Mohon tunggu...
FithAndriyani
FithAndriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Read and Write

Write your own history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Katanya Pertama

11 Februari 2017   19:01 Diperbarui: 17 Juni 2021   15:17 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengunjung kafe sederhana di pinggiran kota ini masihlah sama. Hanya gadis berambut ikal alami di meja dekat pintu masuk yang menjadi penambah. Laki-laki gitar, gadis bermantel coklat lusuh, bapak berjas hitam, dan aku. Sudah seminggu aku kemari dan mereka yang kusebutkan sebelumnya menjadi pengunjung tetap. 

Mata kami menatap jendela beberapa saat. Hujan lagi. Tahun ini cuaca tidak stabil. Hujan dan panas seakan berlotere, membuat manusia harus mengamalkan pepatah lama 'sedia payung sebelum hujan'. 

 Seketika hatiku turut kelabu. Baper kata anak gaul zaman sekarang. Terlebih laki-laki gitar memainkan lagu sendu yang tak kutahu judulnya. Karena terlalu sering dimainkan sehingga sedikit ingat liriknya.

Picked up my old guitar

The confession that I couldn’t make and

the story I stubbornly swallowed

Revealing a song I’m about to tell you

(about) now. Just listen I’ll sing for you*

Dari dulu aku bertanya-tanya, Mengapa manusia mendadak galau jika hujan menyapa bumi? Ingin menyanyi dan mendengar lagu-lagu sendu saja? Tanpa sebab. 

Dan aku salah satunya. 

Memiliki kenangan dengan hujan? Iya. Bukan berkejaran dengan si dia mencari tempat berteduh seperti dalam cerita kesukaanku, tetapi berjuang mengayuh sepeda sampai rumah teman karena hujan deras mengaburkan pandangan. Teman, bukan dia. Dia juga teman, tetapi beda rasa. Rasanya hanya teman. Kau tau maksudku, 'kan?

Dia bahkan bukan ehm pacar dan semacamnya. Lalu mengapa aku seketika baper jika hujan? Seketika rindu padanya? Ini yang aneh. Entah ini cinta atau diniatkan cinta, aku tak tahu.

Kata Kim Eun Sook di dalam drama apiknya Goblin, cinta pertama tidak pernah berhasil. Tidak hanya dewi naskah ini saja, pernyataan ini juga dikatakan beberapa penulis. Jadi, mungkin saja pernyataan ini berlaku pada cinta pertamaku. Ah, aku bahkan sedikit sanksi dengan sebutan cinta pertama untuk perasaan awam ini. 

Cinta pertama adalah jenis cinta yang sulit dilupakan dan kerap terjadi akibat tubrukan pandangan pertama. 

Setelah dipikir-pikir, sebenarnya dia tidak sulit terlupa, terkadang aku menaruhnya pada sandaran kegalauan yang menyergap saja. Aku suka dia, katakanlah cinta dia sejak aku sadar senyumnya itu amat manis dan menawan. Pada saat pertama lihat dia? Tidak. Itu sudah keberapa kali aku melihat, bercanda, dan bertukar cerita. Sejak saat itu, aku memproklamirkan dia sebagai cinta pertama, juga cinta monyet, mengingat usiaku yang belum genap sepuluh. Tapi dia bahkan menjadi bintang dalam mimpi-mimpiku. Ya ... walau katanya memimpikan seseorang bisa terjadi jika terlalu sering mengingatnya. 

Sekian lama menyimpan rasa, aku tidak tertarik lagi pada laki-laki lain. Bagiku melihat senyumnya dari jauh sudah cukup mengisi status sendiri yang teman-temanku berusaha hapus dengan jadian. Hingga usiaku menginjak tujuh belas tahun. 

Perasaan yang bebas berlayar di hati itu harus berakhir ketika dengan ceria kakakku bercerita dalam perjalanan pulang di atas sekuter. 

"Aku sekarang jadian loh." Bukan hal baru mengingat betapa cantiknya dia dibanding diriku. 

"Sama siapa?" 

Raut wajahnya sangat senang. Pasti orang itu sangat tampan. 

"Coba tebak?" 

Aku tidak begitu tahu nama cowok yang dekat dengannya. Apalagi jika tidak bersinggungan dengan hidupku.

"Dik." 

Tak usah diperlengkap lagi namanya, aku tahu jika itu dia. Tak tahu bagaimana kontur wajahku kala itu karena spion motor tidak berdiri di tempatnya –yang kemudian aku syukuri. Ingin marah, kecewa, ataupun cemburu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Karena rasa ini akulah yang membangun tanpa dia turut sekadar menjadi batu batanya. 

Uniknya, aku ikut senang mendengar betapa dia menyayangi kakakku. Begitupun dengan ibunya. Tidak ada iri atau ingin bertukar posisi. Aku cukup nyaman sebagai penikmat rasa dari jauh. Aku cukup nyaman menyimpan semua itu. Pun menjadikannya sebagai muara tulisan-tulisanku. Aku senang menyesapi rasa ini sendiri tanpa dia harus ikut serta duduk di sampingku menemani.

Jadi, perasaan macam apa ini? Apakah sama dengan kenyataan yang banyak terjadi pada pasangan yang berpacaran bertahun-tahun, namun tidak pernah terpikir akan berakhir manis pada suatu akad pasti? 

Suara bel di pintu masuk gemerincing, menandakan seseorang masuk atau keluar dari kafe. Rupanya bapak berjas hitam keluar meninggalkan kue ulang tahun berangka 23 di atas mejanya menganggur. Beliau juga sudah meninggalkan note hijaunya di pohon Primo Amore yang terletak beberapa meter di samping kanan pintu masuk. Selain beliau, pengunjung tetap kafe masih sibuk dengan pikiran dan minuman masing-masing. 

Alunan menyayat dari gitar berhenti. Pemetik senarnya tengah menggantungkan note barunya di pohon. Kurasa aku akan menyusulnya setelah menghabiskan tehku yang tinggal beberapa sesapan lagi. 

Tanganku meraih note di atas meja, menuliskan pesan yang akan kugantungkan di pohon. Ini ritual pengunjung kafe sebelum beranjak pergi. 

"Tidak,

Itu bukan cinta pertama

Cuma cinta nggak sampai saja kok

Di usia dini, belom kenal itu dan ini

Iya,

Itu salah tafsir namanya

Masa hanya karena senyummu

Betah jomlo sampe detik ini?

Mungkin,

Kamu tahu aku bodoh begini

Aku juga tahu ini mustahil menjadi

Jadi kita akhiri saja, ya?

Sepertinya akan ada yang baru untuk mengisi posisimu

Dia sudah mengintip beberapa kali dalam mimpi

Selamat tinggal, Dik."

Jangan pernah membayangkan aku menggantung note ini dengan mata berkaca-kaca. Sebaliknya, justru aku lega. Ini sesuatu yang diniatkan cinta, belum menjadi cinta sebenarnya. Tapi aku tidak juga main-main untuk sembilan tahun lamanya. 

Note-ku bersebelahan dengan milik bapak berjas itu. Beliau tidak menggunakan pena yang disediakan kafe. Tinta pena beliau terlihat mewah dan mahal khas kantoran. Dengan lancang aku membaca pesan beliau hari ini. 

"Jika memang karena kutukan cinta pertama, bisakah kita bersama, Ma? Aku belum lupa ketika kusebutkan namamu dalam ikrar di depan penghulu. Juwita Maharani, kau masihlah seseorang yang aku sebut Mama ketika orang lain sudah memanggilku Papa."

Ah, bapak berjas itu memiliki kisah yang cukup pilu. Apa ibu Juwita yang ditunggunya sejak tadi untuk meniup lilin di kue itu? Kasihan sekali jika memang mereka korban kutukan cinta pertama. 

Pohon ini menjadi tumpuan segala perasaan lama kami. Banyak kata bergantung pada dahan-dahannya. Kami tidak mengharapkan mereka akan membacanya kemudian mengejar. Kami hanya ingin menyortir kata lama, agar kata baru dan cerita baru memiliki ruang, karena kami masih terus melanjutkan perjalanan. 

Aku menatap lekat kace dari luar. Hari ini aku sudah memutuskan untuk melupakan dan meninggalkan perasaan lama itu. Tetapi rasanya sayang jika aku meninggalkan kage ini setelah seminggu aku berkunjung kemari. Di sini aku menemukan ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan. Menemukan ruang di mana kami para pengunjung bisa berekspresi terhadap cinta yang katanya pertama. 

Baiklah, aku akan tetap mengunjungimu, Primo Amore kafe.

---

*Sing For You - EXO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun