Ketika aku menyampaikan niatku, lelaki itu malah mencegahku. Kemarahan menyala-nyala dalam pandangannya.
“Kau ingin meninggalkanku? Bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa kita akan bersama-sama membunuh rindu milikmu?”
“Itu dulu,” bantahku. “Sekarang, aku justru menemukan rindu itu dalam sorot matamu. Kau menyiksaku!” Aku mulai tersedu.
“Kita bisa mengatasinya,” bujuk lelaki itu, “percayalah padaku.”
“Tidak, aku harus pergi. Sebelum rindu itu membunuhku. Kecuali… kau bisa membunuh rindu itu selamanya dari dirimu.”
Lelaki itu mendesah. “Maafkan aku, aku takkan bisa. Aku telah merindukanmu. Kau tahu artinya? Aku mencintaimu.”
Aku menyeka air mataku. “Kau sudah mengakuinya. Sekarang, biarkan aku pergi. Aku akan mati bila terus berada di sisimu.”
“Mengapa harus pergi? Kita bisa menikmati rindu itu bersama-sama. Ini rindu kita, milik kita,” bujuk lelaki itu.
“Kau mengingkari janji,” sergahku marah. “Aku berada di hutan ini untuk pergi sejauh mungkin dari rindu. Bagaimana mungkin kau menawarkan padaku untuk menikmatinya?”
Lelaki itu meraih kedua tanganku. “Kau bisa mencobanya demi aku. Jika kau masih bersikeras pergi, maka aku yang akan mati,” ancamnya. Lelaki itu melepaskan genggamannya dan mengambil sebuah tombak, “aku akan membunuh diriku sendiri dengan ini.”
“Jangan!” cegahku. Aku menubruk tubuh lelaki itu, menahan tangannya agar tak mengayunkan tombak. “Baiklah, aku akan menunggu hingga kau berhasil membunuh rindu itu. Berjanjilah, kau akan melakukannya untukku.”