Kuhela nafas panjang lalu perlahan mengangguk. “Ya, Pak.” Bersamaan dengan jawabanku, sesal menggerogoti pikiranku bagai ngengat. Sementara itu, suara tawa terbahak-bahak bergaung dalam ruangan itu. Aku telah memuaskannya.
***
Malam harinya, aku gagal menghadirkan senyum di bibir istriku. Ragaku benar-benar letih. Mungkin karena seluruh pikiranku terkuras demi memuaskan si bos besar. Mungkin juga karena harus berdebat melawan nurani demi menukar jiwaku dengan kesesatan. Entahlah. Yang pasti aku lega luar biasa ketika perempuan itu akhirnya tertidur setelah ia menghakimiku dengan kekecewaan.
Tubuhku berbaring telentang menatap langit-langit rumah. Seringai iblis, tawa lebar penuh kepuasan dan anggukan dariku berseliweran di sana. Bergantian dengan sederet angka yang bergulir kian cepat. Semuanya bagai tayangan film yang terus berputar di kepalaku. Membuat kepalaku pusing bukan kepalang. Semakin lama semakin berat dan akhirnya membawaku jauh ke alam mimpi.
Langit siang membara. Aku sedang berjalan-jalan tak tentu arah. Lalu bertemu badut kursi di perempatan sebelum taman kota. Lelaki itu mengajakku duduk bersamanya. Meski kursi tua itu nyaris tak muat, kami berdua cukup puas berbagi. Bersabar menanti orang yang lewat. Barangkali ada yang tergerak melemparkan receh ke dalam kaleng. Hampir tanpa sepatah kata. Keakraban itu tercipta walaupun tak terucap.
Mendadak suara riuh dari ujung jalan mengganggu ketenangan kami. Ternyata sekelompok petugas penertiban sedang melakukan razia di trotoar. Aku mengajak sang badut segera melarikan diri. Tapi ia diam saja. Kutarik lengannya kuat-kuat. Tapi badut tak bergeming sedikit pun. Terlambat. Mereka sudah mengepung kami.
Seorang petugas berkacak pinggang. “Ayo, ikut kami ke kantor!” bentaknya kepada Pak Mardi tetanggaku. Kelihatannya ia komandan kelompok itu. Tubuhnya paling tambun dibanding yang lain. Tapi astaga! Setelah kulihat-lihat lagi dengan seksama, itu si bos besar!
Badut kursi tak menggubris bentakan itu. Anehnya, para petugas itu tak menghiraukanku. Seolah-olah aku tak berada di situ. Mereka hanya peduli dengan badut. Mereka menghardik dan memperoloknya. Menjadikannya bulan-bulanan kata-kata. Tapi badut kursi tetap bertahan dalam diam. Hingga seorang dari mereka merampas kursi tuanya dengan kasar.
Belum pernah kulihat reaksi sekeras itu dari lelaki yang bertahun-tahun menjadi tetanggaku itu. Ia meraung dan mengamuk. Lalu berusaha merampas kembali kursi yang direbut darinya. Petugas yang diserang terkejut. Kursi segera berpindah tangan kembali ke pemiliknya. Tapi petugas yang lain tak tinggal diam. Mereka meringkus badut kursi. Aksi mereka mendapat perlawanan keras. Saling tarik terjadi. Riuh. Badut kursi melawan mereka seorang diri.
Perlawanan badut kursi membuatku terpaku. Mungkin juga terpukau. Meski berakhir tak seimbang. Badut kursi mulai pasrah kehabisan tenaga. Kostumnya robek di sana sini. Perlawanan terakhir malah mengakibatkan tubuh ringkihnya terkapar di trotoar.
Dari sela-sela tubuh petugas, aku melihat badut yang bernafas kepayahan. Wig dan hidung bulatnya terlempar entah ke mana. Riasannya pudar oleh keringat dan air mata. Aku terpana. Itu adalah wajahku.