut. Tetanggaku itu perawakannya ringkih. Air mukanya muram. Kemarau seakan baru saja menghampiri bibir keringnya yang tak pernah tersenyum. Bila berpapasan dengannya, dunia berubah menjadi kelabu di mataku.
“Mengapa Bapak selalu muram?” tanyaku pada satu waktu.
Ia menatapku ganjil. “Untuk apa kau bertanya?” Lelaki itu balik menanyaiku.
Kata-kata berhenti di ujung lidahku. Rasa malu menyergapku. “Mmm.. sekadar ingin tahu,” jawabku tak enak hati.
Sekarang, ia melihatku seperti seorang pengganggu. Lelaki itu bergumam tak jelas dan mulai mengemasi kostum, make up dan perlengkapan badut miliknya di teras rumah. Padahal, hari masih sangat pagi.
Pak Mardi berbeda dengan badut lain yang pernah kulihat. Mulai pagi hingga nyaris malam, ia mengais rezeki di perempatan jalan sebelum taman kota. Berubah lakon menjadi badut yang duduk di sebuah kursi tua. Hal itu berlangsung sejak aku remaja, mulai mengenal cinta monyet, hingga menikahi istriku dan memboyongnya ke rumah warisan almarhum ayah yang kutempati hingga saat ini.
Istriku tak kalah herannya denganku. Perempuan cerdas itu selalu bertanya tentang lelaki tetangga kami itu. Mengapa Pak Mardi hanya tinggal sendiri? Mana anggota keluarganya yang lain? Badut kok cuma duduk di kursi? Terkadang, aku sampai kelabakan menjawab rentetan pertanyaannya. Tapi justru itu yang dulu membuatku terpesona setengah mati pada perempuan itu-selain betis indah dan lekuk tubuhnya yang semampai itu tentunya.
Bukannya aku tak peduli dengan tetangga sebelah rumah. Tapi apa mau dikata? Sedikit pun aku tak tahu apa-apa tentang Pak Mardi. Begitu juga dengan orang-orang di lingkungan kami. Lelaki itu tak pernah bercerita tentang dirinya. Tertutup. Dunianya hanya rumah dan perempatan. Kami cuma mengenalnya sebagai Pak Mardi si badut kursi.
***
Suatu siang, istriku meneleponku saat jam pulang kantor. Ia memintaku menjemputnya sekaligus mengajakku mampir ke taman kota. Kantor kami letaknya berdekatan. Aku tersenyum saat mematikan telepon genggam. Hari ini, pernikahan kami genap berumur lima tahun. Perempuan itu pasti ingin memberikan kejutan.
Kulirik jam di dinding. Saatnya pulang. Semoga sore ini aku bisa pulang tepat waktu. Namun, baru saja aku beranjak dari kursi, suara berat segera menegurku.