Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Eu Te Amo

26 Januari 2016   02:52 Diperbarui: 26 Januari 2016   17:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keajaiban dalam sebuah lorong, demikianlah aku menamakan kita kala tawa dan kegembiraan mulai membingkai kebahagiaan yang hadir begitu saja. Sosokmu memang masih sebatas lintasan-lintasan imaji sebab ruang untuk bertemu nyaris mustahil (meski itu bukan berarti tak mungkin). Seiring waktu, kita telah memercayai bahwa suatu hari kelak akan tiba masa untuk menyatukan rindu. Ketika itu terjadi, salah satu dari kita akan kehilangan keberanian untuk berkata tidak dan kemungkinan besar itu adalah aku.

Kaulah yang pertama kali mengumpamakan, bahwa kita adalah sepasang insan yang sedang berjalan menyusuri sebuah lorong. Lorong tak berujung, kataku selalu. Jalani saja karena kita takkan pernah tahu apa tahu apa yang akan menanti di akhir, debatmu (kau selalu menambahkan bahwa aku bisa terus atau kembali ke awal dan kau akan mengantarkanku). Perselisihan kita tentang hal itu biasanya berakhir dengan keributan “kecil” yang berujung sesal (kau akan menghubungiku, berpura-pura tak terjadi apa-apa sementara aku terisak karena sedih).

Pilihan yang kau tawarkan itulah pemicu keraguanku yang sesungguhnya. Sebenarnya, kau benar-benar menginginkanku atau sedang meletakkan bom waktu di tanganku? Seperti biasa, kau tak pernah memberiku kesempatan mereka-reka bimbang milikku. Kau akan mengatakan bahwa kau mencintaiku (kalimat yang justru membuatku bersembunyi dalam kepompong benakku). Aku belum pernah memberitahumu bahwa kebingungan adalah hal yang paling kutakuti di dunia ini. Kau pasti akan tertawa jika aku mengatakannya karena bagimu, hidup adalah lelucon−maka nikmati saja. Berbeda denganku yang akan mengerutkan dahi ketika bertemu dengan kemungkinan-kemungkinan yang berpeluang menyakitiku.

Pahit. Kupikir itu soalnya. Kita berasal dari kepahitan yang nyaris sama rasa, namun berbeda baik waktu dan kisahnya. Mungkin itulah mengapa kita tak serupa pemikiran ketika menyusuri lorong yang menuju entah. Tatkala keinginan-keinginan mulai memenuhi benakmu, justru aku dipenuhi ketakutan tak mampu memenuhinya sehingga kita akan saling melukai, sama seperti kisah-kisah yang terus berulang di banyak belahan bumi.

“Kita baru saja mulai.” Suaramu terdengar gusar pada suatu siang.

“Lorong itu takkan berujung.” Entah mengapa, aku menangkap kegetiran dalam suaraku sendiri.

“Kau selalu mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi.”

“Belum, tapi pasti terjadi.”

“Biarkan takdir yang menuntun kaki-kaki kita.”

“Aku takut...”

“Kau menyayangiku?”

“Kau selalu menanyakannya.”

“Keragu-raguan perasaanmu hanya akan menyakitimu.”

“Baiklah, aku menyayangimu.”

“Kau mencintaiku?”

“Haruskah aku menjawabnya sekarang?”

“Hmmm… pahamilah, aku menyayangimu. Mencintaimu lebih dari makna cinta yang pernah kau pahami dalam hidupmu. Tulus, terlepas dari kau mencintaiku atau tidak.”

“Kau bebas mengungkapkan rasamu. Hatimu. Bagaimana denganku?”

“Kita serahkan saja pada waktu.”

“Entahlah…”

“Katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar kau percaya?”

Kemarahan dalam suaramu membuatku gentar.

“Ini keliru…”

“Lalu, apakah perasaanmu padaku keliru?”

“Jangan desak aku…”

“Jujurlah dengan hatimu.”

Selalu. Percakapan yang nyaris sama setiap kali kita berbincang. Sementara aku bertahan dengan keragu-raguanku, kau bersikukuh meneruskan perjalanan dalam lorong tak berujung. Cinta tak semudah berucap. Sebaris kata itulah yang diam-diam kubisikkan dalam hati ketika resah lagi-lagi datang menghampiri.

***

Hari ini kuputuskan untuk menuliskannya padamu. Eu te amo[1]. Aku mencintaimu. Keberanian dan kekuatan yang berasal entah dari mana? Mungkin bukan itu. Seiring waktu-waktu yang berlalu, kau kurindukan setiap waktu. Imaji atau nyata nyaris tak ada bedanya lagi. Kata-kata sarat makna telah memekarkan rasa yang kini kugenggam erat hingga aku tak ingin kehilanganmu. Aku bersedia menggenggam tanganmu selamanya dalam lorong itu.

Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan hati bergemuruh. Setelah ini apa? Apakah rindu akan semakin kuat menghampiri kita? Atau malah berangsur-angsur sirna karena kau telah menuntaskan sebuah penaklukan? Tapi yang terjadi kemudian sungguh berbeda. Kau tertawa terbahak-bahak, menertawakan ungkapan yang kurenungkan beberapa waktu sebelum memiliki keberanian untuk mengakuinya. Bagimu, ini hanyalah lelucon belaka.

Bodoh. Aku bahkan tak mengenali muslihat yang bertengger tepat di hidungku. Kepalsuan telah memenjarakan hatiku dan merenggut logikaku dengan keji. Bara membakar hatiku. Jika kau memutuskan untuk tertawa, mengapa aku tak boleh menyudahi kebodohanku? Maka, tertawalah sepuasmu atau sesalilah jika kau ingin melakukannya suatu hari nanti. Ketika kau menyesalinya, selamanya aku takkan pernah mengulangi ucapanku. Karena kau adalah petaka dalam sebuah lorong kisah. Kisahku.

***

Tepian DanauMu, 26 Januari 2016

 

Sumber ilustrasi : di SINI

[1] Aku mencintaimu (Portugis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun