Mohon tunggu...
Fitran Amrain
Fitran Amrain Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung -

membaca bernilai satu, tetapi menulis bernilai seribu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gagal Nalar Putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015 tentang Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Memilih

30 November 2018   05:09 Diperbarui: 30 November 2018   06:48 1911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gagal Nalar putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015 Tentang Orang Dengan Gangguan Jiwa Bisa Memilih. (Oleh Fitran Amrain)[1]

 

Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola prilaku yang secara klinis bermakna yang berkaitan langsung distress (penderitaan) dan menimbulkan hendaya (disabilitas) pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fungsi jiwa yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Secara umum gangguan fungsi jiwa yang dialami seseorang individu dapat terlihat dari penampilan, komunikasi, proses berpikir, interaksi dan aktifitasnya sehari-hari.[2]

Menurut Y.H. Krikorian Jiwa adalah kemampuan untuk meramalkan suatu perbuatan apakah berakhir positif atau negatif. Lebih lanjut menurut leighton jiwa memiliki fungsi " Jika tindakan yang anda lakukan di dasarkan atas pertimbangan akal, maka dalam hal ini, anda mengingat kembali masa lampau, meramalkan masa depan, dan menyadari keterlibatan anda dalam akibat-akibat tindakan anda, dan pada akhirnya memilih melakukan sesuatu bukan yang lain."[3]

Dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2014 pasal 1 di jelaskan bahwa, Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Masih dalam pasal yang sama bahwa gangguan jiwa terbagi atas ODMK dan ODGJ. 

Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.[4] ODGJ inilah yang akan kita bahas.

Setiap orang sama kedudukannya dalam hokum (equality before the law), dalam  Pasal 7 dariDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa "Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. 

Pasal 27 ayat (1) "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[5] Sehingga mereka ODGJ memiliki  hak yang sama dengan warga Negara yang sehat jasmani dan rohani,

Masalah yang timbul sekarang adalah diperbolehkannya ODGJ untuk memilih pada pemilihan umum, sehingga menimbulkan prokontra dikalangan ahli hokum, politik, pendidik, pelajar, masyarakat dan semua kalangan. Hal ini sangat disayangkan apalagi pemilihan umum tidak lama lagi akan diselenggarakan. 

Banyak yang menghawatirkan suara ODGJ nanti bisa disalah gunakan oleh oknum tak bertanggung jawab.Baiknya kita lihat terlebih dahulu peraturan yang menguatkan bahwa ODGJ bisa memilih,  dalam Pasal 43Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyakan bahwa:

Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan.

Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Menurut  undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 148 menyatakan: (1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.

Dalam  undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan umum Pasal 5 disebutkan Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu'. Pada pasal 75 ayat (2) UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih'.

Pihak KPU telah memasukan ODGJ dalam DPT pemilihan umum 2019, Dari data yang ada, jumlah penyandang disabilitas mental juga tidak bisa disebut signifikan. "Informasi yang saya terima sekitar 5.000-an," ujar Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin. Hingga saat ini, KPU terus memperbaiki daftar pemilih yang ada sebelum ditetapkan pada pertengahan Desember mendatang. 

Afifuddin mengingatkan, tugas KPU hanya memasukkan pemilih yang memenuhi syarat administratif ke dalam daftar pemilih, siapa pun itu. "Urusan (gangguan jiwa, Red) berat atau tidak itu bukan domain KPU," lanjutnya. 

Baru nanti, saat hari H pemungutan suara, bisa saja ODGJ yang bersangkutan tidak menggunakan hak pilihnya karena gangguan kejiwaannya cukup berat. Di luar itu, siapa pun yang memenuhi syarat tetap wajib diberi hak pilih.[6] PKPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang penyusunan Daftar Pemilih sudah mengatur tentang memperbolehkan penyandang disabilitas mental untuk mempergunakan hak pilih.

Secara umum tidak ada larangan bagi ODGJ untuk ikut memberikan hak pilihnya dalam pemilihan umum sehingga ini menguatkan bahwa mereka bisa memilih. Sebenarnya pernah ada larangan bagi mereka untuk memilih pada pasal 57 ayat 3 huruf a Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun tentang penetapan peraturan pemerintah penganti  undang-undang npmor 1 tahun 2014 tetapi ini kemudian di cabut berdasarkan putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015

Permohonan terhadap pembatalan pasal 57 ayat (3) huruf a bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia yang bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang "tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya".. Yang diuji dengan pasal Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, "Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". 

Yang.dimohonkan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat,  Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Khorunnisa Nur Agustyati. Menurut para pemohon ODGJ harus mendapatkan hak yang sama dengan Orang pada umumnya tanpa mendapatkan diskriminasi.

Sebenarnya tidak semua peraturan perundang-undangan mendukung bahwa ODGJ untuk bisa memilih. Dalam Kitab Undang-undang hokum perdata pasal 433 bahwa orang dengan gangguan jiwa harus dengan pengampuan, secara tidak langsung mereka tidak dapat memilih. 

Para pemohon berdalih bahwa jika ODGJ harus di dalam pengampuan maka akan memakan waktu lama dan biaya banyak apalagi tenaga kesehatan jiwa tercatat hanya ada 700 orang, yang mana 600 orang tersebar dipulau jawa sisanya tersebar di seluruh wilayah, hal tampaknya terlalu spekulatif. Karena bagaimanapun kita tetap harus memahami peraturan perundang-undangan secara hokum, bukan dengan asumsi demikian.

Harusnya dipahami bahwa setiap perbuatan harus dapat dipertanggungjawabkan di depan hokum, yang dapat mempertanggungjawabkan adalah mereka yang cakap dalam hokum, dalam Kitab Undang-undang hokum perdata ada pengecualian terhadap yang tidak cakap hokum sebagaimana disebutkan dalam pasal 1330 ayat 2, orang-orang yang dibawah pengampuan, yaitu orang gila atau hilang ingatan. Orang-orang yang dibawah pengampuan semua perbuatan hukumnya diwakili oleh pengampunya. 

Hal itu diperkuat dalam HIR Pasal 145 dan Pasal 171 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 145 HIR mengatur bahwa pihak-pihak yang tidak dapat didengar di pengadilan sebagai saksi adalah salah satunya orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai  ingatan terang. Kiranya bisa dipahami bahwa ODGJ tidak cakap dalam hokum. hal ini menandakan telah terjadi disharmoni dengan putusan  MK No. 135/PUU-XIII/2015.

Dalam undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas menyatakan bahwa  penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dalam lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 

Dalam Pasal 29 paragraf a Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, "Negara- negara pihak menjamin hak-hak politik penyandang disabilitas beserta kesempatan untuk menikmatinya atas dasar kesetaraan dengan orang lain dan berjanji untuk: Memastikan agar penyandang disabilitas dapat secara efektif dan sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan orang lain, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

 Memang benar Negara harus melindungi, dan memenuhi hak setiap warga Negara, tetapi kiranya harus dipahami bahwa hak yang diberikan adalah hak selain memilih, karena bagaimanapun untuk menggunakan hak pilih diperlukan akal yang sehat untuk menentukan masa depan bangsa ini dengan memilih pemimpin-pemimpin yang benar, harusnya diberi pengecualian terhadap ODGJ. 

Menurut pandangan Islam Orang dengan gangguan jiwa tidak bisa diberi beban atau tanggung jawab, karena pada hakekatnya memilih adalah hak yang harus dipertanggung jawabkan kepada bangsa dan negara serta kepada Tuhan yang maha esa. 

Perintah dan larangan merupakan beban-beban (taklif) syariat. Karena itu, taklif hanya dibebankan kepada setiap orang yang berakal sehat dan memahami taklif (pembebanan hukum) tersebut. Taklif adalah  panggilan atau sesuatu yang dikomunikasikan (khiab). Berkomunikasi dengan orang yang tidak berakal dan tidak mampu memaham, seperti berkomunikasi dengan benda mati dan binatang, adalah suatu hal yang mustahil.

Orang yang mampu memahami panggilan (al khiab), tetapi tidak memahami perinciannya, apakah itu adalah larangan atau perintah, mendatangkan pahala atau hukuman, maka orang tersebut seperti orang gila dan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan hal-hal  apa saja yang baik dan buruk). 

Orang gila atau anak-anak yang belum mumayyiz sama saja dengan benda mati dan binatang-binatang yang tidak mampu memahami al khib. Karena itu, mereka tidak layak diberi taklif (sehubungan dengan tujuan dari taklif). Sebagaimana tidak bisa memahami pokok pembeciraan, mereka juga tidak bisa memahami kelanjutannya.[7] Perlu dipahami bahwa hukum islam merupakan salah satu dari beberapa sumber hukum.

Para pemohon berdalih bahwa pasal tersebut telah mencabut hak ODGJ dan telah menimbulkan ketidakpastian hokum. Analisa singkat atas dasar ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: "setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Atas dasar ketentuan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 tersebut, pengaturan pendaftaran pemilih bagi orang yang tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dalam ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada adalah dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hokum bagi setiap warga Negara dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang efektif, efisien, dan tertib sesuai dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan yang demokratis. 

Justru apabila tidak ada ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada akan berpotensi mengganggu dan melanggar hak asasi orang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk mewujudkan terselenggaranya tahapan pemilihan kepala daerah yang demokratis, efektif, efisien, dan tertib. Dengan kata lain jika terjadi hal yang tidak diinginkan ketika proses pemilihan maka ODGJ tidak memiliki tanggung jawab hukum, itulah yang menyebabkan mereka tidak dapat dipidana.

Banyak yang berdalil dari ketentuan Pasal 148 UU Kesehatan yaitu: (1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain--sehingga terlihat bahwa ODGJ harus diperlakukan sama, tetapi kiranya perlu kita pahami bahwa dalam pasal tesebut ada kata "kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain." Dalam hal ini peraturan perundang-undangan menyatakan lain, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 bahwa "tidak sedang terganggu jiwanya"[8]

Terhadap Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor 8 Tahun 2015 yang menggunakan istilah "tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya" secara  semantik merupakan suatu keadaan yang dapat berubah sewaktu-waktu,. Berbeda dengan istilah "nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya" atau "tidak terganggu jiwa/ingatannya" yang menunjukkan suatu keadaan permanen dan pasti. Oleh karena itu, meskipun UU Nomor 8 Tahun 2015 membatasi hak bagi ODGJ untuk memilih namun apabila pada saat pemungutan suara ODGJ dalam keadaan sehat, maka terbuka kesempatan bagi mereka untuk memilih.sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Nomor 8 Tahun 2015:

  • Dalam hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar Pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat pemungutan suara yang berada di rukun tetangga atau rukun warga atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Sebelum menggunakan hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar Pemilih tambahan.

Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.

Salah satu tujuan hukum adalah untuk mencapai kegunaan atau kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang, sebagaimana dinyatakan oleh Jeremy Bentham, "the greatest happiness for the greates number."[9] Pada dasarnya frasa Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang  adalah guna menjamin pilkada yang demokratis bagi sebanyak mungkin orang. Ketidakpastian kesadaran dari orang yang sedang terganggu jiwa/ingatannya akan sangat menghambat efektivitas penyelenggaraan Pilkada.

Menurut Gustav Radbruch dan Theo Huijbers, kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. 

Kesadaran dari orang yang sedang terganggu jiwa/ingatannya adalah suatu keadaan yang subjektif yang mengancam terciptanya kepastian hokum. Penyelenggaraan Pilkada yang demokratis akan sulit diwujudkan, apabila ternyata hak suara dari pemilih yang sedang terganggu jiwa/ingatannya dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh orang lain. 

Mochtar Kusumaatmadja juga menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat. Dengan demikian orang yang sedang terganggu jiwa/ingatannya tidak masuk dalam daftar pemilih adalah demi menjamin ketertiban umum dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada yang demokratis berdasarkan kepastian hukum yang adil di masyarakat.

Akhir dari tulisan ini adalah berharap bahwa seluruh stakeholder perlu menyadari bahwa ODGJ adalah penyandang disabilitas yang memang wajib mendapatkan hak-haknya sebagai manusia ciptaan Tuhan dan sebagai warga Negara. Akan tetapi hak-hak mereka perlu dibatasi. Masih banyak hak-hak mereka yang patut dipenuhi oleh negara bukan hanya masalah hak politik. Sangat aneh memang giliran hak politik di jadikan masalah besar sementara mereka yang menggelandang tidak ada yang peduli. Yang dibutuhkan oleh mereka sekarang adalah mendapatkan jaminan kesehatan serta penghidupan yang layak sebagaimana yang didapatkan oleh masyarakat pada umumnya, bukan hak untuk memilih.

 
  
 

[1] Mahasiswa Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Bandung

[2]https://www.academia.edu/9323126/MAKALAH_ASKEP_KEPERAWATAN_JIWA_DENGANMASALAH_WAHAM/di akses pada tanggal 27 November 2018 pukul 20.00 WIB

[3] Louis O. Katstsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992, Hlm. 313

[4] Pasal 1 Undang-undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa

[5] Pasal 27 undang-undang dasar 1945

[6]https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/26/11/2018/kpu-siapkan-form-khusus-untuk-pendamping-pemilih-odgj. Di akses pada tanggal 27 November 2018 pukul 23.00 WIB

[7] Saifuddin Abi al-Hasan al-Amidi, al-ahkam fi Ushil Ahkam, jld. I, Hlm. 215.

[8] Lihat putusan MK No.135/PUU-XIII/2015 Hlm. 55-56   

[9] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2004), Hlm: 64

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun