Dalam kaitannya dengan hukum studi feminis lahir untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas, dan studi hukum seyogianya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi amat terlebih asas keadilan. Bagaimana mencapai tujuan bersama ini, merupakan upaya dan langkah-langkah yang diuji coba puluhan tahun di mancanegara, yang telah memunculkan berbagai aliran. Namun satu hal yang dihadapi bersama adalah kemapanan studi hukum yang telah berusia berabad-abad dan yang sebenarnya juga telah melahirkan berbagai teori dan aliran, sedangkan studi feminis baru muncul dibilang setengah abad lalu.[11] Biasanya para ahli feminisme pada peminatnya untuk belajar berpikir dengan cara feminis, atau yang disebut dengan think like a feminist. Walaupun diantara para pakarnya tidak ada keseragaman metode, namun pada dasarnya mereka mencoba menempatkan perempuan sebagai fokus kajian dan bukan terpinggirkan oleh pengkajian hukum tertentu.
Dalam positivisme hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan semacamnya. Pertanyaan tentang adil, tapi selama dia masih berlaku, maka hukum itu tetap harus dipatuhi. Bagi para penganut positivisme hukum, kepastian hukum akan tercapai bukan hanya karena hukum dibentuk oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti sistem perundang-undangan yang berlaku, tapi juga bila hukum bisa bekerja sama – dalam kerangka ilmiah – dengan berbagai sains positif (ilmu alam dan ilmu sosial yang cara kerjanya didasarkan pada metode ilmu alam) untuk melegitimasikan berbagai perilaku yang ada di masyarakat.
Margot Stubbs mencatat bahwa positivisme hukum sebenarnya berangkat dari pengandaian liberalisme-klasik tentang masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak yang sama. Lalu untuk mewujudkan kepentingan bersama, para individu tersebut secara bebas mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara dan hukum. Konsekuensinya, negara dan hukum harus netral, obyektif, dan tidak berpihak pada individu manapun:
Filsafat liberal mendasari positivisme hukum, sehingga sistem hukum tersebut tampil sebagai mekanisme yang netral, mandiri dan a-politis saat mengatasi ketegangan sosial. (...) Positivisme hukum melontarkan definisi tentang hukum yang jelas-jelas melengkapi pemahaman filsafat liberal tentang masyarakat – yaitu masyarakat sebagai sebuah kesatuan artifisial dari para individu otonom yang mengadakan kontrak sosial.[12]
Penganut teori Positivisme Hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, seseorang dianggap cukup membaca misalnya KUHPerdata, UU perkawinan nomor 1 tahun 1974, dan KUHPidana.
Berbeda dengan para pemikir hukum feminis bahwa hal demikian dianggap peraturan hukum yang memarginalkan perempuan. Penilaian seperti ini hanya mungkin dilakukan karena para feminis melihat kaitan antara hukum dengan relasi kuasa yang tak setara antara perempuan dan pria. Bagi para feminis, hukum yang diyakini netral dan obyektif oleh teori Positivisme Hukum sebenarnya tidak mungkin ada. Sebab disadari atau tidak – berbagai hukum tersebut dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi pria daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti itu justru membenarkan ketidak-setaraan pria dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri.
Misalnya, walaupun pasal 139 KUHperdata memingkinkan suami istri mengadakan perjanjian kawin[13] dan dengan demikian memungkinkan isteri mandiri secara ekonomi dari suaminya, namun kemandirian ini segera disangkal oleh pasal 140 KUHperdata yang menyatakan “perjanjian kawin” tersebut tidak boleh mengurangi segala hal yang disandarkan kepada suami sebagai suami. Barang tentu yang dimaksud oleh Pasal 140 Kuhperdata dengan “hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami” adalah pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami isteri” dan dengan demikian “suami wajib menjadi wali isterinya untuk mengahadap ke hakim (melakukan perbuatan hukum)”. Selain itu juga dinyatakan, bahwa “suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi isterinya (kecuali dinyatakan lain dalam perjanjian kawin) tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan isterinya”. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan persetujuan isterinya. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan harta persatuan (harta yang diperoleh bersama selama perkawinan) tanpa persetujuan isteri (pasal 124 KUHperdata)
Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara patriarki lainnya, KUHPidana di Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh seksualitas belaka. Hal ini nampak misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah tentang perkosaan (pasal 285) yang mengisyaratkan korban harus bukan isteri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk “hubungan seksual” yang keputusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5 Februati diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.[14] Dengan mengutip feminis Catherine MacKinnon, Nursyahbni Katjasungkana menganggap perumusan tersebut sebenarnya didasarkan pada cara pandang pria “heteroseksual” tentang hubungan seks, karena mensyaratkan terjadinya “penetrasi penis ke vagina”.[15] Dengan kata lain, kekerasan seksual terhapad perempuan yang tidak dalam bentuk “penetrasi penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan, mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa.[16]
Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan di dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah dengan bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.[17] Maka begitulah, bagaimana perkosaan dirumuskan dari perspektif pelaku (pria).
Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik-cabik? Hal ini terjadi karena ilmu hukum (yang ditulis dalam perspektif teori Positivisme Hukum) memang tidak mampu dan tidak mau menafsirkan diskriminasi gender – suatu tafsir yang mau mengungkap relasi kuasa yang tidak setara antara perempuan dan pria – yang terjadi di masyarakat.[18]
Teori hukum feminis memberi sumbangannya dengan mengidentifikasi nilai-nilai dasar tersebut dalam implementasi hukum. Tove Stang Dahl, yang menekankan pentingnya women-centered-policy-consideration atau pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan, menyebut dua nilai dasar ini diidentifikasinya nilai-nilai dasar yang terutama yaitu equality (persamaan/kesetaraan), harkat martabat,integritas, self-determination (menentukan sendiri), dan self-realization.