“Pak Andi, jangan pulang dulu. Tolong siapkan dokumen bla... bla... bla...” Ingin aku berteriak protes kepada sumber suara itu. Namun suara dan wajah pemiliknya sama dinginnya. Pertanda tak ingin dijawab, apalagi mendengar bantahan.
Wajah berkumis lebat itu tak bergeming meski sorot mataku memohon. Lagi-lagi usahaku karam. Sia-sia seperti hari-hari sebelumnya. Pemilik tubuh tambun itu berbalik tak acuh ke ruangannya. Meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi. Momen istimewa kali ini sepertinya akan berakhir tak mengenakkan.
Saat mengirim pesan ke nomor istriku, aku sudah siap diserbu beragam omelan. Benar saja, pesan balasan tiga layar penuh dari perempuan itu muncul 2 menit kemudian. Kemarahan dan kekecewaan diwakili tanda seru bertaburan di sana. Maklum saja, bukan sekali ini aku mengecewakannya. Berulangkali, hingga aku lupa banyaknya. Semua gara-gara si bos besar itu.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menyelesaikan pekerjaan dadakan dengan tergesa-gesa. Kuharap kemarahan perempuan itu segera berlalu. Kukirimkan sebuah pesan singkat. Tunggu aku di taman kota.
***
Sebelum memasuki taman kota, aku harus melewati perempatan itu. Tempat badut kursi mengais rezeki. Itu dia. Duduk termenung di sebuah kursi kayu yang mulai lapuk didera cuaca. Entah mengapa, kursi itu selalu mengingatkanku pada masa kanak-kanak di sekolah dasar. Masa itu aku harus berbagi duduk tanpa perselisihan. Apalagi iri dengki karena kepentingan.
Kupelankan laju mobilku. Badut kursi menatap lurus ke depan. Kostum lusuh yang melekat di tubuhnya kontras dengan wig keriting kuning keemasan yang dikenakannya. Membuatnya terlihat jauh berbeda. Hidung bulat melengkapi riasan wajah badut periang itu. Tak ada yang pernah tahu mimik asli sang badut. Apakah dia benar-benar sedang tersenyum saat memerankan lakonnya, atau justru sebaliknya. Termasuk juga aku.
Ketika kubunyikan klakson, Pak Mardi hanya menatap mobilku sekilas. Seseorang melemparkan uang receh dalam kaleng yang berada di pangkuannya. Perhatiannya beralih ke orang itu. Bibir badut bergerak sedikit. Mungkin mengucapkan terima kasih. Mungkin juga mengucap syukur kepada Sang Maha Murah. Aku tak tahu. Terpenting, aku harus segera tiba di taman kota. Sebelum hari ini harus berakhir dengan pertengkaran.
***
Senyum sinis menyambutku sepuluh menit kemudian. “Berapa kali lagi aku harus menunggumu?” Perempuan bersetelan blazer itu terlihat kesal. Menanti hingga dua jam tentu saja membuatnya uring-uringan. Apalagi bagi orang yang letih sepulang dari bekerja.
“Maafkan aku. Semua ini bukan mauku.” Kucoba bicara lunak kepada perempuan itu. Setenang mungkin. Padahal kecemasan sudah bertalu-talu di jantungku.