“Dulu, aku juga datang ke hutan ini untuk hal yang sama. Aku meninggalkan orang-orang di sekitarku.”
“Mengapa?”
“Karena wajah-wajah mereka mengingatkanku akan rindu. Tapi… rindu yang kumiliki mungkin berbeda denganmu.”
“Berbeda? Jelaskan padaku.”
“Setiap melihat mereka, aku didera kerinduan untuk melenyapkan senyum dan tawa di bibir-bibir mereka.”
Aku menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir lelaki itu. Menunggu dengan sabar kelanjutan ceritanya.
“Mereka telah membakar seisi rumah dan orangtuaku. Menjadikanku sebatang kara. Setiap melihat wajah-wajah mereka, pikiranku hanya dipenuhi kerinduan untuk melenyapkan wajah-wajah itu dari muka bumi.”
“Sungguh malang nasibmu…” desisku haru. Tak kusangka, aku menemukan seseorang yang ingin membunuh rindu dalam hutan ini, sama sepertiku.
“Lalu.. rindu apa yang kau miliki?”
“Entahlah, aku tak tahu harus menamakannya apa. Hampir mirip denganmu, setiap melihat wajah-wajah manusia, rasa rindu begitu menyiksaku. Karena tak mampu membunuhnya, maka aku terus berlari.”
“Kau tak merasa letih?”