Mohon tunggu...
Fitran Amrain
Fitran Amrain Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung -

membaca bernilai satu, tetapi menulis bernilai seribu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gagal Nalar Putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015 tentang Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Memilih

30 November 2018   05:09 Diperbarui: 30 November 2018   06:48 1911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Justru apabila tidak ada ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada akan berpotensi mengganggu dan melanggar hak asasi orang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk mewujudkan terselenggaranya tahapan pemilihan kepala daerah yang demokratis, efektif, efisien, dan tertib. Dengan kata lain jika terjadi hal yang tidak diinginkan ketika proses pemilihan maka ODGJ tidak memiliki tanggung jawab hukum, itulah yang menyebabkan mereka tidak dapat dipidana.

Banyak yang berdalil dari ketentuan Pasal 148 UU Kesehatan yaitu: (1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain--sehingga terlihat bahwa ODGJ harus diperlakukan sama, tetapi kiranya perlu kita pahami bahwa dalam pasal tesebut ada kata "kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain." Dalam hal ini peraturan perundang-undangan menyatakan lain, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 bahwa "tidak sedang terganggu jiwanya"[8]

Terhadap Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor 8 Tahun 2015 yang menggunakan istilah "tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya" secara  semantik merupakan suatu keadaan yang dapat berubah sewaktu-waktu,. Berbeda dengan istilah "nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya" atau "tidak terganggu jiwa/ingatannya" yang menunjukkan suatu keadaan permanen dan pasti. Oleh karena itu, meskipun UU Nomor 8 Tahun 2015 membatasi hak bagi ODGJ untuk memilih namun apabila pada saat pemungutan suara ODGJ dalam keadaan sehat, maka terbuka kesempatan bagi mereka untuk memilih.sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Nomor 8 Tahun 2015:

  • Dalam hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar Pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat pemungutan suara yang berada di rukun tetangga atau rukun warga atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Sebelum menggunakan hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar Pemilih tambahan.

Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.

Salah satu tujuan hukum adalah untuk mencapai kegunaan atau kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang, sebagaimana dinyatakan oleh Jeremy Bentham, "the greatest happiness for the greates number."[9] Pada dasarnya frasa Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang  adalah guna menjamin pilkada yang demokratis bagi sebanyak mungkin orang. Ketidakpastian kesadaran dari orang yang sedang terganggu jiwa/ingatannya akan sangat menghambat efektivitas penyelenggaraan Pilkada.

Menurut Gustav Radbruch dan Theo Huijbers, kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. 

Kesadaran dari orang yang sedang terganggu jiwa/ingatannya adalah suatu keadaan yang subjektif yang mengancam terciptanya kepastian hokum. Penyelenggaraan Pilkada yang demokratis akan sulit diwujudkan, apabila ternyata hak suara dari pemilih yang sedang terganggu jiwa/ingatannya dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh orang lain. 

Mochtar Kusumaatmadja juga menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat. Dengan demikian orang yang sedang terganggu jiwa/ingatannya tidak masuk dalam daftar pemilih adalah demi menjamin ketertiban umum dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada yang demokratis berdasarkan kepastian hukum yang adil di masyarakat.

Akhir dari tulisan ini adalah berharap bahwa seluruh stakeholder perlu menyadari bahwa ODGJ adalah penyandang disabilitas yang memang wajib mendapatkan hak-haknya sebagai manusia ciptaan Tuhan dan sebagai warga Negara. Akan tetapi hak-hak mereka perlu dibatasi. Masih banyak hak-hak mereka yang patut dipenuhi oleh negara bukan hanya masalah hak politik. Sangat aneh memang giliran hak politik di jadikan masalah besar sementara mereka yang menggelandang tidak ada yang peduli. Yang dibutuhkan oleh mereka sekarang adalah mendapatkan jaminan kesehatan serta penghidupan yang layak sebagaimana yang didapatkan oleh masyarakat pada umumnya, bukan hak untuk memilih.

 
  
 

[1] Mahasiswa Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun