Kamu berdiri dengan semangat. Aku pun bangkit tanpa tahu harus berbuat apa. Aku yakin kamu sudah merencanakan skenarionya. Tipikal golongan darah A.
Setelah siap mengatur latar dan menjelaskan secara singkat skrip parodi, kamu mengeluarkan sebuah beany dari dalam ransel. Kamu tersenyum ke arahku sembari mengenakan beany. Kemudian telunjukmu menunjuk apa yang kamu kenakan saat ini, dari atas sampai bawah, kecuali ransel. Entah mengapa mataku memanas seketika. Kuanggukkan kepala lalu mengacungkan jempol padamu. Aku (baru) sadar jika kamu sengaja mengenakan sesuatu yang kami beli bersama.
Sesuai arahanmu, aku cukup melambaikan tangan ke arahmu yang berbalik badan menatapku, enggan meninggalkan. Sebisa mungkin aku tahan genangan di mataku menitik, sepertinya aku terlalu hanyut dalam suasana.
Hingga tiba pada skenario kamu berlari dan memelukku erat. Aku tahu jika bukan hanya diriku yang berusaha menahan tangis. Persetan dengan skenario, kami terdiam lama tanpa kata, tanpa suara.
"Uni Runi," kamu mengurai pelukan perlahan, menatap lurus ke arah mataku. "sebentar lagi. Pegang kata-kataku, jangan dengarkan rumor, emm?"
Aku tidak mampu menggerakkan kepalaku untuk mengangguk. Suaraku pun tercekat di tenggorokan. Untuk mengiakan, aku mengerjapkan mata. Namun justru memuluskan genangan yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata.