Akibat Tidak Mandiri
Oleh: Fitria Kartika Tarigan
____________________
    "Nabila, ayo Ayah bantu susun buku pelajaran untuk besok," kata Ayah kepada Nabila yang sedang asyik bermain lego.
   "Udah Mama yang susun, Yah," sahut Nabila sambil asyik membuat kereta api dari lego berwarna-warni.
   "Loh? Loh? Sekarang yang sekolah siapa? Nabila atau Mama?" Ayah bertanya sambil mendekati Nabila.
   "Nabila." Gadis kecil berambut panjang ini menjawab sambil tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya.Tangannya tetap asyik merangkai lego.
   "Kalau begitu, kenapa Mama yang menyusun buku pelajaran Nabila?"
   "Karena Mama sayang baaanyak sama Nabila," jawab Nabila sambil merentangkan kedua tangannya.Â
.
Nabila Bilqis, gadis kecil berkulit putih itu, belum mempunyai adik sampai berusia delapan tahun. Kondisi anak tunggal membuat Nabila selalu mengandalkan mama untuk mengurusi semua keperluannya. Mulai dari urusan di rumah hingga masalah sekolah. Sering ayah mengingatkan mama agar melatih Nabila untuk mandiri, tapi mama sering bilang tidak tega.Â
"Kasihan, Pa. Nabila kan masih anak-anak, biar aja Nabila main. Biar Mama aja yang urus keperluan Nabila." Mama selalu mengatakan hal itu bila Ayah mengingatkan. Mama terlalu sayang kepada anak tunggalnya, hingga membuat Nabila manja.
"Sayang itu bukan berarti semua harus Mama yang urus. Nabila juga harus belajar mandiri. Nanti kalau Mama sakit gimana?" Papa bertanya.
.
Senin yang cerah, murid-murid berbaris sebelum masuk ke kelas, lalu membaca doa dan mengulang hafalan.Â
"Baik anak ibu, sekarang waktunya sambung ayat. Siapa yang bisa, silakan masuk dengan tertib," ujar Umi Aulia yang di sambung sorak gembira murid-muridnya.
"Baik soal pertama, "Innaka laminal mursalin ...."
Murid-murid kelas tiga berebut menjawab, semua mengangkat tangan. Umi Aulia memilih yang bersikap tertib selama berbaris tadi, Yafi.
"Yafi, ayo teruskan ayahnya!"
"Alaa sirootim mustaqim, tanziilal azizir rohim. "
"Masyaallah, bagus sekali Yafi." Umi Aulia memberikan dua jempolnya untuk bocah laki-laki bertubuh tambun itu. Silakan masuk."
Umi Aulia melanjutkan soal kedua. "Inna jahannama kaanat mirshoodaa ...."
"Lit taa ghiina ma aaba. Laa bitsiina fiihaa ahqooba. Laa ya zuuquuna fiiha bar daw walaa sharaaba." Serentak semua murid kelas 3 SD Syarif Ar-Rasyid, menjawab. SD yang terletak di Jalan Raya Menteng, Medan Denai ini mempunyai konsen yang kuat pada tahfizd al-qur'an. Harapannya seluruh siswa bisa menghapal dan mengamalkan al-qur'an.
Umi Aulia tersenyum lebar. "Masyaallah, Umi belum memilih, tapi anak Umi sudah menjawab semua. Baiklah, semua masuk kelas dengan tertib."Â
.
Umi Aulia membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan mengecek kesiapan belajar anak-anak. "Pagi ini semua terlihat segar, pasti udah mandi. Ada yang udah bisa mandi sendiri?" tanya Umi bertubuh mungil itu.
"Haura, mandi sendiri, Umi." Haura menjawab.
"Daffa juga, Umi. Fandi juga."Â
Masing-masing anak yang sudah bisa mandi sendiri mengangkat tangan. Beberapa anak hanya diam saja. Umi bertanya," Nabila, Maryam, Hana, kenapa nggak angkat tangan?"
Mereka yang disebut namanya belum menjawab.Â
"Masih dimandikan mungkin, Umi." Kawan yang lain bersahutan memberi pendapat.
Ibu guru menenangkan murid-murid sambil berkata,"Anak Umi sudah kelas tiga SD, sudah harus bisa mengurus diri sendiri, mulai dari hal kecil, seperti mandi, memakai baju, dan menyusun buku-buku sekolah."
"Kalau mandi sendiri, nanti nggak bersih, Umi." Nabila menjawab.
"Itu makanya kita latihan, Nak. Pelan-pelan kita belajar mandiri. Setelah mandi, minta bantuan Mama untuk memeriksa, apakah sudah bersih atau belum," jelas ibu guru.
.
Tema empat, yaitu Kewajiban dan Hakku. Sub tema dua, Kewajiban dan Hakku di Rumah. Ibu guru menuliskan tema hari ini di papan tulis.
"Baik anak Umi, sebelum kita mulai belajar, ayo kumpulkan PR-nya!"
Anak-anak membuka tas mereka dan mengeluarkan buku PR-nya. Ibu guru memang membedakan antara buku PR dan buku catatan.Â
Nabila mengeluarkan semua buku yang ada di dalam tasnya. Ada buku LKS, buku gambar, dan buku Bahasa Inggris. Namun, Nabila belum menemukan buku PR-nya. Dia mulai gelisah, sambil terus memeriksa isi tasnya. Keringat dingin mulai bercucuran.Â
Selama ini, Nabila selalu mengerjakan PR. Nabila juga termasuk peringkat lima besar di kelasnya. Nabila sangat malu apabila benar buku PR-nya ketinggalan di rumah. Dia mulai menangis.Â
"Umi ... Nabila nangis." Teman sebangku Nabila melapor kepada ibu guru.
"Kenapa, Nabila?" Umi Aulia menghampiri gadis kecil itu.
"Umi ... kayaknya buku PR Nabila ketinggalan. Udah Nabila bongkar semua, tapi nggak ada," kata Nabila sambil menangis. "Salah Mama ini, kenapa Mama nggak masukkan buku PR Nabila." Nabila masih lanjut menangis dan menyalahkan mamanya.
"Kenapa Mama yang menyusun buku pelajaran Nabila? Harusnya Nabila yang susun sendiri, Nabila juga harus periksa kembali, apakah udah masuk semua pelajaran untuk besok." Umi Aulia menasihati Nabila.
Malam itu, mama kurang enak badan. Ayah menawarkan bantuan untuk menyusun buku pelajaran Nabila. Ternyata, memang sudah disusun mama. Namun, karena mama sakit, ada buku yang ketinggalan.
.
"Nah, sesuai tema kita hari ini kewajiban dan hak anak-anak di rumah dan di sekolah, mari kita belajar mandiri. Bisa kita mulai dengan menyusun pelajaran kita sendiri. Kita harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Ayah dan Ibu hanya membantu," kata Umi Aulia.
"Akibat tidak mandiri, jadinya kita sendiri yang rugi. Contohnya hari ini, seharusnya Nabila bisa mendapatkan nilai, apalagi PR-nya sudah selesai. Sangat sayang sekali." Umi Aulia menggeleng-gelengkan kepalanya. Â "Umi harap, ini bisa jadi pelajaran untuk ke depan, dan tidak terulang kembali," ucap Umi Aulia dengan tegas.
.
Hari ini Nabila sangat malu, dia lebih banyak diam dan tidak bersemangat. Pulang sekolah, Nabila langsung memeluk mama dan meminta maaf. Gadis kecil  yang sangat suka buah pisang itu berjanji mau belajar menyusun buku sekolahnya sendiri.
"Mama bantu, ya, Nabila takut nanti ada yang ketinggalan," katanya.
"Iya, nanti Mama bantu. Kalau Mama sakit, Â Ayah juga bisa bantu." Mama memeluk Nabila sambil mengusap rambutnya. Mama sangat senang Nabila mau belajar mandiri.Â
Mama juga belajar bahwa sayang anak bukan berarti harus mengurus semua keperluannya. Ada waktu orang tua saat sakit atau berhalangan, juga orang tua tidak bisa ada selamanya. Mama berjanji akan membantu Nabila agar bisa mandiri.
Selesai.
Tentang Penulis
Fitria Kartika Tarigan, suka membacakan cerita untuk ketiga anaknya, juga puluhan anak didiknya. Ibu guru yang berdomisili di Medan ini, merasa sangat keren jika dia bisa membacakan cerita yang dia tulis sendiri.Â
Menyampaikan nasihat dengan tulisan atau cerita, bisa jadi pilihan ketika perkataan tidak membuahkan hasil.
Penulis bisa dihubungi di facebook Na'lun Jadid. Follow me on @fitriakartikatarigan. E-mail fitriakartikat@gmail.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H