Mohon tunggu...
Fitria Kartika Tarigan
Fitria Kartika Tarigan Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Menulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menerapkan Budaya Positif di Sekolah

4 Juni 2024   01:18 Diperbarui: 4 Juni 2024   02:09 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada artikel saya kali ini, saya akan menuliskan tentang Koneksi Antar Materi dimulai dari modul 1.1 tentang Filosofi Ki Hajar Dewantara,  modul 1.2 tentang peran dan Nilai Guru Penggerak,  modul 1.3 tentang Visi Guru Penggerak dan 1.4 tentang Budaya Positif. 

Sesuai dengan pertanyaan panduan pada LMS, maka saya akan membuat kesimpulan penerapan konsep inti budaya positif dan keterkaitan pada materi sebelumnya yang sudah saya pelajari. Pada modul 1.4 ini saya belajar tentang 6 macam budaya positif, yaitu:

1. Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan

2. Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan

3.Keyakinan Kelas

4. Kebutuhan Dasar Manusia

5. Lima Posisi Kontrol

6. Segitiga Resistusi

Konsep-konsep inti dalam modul 1.4 Budaya Positif memiliki keterkaitan yang erat dengan materi sebelumnya, yakni:

  1. Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang berpusat pada murid. Budaya positif dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang berpusat pada murid, di mana murid merasa dihargai dan diberdayakan.

  2. Nilai dan Peran Guru Penggerak menekankan pentingnya guru sebagai pemimpin pembelajaran. Budaya positif dapat membantu guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang efektif. Guru dapat membangun hubungan yang positif dengan murid dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

  3. Visi Guru Penggerak adalah mewujudkan profil Pelajar Pancasila. Budaya positif dapat membantu mewujudkan profil Pelajar Pancasila. Murid dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan menjadi warga negara yang baik.

Dalam budaya positif, saya mempelajari bagaimana penerapan kegiatan yang mampu menciptakan nilai-nilai positif. Dengan hal yang positif, suasana sekolah akan menyenangkan dan siswa merasa aman dan nyaman saat berada di sekolah.

Dalam upaya penerapan budaya positif di sekolah, saya awali dengan diseminasi atau penyebaran ilmu yang saya dapatkan di dalam PGP ini kepada kepala sekolah dan teman-teman guru. Pada kesempatan itu, saya menegaskan langkah awal untuk menerapkan budaya positif adalah dari guru sebagai contoh. Guru yang bisa menuntun, mendidik, dan mengajar siswanya. Hal ini sesuai dengan filosofis Bapak Pendidikan, Bapak Ki Hajar Dewantara,    "Pembelajaran di sekolah bukan saja memberikan ilmu, akan tetapi juga menanamkan petani yang memasukkan budaya positif untuk pembentukan karakter siswa".

  

Nilai guru penggerak juga sangat berkaitan dengan upaya penerapan budaya positif ini, yaitu nilai mandiri, nilai reflektif, nilai inovatif, nilai kolaboratif nilai berpihak pada murid. Begitu juga peran guru penggerak yaitu menjadi pemimpin pembelajaran membuat kita sebagai guru harus mampu membimbing dan menuntun untuk menerapkan budaya positif.

Selanjutnya, apabila guru sudah layak digugu dan ditiru, dan sudah memaksimalkan nilai dan perannya, saatnya guru harus menata budaya kelas, melalui pembentukan keyakinan kelas. Kenapa keyakinan kelas? Bukan kesepakatan kelas atau peraturan kelas? Keyakinan berasal dari diri siswa sendiri. Untuk menjadi suatu keyakinan harus melalui proses yang panjang. Bisa berawal dari peraturan kelas, yaitu peraturan yang bersifat satu arah dan memaksa. Peraturan kelas tadi pelan-pelan kita rubah menjadi kesepakatan kelas. Tahap kesepakatan ini lebih tinggi dari peraturan kelas, karena sudah mendapat persertujuan dari semua anggota kelas, dan tidak lagi bersifat satu arah. 

Kesepakatan yang terus-menerus dijalankan akan berubah menjadi keyakinan. Keyakinan yang dijalankan tanpa paksaan, melainkan karena kesadaran. Bila ada yang melanggar keyakinan, maka akan menerima konsekuensinya, bukan mendapatkan hukuman atau ganjaran.   

Cara membuat keyakinan kelas adalah dengan proses diskusi yang terbuka antara seluruh anggota kelas. Setiap kelas harus mempunyai keyakinan kelas. Inilah yang akan menuntun siswa dalam proses belajar setiap hari di sekolah.

Menciptakan siswa yang berkarakter baik tentunya merupakan sebuah impian dari semua guru, dari impian itulah seorang guru mempunyai visi untuk mencapai murid impiannya. Untuk mencapai visi diperlukan cara yang efektif, salah satunya bisa dengan menggunakan menggunakan manajemen perubahan Inkuiri Apresiatif (IA). Yaitu manajemen yang memusatkan pada kekuatan. Guru harus melihat apa yang kekuatan sekolah, apa kekuatan kelas, dan apa kekuatan para siswa untuk menciptakan kekuatan yang lebih tinggi.

Langkah konkrit perubahan bisa dengan menggunakan tahapan B-A-G-J-A (Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi). BAGJA membantu sekolah merencanakan perubahan berdasarkan apresiasi terhadap apa yang sudah berhasil. Ini menciptakan lingkungan yang positif untuk pertumbuhan dan perkembangan sekolah yang berkelanjutan.

Tahapan selanjutnya untuk menciptakan budaya positif adalah:

  1. Menyusun Rencana Perubahan

Kita membuat rencana tentang apa yang ingin kita ubah di sekolah.

  1. Memahami Kekuatan yang Ada

Kita pikirkan kekuatan apa yang sudah ada di sekolah kita.

  1. Mengevaluasi Hal Positif yang Ada

Kita lihat semua hal baik yang sudah terjadi dan kita pelajari dari mereka.

  1. Berkolaborasi dengan Semua Pihak

Kita bekerja sama dengan semua orang yang peduli dengan sekolah kita.

  1. Meminta Dukungan dari Semua Pihak

Kita minta bantuan dan dukungan dari teman-teman, guru, orang tua, dan.       

semua yang bisa membantu.

  1. Melakukan Pendekatan Psikologi Positif

Kita berpikir positif dan optimis dalam melakukan perubahan.

Inkuiri Apresiatif adalah cara yang baik untuk membuat perubahan dan menumbuhkan disiplin positif di sekolah. Pemahaman saya tentang disiplin positif adalah bagaimana cara kita menerapkan disiplin berdasarkan kesadaran dari dalam diri siswa. Kata disiplin selalu identik dengan pemaksaan dan ketegasan. Siapa yang tidak mematuhi disiplin akan mendapatkan hukuman. 

Inilah tugas yang tidak mudah. Bagaimana menciptakan disiplin dengan cara yang positif, nyaman dan terkandung nilai-nilai kebajikan. Disiplin diri menurut Ki Hajar Dewantara memiliki motivasi dari dalam diri sendiri. Akan tetapi jika hal tersebut tidak dapat dilakukan maka siswa butuh motivasi eksternal dari guru atau orang lain di sekitar mereka. 

Ketika guru mendisiplinkan siswa, guru harus memahami bagaimana cara mengontrol diri siswa. Diane Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang umum dan biasa diterapkan seorang guru dalam melakukan kontrol dan penerapan disiplin di sekolah, yaitu; sebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau dan manajer. Diharapkan dari kelima posisi kontrol inilah, kita mampu menerapkan disiplin positif kepada siswa kita.

Memang posisi yang paling ideal adalah menjadi manajer, namun mencapai posisi tersebut harus melalui proses yang panjang. Sebelum saya mengetahi tentang 5 posisi kontrol ini, saya hanya menjalankan tugas saya sebagai guru dan sesekali menghukum siswa, ternyata saya sering mengambil kontrol sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, dan terkadang sebagai teman.

Mengambil posisi kontrol sebagai penghukum adalah yang paling mudah dan paling cepat. Karena tidak membutuhkan banyak persiapan. Setiap siswa yang bersalah, hanya dihukum saja. Namun, ternyata posisi ini banyak efek negatifnya. Bisa jadi siswa terbersit dendam dan membenci guru yang menghukum.

Menimbulkan rasa bersalah pada diri anak, juga kerap saya lakukan. Dulu, saya berpendapat, dengan membuat siswa sedih, siswa akan berusaha berubah. Ternyata hal itu salah. Dengan membuat rasa bersalah, akan bisa merusak mental siswa, dan membuatnya tidak semangat belajar.

Terkadang saya juga menempatkan diri sebagai teman. Saya berpendapat akan lebih mudah mengontrol siswa, jika posisi saya sejajar dengan siswa. Duh, duh, duh, dan ternyata tidak begitu. Siswa jadi menaruh harapan besar kepada saya dan dan kerap meminta bantuan saya, gurunya, apabila ada kesulitan. Dengan mengetahui teori kontrol ini, saya akan berusaha mengambil posisi sebagai manager.

Juga, dalam sebuah perilaku negatif siswa, kita pasti akan menemukan kebutuhan dasar yang menjadi motivasi eksternal siswa melakukan hal tersebut. Diantaranya kebutuhan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, penguasaan, kebebasan dan kesenangan. Ternyata setiap perilaku negatif siswa ada penyebabnya. Sebagai manager, inilah tugas guruntuk untuk mencari tahu penyebab perilaku tersebut. Berangkat dari kebutuhan yang belum terpenuhi itulah, kita mulai mencari solusi dalam penyelesaian sebuah perilaku negatif siswa. 

Dimulai dari melihat keyakinan kelas yang sudah dibuat, kemudian berkomunikasi dengan menggunakan segitiga resistusi dalam penyelesaiannya. Sehingga siswa memahami nilai-nilai kebajikan universal yang sedang ditanamkan oleh guru. 


Dalam menerapkan budaya positif ini, saya mendapatkan pengalaman dimana ternyata dengan menerapkan segitiga resistusi dalam menyelesaikan sebuah masalah dapat membuat dampak yang baik bagi siswa. Hasil dari penerapan segitiga restitusi ini cukup membuat saya takjub. Masyaallah, luar biasa. Andai dari dulu saya mengetahui cara ini. Para siswa tidak merasa sakit hati dengan perkataan kita, mereka merasa didengarkan keluh kesahnya dan mereka merasa mempunyai tanggung jawab untuk menata hati mereka sesuai dengan kesepakatan kelas yang sudah mereka sepakati. 

Ada beberapa hal yang menarik dan di luar dugaan saya, yakni:

  1. Disiplin positif tidak hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang penguatan positif.

  2. Teori motivasi menunjukkan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, dan motivasi perilaku manusia dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan tersebut.

  3. Posisi kontrol restitusi adalah cara yang efektif untuk mengajarkan murid tentang tanggung jawab dan disiplin.

  4. Segitiga restitusi adalah proses kolaboratif yang melibatkan murid, guru, dan orang tua.

  5. Penghargaan ternyata mempunyai dampak buruk terhadap siswa, seperti membuat iri teman yang lainnya, dan menurunkan kwalitas pekerjaan siswa.

Saya merasa sangat senang dalam menerapkan budaya positif ini, karena terlihat siswa merasa nyaman dengan komunikasi yang diterapkan tanpa membuat siswa menjadi tertekan dengan hukuman kita. Sehingga mereka menjadi lebih terbuka bahwa yang kita terapkan adalah memunculkan motivasi dari diri mereka untuk mampu menerapkan nilai-nilai kebajikan universal. 

Saya juga merasa antusias dalam mempelajari resistusi ini, karena banyak hal yang dapat diselesaikan tanpa membuat kita menjadi seorang "guru penghukum". Karena selama ini saya masih menggunakan hukuman untuk mendisiplinkan siswa yang tentunya sangat bertentangan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Inilah yang wajib saya perbaiki, sehingga saya merasa sangat perlu untuk lebih memahami dan menerapkan budaya positif ini dalam kehidupan sehari-hari saya sebagai seorang pendidik. 

Penerapan Segitiga Restitusi Sebelumnya

Sebelum saya mempelajari budaya positif ini,  saya sudah pernah melakukan segitiga resistusi. Akan tetapi saya tidak memahami yang saya lakukan ternyata salah satu tahapan segitiga restitusi. Saat itu salah seorang murid saya menghilangkah bola milik kelas, yang dibeli bersama menggunakan kas kelas. Saya mengatakan, tidak apa-apa, mungkin kamu lagi silap dan lupa. Semua orang juga pernah lupa. Siswa saya menangis dan mengatakan akan mengganti bola tersebut. Saya katakan tidak usah diganti. Tidak apa-apa. Namun, keesokan harinya siswa saya tersebut sudah membawa bola yang baru. Datang menghadap kepada saya, dengan wajah tersenyum, sambil berkata, "Terima kasih tidak menghukum saya, ini saya ada bola yang baru." Dengan wajah yang sama bahagianya, saya menerima bola tersebut.

Ternyata saat itu, siswa bersalah tersebut sedang menebus kesalahannya, sedang menebus harga dirinya. Sehingga tidak ada lagi rasa bersalah, mungkin ketika berhadapan dengan saya ataupun teman-teman satu kelasnya. Sebenarnya bisa saja, saya menghukum siswa saya dengan kewajiban mengganti bola yang dia hilangkan. Namun, tentu saja dampak positifnya berbeda.

Ketika mempelajari segitiga restitusi, saya mengingat ke belakang, dan ternyata saya pernah beberapa kali melakukannya. Hanya saja, saya tidak tahu teorinya bernama segitiga restitusi.

Setelah mempelajari modul 1.4, saya menerapkan konsep-konsep inti dalam modul ini di kelas saya. Diantaranya, saya mulai menerapkan posisi kontrol restitusi ketika murid saya melakukan kesalahan. Saya melakukan percakapan dengan murid tersebut untuk memahami apa yang terjadi dan bagaimana murid dapat memperbaiki kesalahannya. Saya juga memberikan penguatan positif kepada murid tersebut ketika murid telah memperbaiki kesalahannya.

Dengan menerapkan posisi kontrol restitusi, saya merasa senang dan puas ketika murid saya dapat memperbaiki kesalahannya dan berperilaku jauh lebih baik. Berdasarkan pengalaman saya, saya merasa bahwa saya sudah cukup baik dalam menerapkan konsep-konsep inti dalam modul 1.4 Budaya Positif. Namun, saya masih perlu memperbaiki beberapa hal, yakni:

  1. Membangun hubungan yang lebih positif dengan murid

  2. Menciptakan lingkungan belajar yang lebih menyenangkan dan aman

  3. Memberikan penguatan positif yang lebih bermakna

Berdasarkan refleksi yang telah saya lakukan, saya akan melakukan hal-hal berikut ini untuk mengembangkan diri dalam menciptakan budaya positif:

  1. Meningkatkan keterampilan komunikasi yang efektif

  2. Meningkatkan keterampilan manajemen kelas

  3. Meningkatkan keterampilan penyelesaian konflik

  4. Membaca buku dan artikel tentang budaya positif

  5. Berdiskusi dan berkolaborasi dengan guru.

Sebagai seorang pendidik, pengajar, dan penuntun, banyak hal yang harus saya  pelajari. Perilaku siswa kerap berubah sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga kita harus memahami kebutuhan mereka. Dengan mempelajari modul 1 ini, saya merasa bahwa menciptakan seorang murid pembelajar sepanjang hayat serta memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia, memerlukan penanganan yang memerlukan kolaborasi yang solid antar orang tua dan guru. Sebagai seorang agen perubahan inilah, saya memiliki motivasi untuk dapat menyebarkan pemahaman positif tentang merdeka belajar yang sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun