Keajaiban dalam sebuah lorong, demikianlah aku menamakan kita kala tawa dan kegembiraan mulai membingkai kebahagiaan yang hadir begitu saja. Sosokmu memang masih sebatas lintasan-lintasan imaji sebab ruang untuk bertemu nyaris mustahil (meski itu bukan berarti tak mungkin). Seiring waktu, kita telah memercayai bahwa suatu hari kelak akan tiba masa untuk menyatukan rindu. Ketika itu terjadi, salah satu dari kita akan kehilangan keberanian untuk berkata tidak dan kemungkinan besar itu adalah aku.
Kaulah yang pertama kali mengumpamakan, bahwa kita adalah sepasang insan yang sedang berjalan menyusuri sebuah lorong. Lorong tak berujung, kataku selalu. Jalani saja karena kita takkan pernah tahu apa tahu apa yang akan menanti di akhir, debatmu (kau selalu menambahkan bahwa aku bisa terus atau kembali ke awal dan kau akan mengantarkanku). Perselisihan kita tentang hal itu biasanya berakhir dengan keributan “kecil” yang berujung sesal (kau akan menghubungiku, berpura-pura tak terjadi apa-apa sementara aku terisak karena sedih).
Pilihan yang kau tawarkan itulah pemicu keraguanku yang sesungguhnya. Sebenarnya, kau benar-benar menginginkanku atau sedang meletakkan bom waktu di tanganku? Seperti biasa, kau tak pernah memberiku kesempatan mereka-reka bimbang milikku. Kau akan mengatakan bahwa kau mencintaiku (kalimat yang justru membuatku bersembunyi dalam kepompong benakku). Aku belum pernah memberitahumu bahwa kebingungan adalah hal yang paling kutakuti di dunia ini. Kau pasti akan tertawa jika aku mengatakannya karena bagimu, hidup adalah lelucon−maka nikmati saja. Berbeda denganku yang akan mengerutkan dahi ketika bertemu dengan kemungkinan-kemungkinan yang berpeluang menyakitiku.
Pahit. Kupikir itu soalnya. Kita berasal dari kepahitan yang nyaris sama rasa, namun berbeda baik waktu dan kisahnya. Mungkin itulah mengapa kita tak serupa pemikiran ketika menyusuri lorong yang menuju entah. Tatkala keinginan-keinginan mulai memenuhi benakmu, justru aku dipenuhi ketakutan tak mampu memenuhinya sehingga kita akan saling melukai, sama seperti kisah-kisah yang terus berulang di banyak belahan bumi.
“Kita baru saja mulai.” Suaramu terdengar gusar pada suatu siang.
“Lorong itu takkan berujung.” Entah mengapa, aku menangkap kegetiran dalam suaraku sendiri.
“Kau selalu mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi.”
“Belum, tapi pasti terjadi.”
“Biarkan takdir yang menuntun kaki-kaki kita.”
“Aku takut...”
“Kau menyayangiku?”