"Dik."Â
Tak usah diperlengkap lagi namanya, aku tahu jika itu dia. Tak tahu bagaimana kontur wajahku kala itu karena spion motor tidak berdiri di tempatnya –yang kemudian aku syukuri. Ingin marah, kecewa, ataupun cemburu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Karena rasa ini akulah yang membangun tanpa dia turut sekadar menjadi batu batanya.Â
Uniknya, aku ikut senang mendengar betapa dia menyayangi kakakku. Begitupun dengan ibunya. Tidak ada iri atau ingin bertukar posisi. Aku cukup nyaman sebagai penikmat rasa dari jauh. Aku cukup nyaman menyimpan semua itu. Pun menjadikannya sebagai muara tulisan-tulisanku. Aku senang menyesapi rasa ini sendiri tanpa dia harus ikut serta duduk di sampingku menemani.
Jadi, perasaan macam apa ini? Apakah sama dengan kenyataan yang banyak terjadi pada pasangan yang berpacaran bertahun-tahun, namun tidak pernah terpikir akan berakhir manis pada suatu akad pasti?Â
Suara bel di pintu masuk gemerincing, menandakan seseorang masuk atau keluar dari kafe. Rupanya bapak berjas hitam keluar meninggalkan kue ulang tahun berangka 23 di atas mejanya menganggur. Beliau juga sudah meninggalkan note hijaunya di pohon Primo Amore yang terletak beberapa meter di samping kanan pintu masuk. Selain beliau, pengunjung tetap kafe masih sibuk dengan pikiran dan minuman masing-masing.Â
Alunan menyayat dari gitar berhenti. Pemetik senarnya tengah menggantungkan note barunya di pohon. Kurasa aku akan menyusulnya setelah menghabiskan tehku yang tinggal beberapa sesapan lagi.Â
Tanganku meraih note di atas meja, menuliskan pesan yang akan kugantungkan di pohon. Ini ritual pengunjung kafe sebelum beranjak pergi.Â
"Tidak,
Itu bukan cinta pertama
Cuma cinta nggak sampai saja kok
Di usia dini, belom kenal itu dan ini