Laki-laki bisu.
Begitu orang menyebut laki-laki dengan rambut acak-acakan yang biasa ditemui sore hari di tepi pantai. Beberapa orang mengira laki-laki itu gila. Tetapi pakaiannya termasuk rapi dan bersih. Dia datang tepat pukul empat sore. Tidak pernah terlewat.
Berdasarkan berita yang beredar di kalangan masyarakat sekitar, rumahnya berada tak jauh dari pantai. Paman penjaga pantai menambahkan, rumah besar bercat putih di belokan--sebelum menuju pantai-- adalah miliknya.
Jadi, dia bukan orang gila. Dia memiliki rumah. Dia tidak lupa jalan. Begitu yang selalu kuyakini.
Tetapi, Haikal meragukannya. Asumsinya, bisa saja hanya jalan menuju rumah dan pantai yang tersisa di ingatannya. Sekalipun terdengar sedikit masuk akal, pandanganku tentang laki-laki itu tidak berubah.
Haikal bersiap mengambil dokumentasi. Seharusnya atensiku terpusat pada guguran daun di atas pasir, tetapi ujung mataku justru melirik ke arah laki-laki bisu berada. Sejak awal kedatangannya, dia hanya duduk termangu.
Pertama kali melihatnya termenung seperti batu selama berjam-jam, aku dibuat heran. Lebih tepatnya penasaran. Apa yang dipikirkannya sedalam itu? Apa yang berserak di dalam tatap kosongnya?
Namun, akhir-akhir ini aku merasa sedikit mengerti yang dilakukannya. Bagaimana pikiran justru ramai saat bibir terkatup. Tenggelam di dalamnya tak dapat lagi dihindari sebagaimana yang dilakukan selama ini.
"Na," panggil Devi lembut. "Ayo pulang. Sudah petang."
Ketika tenggelam dalam pikir, waktu seolah tergesa berjalan. Berbeda dengan menunggu sebuah kedatangan.
"Iya."