Pergulatan Pemikiran Dalam Pencapaian Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan
Fitri Lestari[1]
Prehistoric times when physical force was very important.
Those who’re the strongest had all the rights and power.
-The Second Sex, Simone de Beauvoir-
Makna Gender
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminis dan maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya – secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[2]
Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Di inggris abad ke sembilan belas, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tetapi pandangan yang lebih kemudian menunjukan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri.
Kini keadaan serupa juga terdapat di beberapa bagian negara berkembang. Di Banglades, misalnya, banyak perempuan Muslim menganggap tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan kerja yang dibayar. Namun ada banyak perempuan Muslim lainnya terpaksa bekerja – seringkali sebagai pembantu rumah tangga – sebagai masalah pertahanan ekonomi. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (sex) biologis tertentu.[3]
Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam berperan di masyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berkutat di ranah domestik, seperti dalam kosa kata jawa dapur sumur kasur, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari situ muncul ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah, publik maupun privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[4]