Matahari mulai terbenam di ufuk barat, mewarnai langit kampus dengan gradasi jingga dan ungu. Dina melangkah pelan menuju taman, tempat biasa ia, Rafika, dan Ruly bertemu setiap sore. Namun sore itu terasa berbeda. Udara yang biasanya hangat kini terasa dingin, seperti menyimpan sesuatu yang gelap.
Amanda sudah ada di sana, duduk di bangku batu di bawah pohon besar. Wajahnya dihiasi senyum lemah lembut yang selalu membuat semua orang merasa nyaman. Tapi bagi Dina, senyum itu kini penuh teka-teki.
"Din," panggil Amanda sambil melambai. "Aku nungguin kamu."
Dina mengangguk singkat dan duduk di sampingnya. "Kenapa ngajak ketemuan, Amanda? Ada apa?"
Amanda menghela napas panjang, seolah tengah memikirkan sesuatu yang berat. "Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu kelihatan stres akhir-akhir ini. Apa ini karena Rafika dan Ruly?"
Pertanyaan itu langsung menusuk Dina. Memang benar, akhir-akhir ini hubungan persahabatannya dengan Rafika dan Ruly terasa renggang. Rafika yang biasanya ceria kini sering bersikap dingin. Ruly yang dulu selalu bisa dia andalkan sekarang lebih sering menghindar.
"Aku nggak tahu, Amanda. Mereka berubah. Aku merasa seperti orang asing di antara mereka."
Amanda mengangguk, seolah memahami perasaan Dina. "Aku juga memperhatikan itu. Tapi, jujur, aku merasa mereka agak nggak adil sama kamu. Mereka sering ngomongin kamu di belakang."
Dina terkejut. "Ngomongin apa?"
Amanda menggigit bibirnya, seakan ragu untuk menjawab. "Aku nggak mau bikin kamu marah, tapi... mereka bilang kamu terlalu dominan. Mereka merasa kamu selalu ingin menjadi pusat perhatian."
Dina merasa dadanya sesak. Itu tuduhan yang tidak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulut Rafika atau Ruly. "Aku nggak pernah bermaksud begitu, Amanda. Aku cuma ingin semua berjalan dengan baik."
Amanda mengangguk pelan, lalu meletakkan tangannya di pundak Dina. "Aku tahu, Din. Dan aku yakin mereka juga tahu. Tapi mungkin mereka nggak sadar bagaimana cara mereka menyampaikan itu bisa melukai kamu."
Awal dari Perpecahan
Beberapa hari setelah percakapan itu, Dina mulai merasa semakin terasing. Rafika sering pergi tanpa memberitahunya, sementara Ruly lebih memilih duduk bersama Amanda di perpustakaan ketimbang berbincang dengannya seperti dulu.
Suatu sore, Dina memutuskan untuk mengonfrontasi Rafika. Mereka bertemu di kafe kampus, tempat favorit mereka dulu. Tapi suasana yang biasanya hangat kini terasa dingin.
"Fik, gue mau tanya," Dina memulai dengan suara pelan. "Apa gue pernah salah sama lo?"
Rafika mengangkat alis, terlihat bingung. "Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"
"Karena gue merasa lo menjauh. Lo dan Ruly. Apa gue ngelakuin sesuatu yang bikin lo nggak nyaman?"
Rafika terdiam sejenak sebelum menjawab. "Din, gue cuma merasa lo kadang terlalu ngatur. Gue tahu niat lo baik, tapi kadang gue dan Ruly merasa kayak pendapat kita nggak dihargai."
Dina tercekat. Kata-kata Rafika terasa seperti tamparan. Tapi sebelum dia sempat membela diri, Rafika menambahkan, "Amanda yang bilang ini sama gue. Dia bilang dia juga ngerasa lo terlalu dominan. Gue jadi mikir, mungkin kita semua merasakan hal yang sama."
Nama Amanda melintas di benak Dina. Ada sesuatu yang terasa tidak beres, tapi dia tidak tahu apa.
Jaring Manipulasi yang Menguat
Sementara itu, Amanda semakin mendekati Ruly. Di tengah malam, dia sering mengirim pesan-pesan panjang, curhat tentang bagaimana dia merasa terjepit di antara konflik Dina dan Rafika.
"Rul, aku nggak tahu harus gimana," tulis Amanda suatu malam. "Aku cuma pengen kalian semua damai. Tapi Dina kayak nggak mau berubah, dan aku nggak bisa terus-menerus jadi penengah."
Ruly, yang sudah merasa Amanda adalah satu-satunya yang memahami perasaannya, merespons dengan cepat. "Lo nggak usah mikirin Dina terlalu dalam, Man. Kadang orang emang susah diajak berubah."
Amanda tersenyum puas membaca pesan itu. Dia tahu, semakin dia memposisikan dirinya sebagai korban, semakin banyak simpati yang akan dia dapatkan.
Konflik yang Meledak
Puncaknya terjadi pada hari ulang tahun Rafika. Dina, yang sudah lama merasa terasing, memutuskan untuk datang dan mencoba memperbaiki hubungan. Tapi suasana pesta justru membuatnya semakin merasa terasing.
Amanda, dengan dress merah yang mencolok, tampak menjadi pusat perhatian. Dia terus sibuk berbincang dengan Ruly dan Rafika, sementara Dina hanya duduk di pojokan.
Saat Dina mencoba mendekati mereka, Amanda tiba-tiba berkata, "Din, aku denger dari Ruly kalau kamu nggak suka sama aku ya? Aku nggak tahu apa salahku, tapi aku cuma pengen kita semua akur."
Semua mata tertuju pada Dina. Dina, yang tidak pernah mengatakan apa pun tentang Amanda, merasa marah dan bingung.
"Apa maksud lo, Amanda? Gue nggak pernah ngomong gitu!"
"Tapi Ruly bilang begitu," jawab Amanda dengan nada sedih.
Ruly terlihat bingung, tapi Amanda melanjutkan, "Aku nggak tahu siapa yang salah, tapi aku merasa kamu selalu memandang aku dengan cara yang salah, Dina."
Rafika, yang sudah terpengaruh oleh Amanda, segera angkat bicara. "Din, gue juga pernah ngerasa lo nggak suka sama Amanda. Kenapa lo nggak ngomong langsung kalau emang ada masalah?"
Dina merasa dunia berputar. Amanda berhasil memutarbalikkan semuanya, membuat dirinya tampak sebagai korban.
Kebenaran yang Tersembunyi
Beberapa minggu kemudian, Dina menemukan sebuah buku catatan kecil milik Amanda di bawah meja di ruang diskusi kampus. Buku itu penuh dengan tulisan tangan Amanda yang rapi.
Di salah satu halamannya, tertulis:
"Dina terlalu percaya diri. Aku harus buat dia ragu sama dirinya sendiri."
Di halaman lain:
"Rafika mudah dipengaruhi. Aku hanya perlu menanamkan sedikit keraguan tentang Dina."
Dina membaca setiap halaman dengan tangan gemetar. Semua yang terjadi selama ini adalah ulah Amanda. Dia telah memanipulasi mereka semua, merusak persahabatan yang sudah mereka bangun bertahun-tahun.
Dina mencoba menunjukkan buku itu kepada Rafika dan Ruly, tetapi Amanda lebih cepat.
"Aku nggak tahu Dina bakal sejauh ini buat fitnah aku," kata Amanda dengan mata berkaca-kaca saat Rafika dan Ruly berkumpul.
"Fitnah apa?" tanya Rafika, bingung.
"Dia mencuri buku catatan aku dan bilang itu bukti aku jahat sama kalian," jawab Amanda dengan suara gemetar.
Ruly menggelengkan kepala. "Din, gue nggak nyangka lo segitu nggak dewasanya."
Rafika menatap Dina dengan kecewa. "Din, gue udah capek sama semua ini. Gue nggak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya."
Dina merasa hatinya hancur. Amanda berhasil memutarbalikkan semua fakta, lagi.
Akhir yang Menghancurkan
Pada akhirnya, persahabatan Dina, Rafika, dan Ruly benar-benar hancur. Dina memilih menjauh dari mereka, merasa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
Amanda tetap berada di tengah-tengah Rafika dan Ruly, memperkuat posisinya sebagai "sahabat sejati." Mereka tidak pernah menyadari siapa Amanda sebenarnya.
Di kamar kosnya, Amanda tersenyum sambil memandangi buku catatan barunya. "Persahabatan itu rapuh," tulisnya. "Dan aku tahu bagaimana cara menghancurkannya."
Pesan Tersirat: Manipulasi sering kali begitu halus hingga tidak disadari oleh korbannya. Orang seperti Amanda mungkin tidak pernah mendapatkan pembalasan, tetapi cerita ini adalah pengingat bahwa kita harus lebih peka terhadap tanda-tanda manipulasi dan tidak mudah percaya pada seseorang yang tampak terlalu sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H