“Ini keliru…”
“Lalu, apakah perasaanmu padaku keliru?”
“Jangan desak aku…”
“Jujurlah dengan hatimu.”
Selalu. Percakapan yang nyaris sama setiap kali kita berbincang. Sementara aku bertahan dengan keragu-raguanku, kau bersikukuh meneruskan perjalanan dalam lorong tak berujung. Cinta tak semudah berucap. Sebaris kata itulah yang diam-diam kubisikkan dalam hati ketika resah lagi-lagi datang menghampiri.
***
Hari ini kuputuskan untuk menuliskannya padamu. Eu te amo[1]. Aku mencintaimu. Keberanian dan kekuatan yang berasal entah dari mana? Mungkin bukan itu. Seiring waktu-waktu yang berlalu, kau kurindukan setiap waktu. Imaji atau nyata nyaris tak ada bedanya lagi. Kata-kata sarat makna telah memekarkan rasa yang kini kugenggam erat hingga aku tak ingin kehilanganmu. Aku bersedia menggenggam tanganmu selamanya dalam lorong itu.
Sedetik, dua detik, aku menunggu dengan hati bergemuruh. Setelah ini apa? Apakah rindu akan semakin kuat menghampiri kita? Atau malah berangsur-angsur sirna karena kau telah menuntaskan sebuah penaklukan? Tapi yang terjadi kemudian sungguh berbeda. Kau tertawa terbahak-bahak, menertawakan ungkapan yang kurenungkan beberapa waktu sebelum memiliki keberanian untuk mengakuinya. Bagimu, ini hanyalah lelucon belaka.
Bodoh. Aku bahkan tak mengenali muslihat yang bertengger tepat di hidungku. Kepalsuan telah memenjarakan hatiku dan merenggut logikaku dengan keji. Bara membakar hatiku. Jika kau memutuskan untuk tertawa, mengapa aku tak boleh menyudahi kebodohanku? Maka, tertawalah sepuasmu atau sesalilah jika kau ingin melakukannya suatu hari nanti. Ketika kau menyesalinya, selamanya aku takkan pernah mengulangi ucapanku. Karena kau adalah petaka dalam sebuah lorong kisah. Kisahku.
***
Tepian DanauMu, 26 Januari 2016
Sumber ilustrasi : di SINI
[1] Aku mencintaimu (Portugis)