Mohon tunggu...
FithAndriyani
FithAndriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Read and Write

Write your own history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Exspectat

16 Oktober 2018   18:45 Diperbarui: 16 Oktober 2018   18:44 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang dalam mencintai hanya cukup menyangkut 'aku' dan 'kamu' menjadi satu?

Jika demikian maka takkan ada tulisan 'mohon doa restu' pada undangan pernikahan. Karena hanya dengan adanya cinta keduanya belumlah cukup membuat pernikahan terlaksana.

Aku dan kamu sudah sekian lama menjadi kita. Menjalani kisah kasih dengan sederhana, bertemu malu-malu, berjauhan rindu. Kami tinggal di daerah yang berbeda namun tidak menjadi kendala. Cinta sudah lama mengikis jarak, menguji percaya bahwa setia itu butuh usaha bersama.

Kami bahagia, apapun rintangan yang berusaha mencegah. Kedatangan orang baru di dalam hubungan, mengontrol percaya pada pasangan yang jauh dari pandangan, atau rasa bosan di tengah perjalanan. Tak terhitung berapa kali kami marahan, saling tidak memberi kabar. Tetapi kami selalu kembali, mengisi sesuatu yang kurang ketika renggang.

Masalah yang sulit dihadapi hanya satu, restu.

Dalam dunia orang dewasa, terkadang pemahaman didapat bukan dari jelasnya ucapan. Orang dewasa menilai dari gerak-gerik, raut wajah, konotasi, intonasi dan intuisi. Meski penafsiran sendiri menggiring pada dugaan-dugaan, mereka tetap melakukannya. Setidaknya agar menyiapkan sikap dan skema baru,  bagaimana mengutarakan maksud hati dengan baik pada orang lain.

Begitupun dengan apa yang terjadi pada hubungan kami. Ibumu tidak mengatakan dengan gamblang jika ia tidak memberi restu kepada hubungan kami. Aku tidak mendengarnya secara langsung, pun kamu yang notabene putranya.

Kami tinggal di satu daerah yang sama. Rumah kami hanya berjarak sekian kilometer. Namun, sejak kamu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di salah satu kota besar di Jawa Timur, kami menjalani  hubungan jarak jauh.

Maka secara tidak langsung, aku terlibat interaksi sosial dengan ibumu. Entah di acara gotong royong, salat berjamaah di masjid, atau hanya berpapasan di jalan. Beliau tahu jika aku menjalin hubungan dengan putranya, tetapi beliau bersikap seolah aku masihlah seorang tetangga yang kebetulan adik tingkat putranya. Kamu belum memperkenalkan aku kepada ibumu, aku pun belum memperkenalkan dirimu pada ibuku. Kami saling melihat respon ibumu dahulu sebelum beranjak pada tahap berkenalan dengan orang tua masing-masing.

Menampik kenyataan ini, kami tetap bersikukuh bertahan. Menjalani LDR yang bila bertemu harus diam-diam. Menyedihkan memang, namun kami percaya restu hanya masalah waktu saja. Hati manusia dapat berubah sewaktu-waktu. Kami hanya perlu menunggu waktu yang tepat.

Aku baik-baik saja menjalani hubungan ini, meski terkadang ada rasa iri di hati melihat pasangan lain yang menunjukkan hubungan mereka terang-terangan. Tidak, aku tidak menginginkan hubungan kami semata untuk eksposur, menjadi konsumsi publik. Hanya saja terkadang lelah harus sembunyi-sembunyi, melempar kode lalu mengulum senyum jika di muka umum.

Hingga sebuah badai mulai tertiup, menggoyangkan 'pohon' yang kami rawat di tengah 'cuaca' tak bersahabat. Ibumu menjodohkanmu dengan putri salah satu tokoh masyarakat di daerah kami. Memang terkadang ibu-ibu suka menjodohkan anaknya dengan teman arisan atau teman sekolah tanpa sepengetahuan sang anak. Hanya untuk seru-seruan, saling memanggil besan atau membayangkan betapa lucunya jika benar-benar terjadi.

Berita ini kami anggap sesuatu yang tidak begitu penting. Kamu yang menjadi tokoh utama rumor itu tak berniat membantah A-Z.

Aku tidak dekat dengan dia, perempuan yang 'direstui' ibumu. Sesekali kami terlibat interaksi dalam beberapa hal kecil. Dia kakak kelasku di sekolah. Kami tidak canggung, tetapi juga tidak akrab. Sejenis seseorang yang ditemui dengan 'hai-oh-ya udah.'

Ketika rumor beredar, beberapa orang disergap rasa ingin tahu. Rasa penasaran dalam diri manusia adalah alami. Walau kadar penasaran seseorang dalam suatu hal berbeda-beda. Beberapa orang di sekitar ingin tahu kebenaran rumor ini. Terutama orang-orang yang mengetahui hubunganku denganmu. Well, dia  adalah anak tokoh masyarakat, anak dari sosok terpandang. Sehingga mereka tergerak untuk kepo dan mengkroscek kebenarannya.

Jawaban dari hasil kroscek itu, sempat membuat hubungan kami renggang. Ya, dia menyukaimu. Ibarat dia searah dengan cahaya lampu yang menerangi jalannya, sedangkan aku tergopoh-gopoh dengan lilin di tengah badai. Aku sedikit merasa bersalah dan kecewa di saat yang sama.


Lalu tanggapanmu setelah mengetahui jika dia menyukaimu,  sangatlah santai. Tidak ada gairah untuk klarifikasi atau mengambil langkah lain. Bibirmu melengkungkan senyum hingga terdengar kekehan pelan, "Tidak perlu khawatir. I'm yours."

Aku pun mendiamkanmu selama nyaris sebulan. Tidak benar-benar mendiamkan, hanya bersikap cuek, memberi kode bahwa aku sedikit kecewa. Aku tidak berharap kamu mengadakan jumpa pers, mengumumkan melalui TOA masjid atau bahkan mengatakan padanya dengan jelas jika kamu sedang menjalin hubungan asmara denganku. Aku hanya ingin mendengar jawaban pasti, bagaimana perasaanmu padanya.

Kodeku terbaca. Kamu pun mengajakku bertemu. Dengan tatapan serius, kau bidik mataku kala mengutarakan perasaanmu, "Dengar Runi, sekalipun dia mendapat lampu hijau atau mejikuhibiniu dari ibu, aku tidak akan mengubah warna lampuku untukmu, I purple you."

"Dia cantik, putri anak terpandang. Secara gak langsung kamu melewatkan menantu potensial untuk ibumu."

Kamu menyentil dahiku gemas, "Terus kenapa? Memang kamu kalah  potensial dari dia?" Aku menggeleng malu. "yasudah. Lagipula aku berhak memilih jalan hidupku. Kita bisa mendapat restu itu, hanya perlu sedikit bersabar menunggu. Runi ku bisa melakukannya 'kan?"

Jawaban iya ku atas permintaanmu membuatku terus bersabar menunggu. Seperti katamu, sedikit lagi. Aku hanya perlu bersabar. Bertahan dengan hubungan sembunyi-sembunyi ini sampai pada waktu berakhirnya semua penantian.


"Udah lama nunggunya?" Tanyamu seketika. Dari deru napasmu, sepertinya kamu baru saja berlari.


"Gak lama banget, paling setengah jam" Candaku.


"Serius?" Aku menahan tawa, kena kau. "tadi pas udah sampe setengah jalan, balik lagi ngambil ini" Kamu membalikkan badan, memperlihatkan ransel hitam di punggungmu.


Alisku bertaut, "Buat? Emang kita mau ke mana?"


Alih-alih menjawab, kamu duduk begitu saja di sampingku. "Kamu udah nonton AADC 1? Atau Eiffel I'm in Love 1?"


Out of the blue. "Sudahlah. Semuanya kan film jadul"


"Aku pengen parodiin salah satu adegan dari film itu, AADC sih lebih tepatnya. Tapi dengan style-ku"


"Baca puisi? Kamu-baca-puisi?" Tanyaku sanksi.


Kamu menghela napas, "Bukan. Adegan di bandara" Hah? "terkadang aku iri sama pasangan yang dadah-dadah di bandara. Aku kekanakan ya?" Kepalamu tertoleh ke samping, aku pun melakukan hal yang sama. Hingga kami saling membaca ekspresi masing-masing.


"Just do it. Selain kamu, aku pun merasa demikian. Haha, kita kompak gini ya" Semesta, dengarlah, kami selalu sama dalam hampir segala hal.


Kamu berdiri dengan semangat. Aku pun bangkit tanpa tahu harus berbuat apa. Aku yakin kamu sudah merencanakan skenarionya. Tipikal golongan darah A.


Setelah siap mengatur latar dan menjelaskan secara singkat skrip parodi, kamu mengeluarkan sebuah beany dari dalam ransel. Kamu tersenyum ke arahku sembari mengenakan beany. Kemudian telunjukmu menunjuk apa yang kamu kenakan saat ini, dari atas sampai bawah, kecuali ransel. Entah mengapa mataku memanas seketika. Kuanggukkan kepala lalu mengacungkan jempol padamu. Aku (baru) sadar jika kamu sengaja mengenakan sesuatu yang kami beli bersama.


Sesuai arahanmu, aku cukup melambaikan tangan ke arahmu yang berbalik badan menatapku, enggan meninggalkan. Sebisa mungkin aku tahan genangan di mataku menitik, sepertinya aku terlalu hanyut dalam suasana.


Hingga tiba pada skenario kamu berlari dan memelukku erat. Aku tahu jika bukan hanya diriku yang berusaha menahan tangis. Persetan dengan skenario, kami terdiam lama tanpa kata, tanpa suara.


"Uni Runi," kamu mengurai pelukan perlahan, menatap lurus ke arah mataku. "sebentar lagi. Pegang kata-kataku, jangan dengarkan rumor, emm?"


Aku tidak mampu menggerakkan kepalaku untuk mengangguk. Suaraku pun tercekat di tenggorokan. Untuk mengiakan, aku mengerjapkan mata. Namun justru memuluskan genangan yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata.


Ibu jarimu menghapus jejak air mataku, namun usaha itu sia-sia karena mereka menggelinding menerobos pertahananku.


Tanganmu beranjak ke puncak kepalaku. "Baik-baik, ya. Kata Pasto, aku pasti kembali." Dengan gemetar kamu usap rambutku. Apa menangis bagi laki-laki adalah sebuah hal yang memalukan?


Tanpa diduga, kamu meletakkan kepalamu di pundakku. Rupanya kamu membaca isyaratku untuk menumpahkan saja air matamu.


"Kamu abis keramas ya? Wangi samponya, aku suka" katamu dengan suara sengau. Sepertinya kamu sudah kembali menjadi gentleman lagi. Pretend nothing happened.


Dengan posisi tetap memeluk, kamu mencoba menebak merk sampo yang kugunakan. Kami tertawa saat kamu menirukan slogan ikonik ambassador salah satu merk sampo ternama.


Malam itu, semua perasaan bercampur aduk tak menentu. Kami saling berpisah dengan senyum di bibir dan sembap di mata.


------


Boleh kah kini aku angkat bicara, mengutarakan segala rasa selama menunggu yang kau pinta padaku?


Aku ingin kita maju, tak lagi menunggu.

***

"Hai, bro, kapan pulkam? Betah bener di rantau"

"Tahu nih kapan" jawabku sekenanya.

Rav menghela napas singkat, "Tinggal Abang doang nih yang belum pulkam," aku mengangguk meski dia tidak akan melihatnya, "gak kangen apa sama adekmu yang ganteng ini?"

"Dih" cibirku.

"Pokoknya kudu mudik. A coward must not be my brother. I know better that you're gentle because you're my brother. Mmm?"

Aku membuang napas lesu, "Mm"

Setelah mengucap salam, sambungan  terputus. Kuletakkan ponsel di atas kasur sembarangan.

Di luar hujan turun rintik-rintik, tidak lebat seperti dua hari yang lalu. Aku membuka laci lalu mencari benda kotak berwarna putih beserta pemantik api. Entah sejak kapan aku suka duduk di dekat jendela yang terbuka saat hujan dengan nikotin terselip di bibir. Jangan pandang aku laki-laki yang menyedihkan, meskipun aku tak mampu menolak jika aku terlihat demikian.

"Hujan, mau kah kamu mendengar pertanyaanku?" Tanyaku tiba-tiba setelah rokok yang sejak tadi mengunci bibir berakhir di asbak hadiah dari minimarket.

Jelas saja tidak ada jawaban, namun suara rintiknya masih terdengar karena awan kelabu belum menuntaskan muatannya.

"Ada seseorang yang merindu, namun dia tidak ingin bertemu. Dia sudah lama mengubur kenangan, nyatanya dia malah mengaburkan kenyataan. Apa yang seharusnya ak- dia lakukan?"

Angin berhembus dari luar jendela,  membawa bulir-bulir hujan menerpa sebagian tubuhku. Aku tersenyum menatap tangan kananku yang agak basah. Kemudian aku beranjak ke atas kasur, meraih ponsel. Tanpa ragu kupesan tiket kereta api secara online. Sepertinya menghabiskan waktu di kereta akan membantuku menjawab pertanyaan tadi.

Seorang laki-laki tak selayaknya berlama-lama dalam memperbaiki hati.

***

Aku tidak memilih pergi karena benci

Aku tahu

Aku tak lagi menunggu karena bahagia tidak harus mencocokkan waktu

Semoga bahagia

Kamu juga, ya

***

Malang, 15 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun