Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasionalisme di Batas Negeri

16 Januari 2016   22:29 Diperbarui: 16 Januari 2016   23:07 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Eksodus warga Indonesia yang berada di garis perbatasan antar negara merupakan isu strategis yang seringkali diangkat oleh berbagai pihak. Berpindahnya penduduk dari pemukiman di Indonesia ke wilayah malaysia beberapa bulan kebelakang menjadi ‘makanan’ media, baik cetak dan elektronik maupun media online. Isu nasionalisme kemudian mencuat. Ada yang mengkaitkan bahwa eksodus tersebut akibat adanya kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia dengan negeri Jiran, Malaysia.

Desa – desa yang berada disepanjang garis batas antar negara Indonesia dan Malaysia, terutama di jalur Kabupaten Nunukan dengan Negara Bagian Sabah, menjadi perhatian berbagai pihak, akibat adanya pemberitaan yang demikian intens. Banyak pihak kemudian merasa ‘kebakaran jenggot’, terutama pemerintah pusat yang akhirnya ‘melirik’ wilayah perbatasan, untuk merespon berita negatif yang menyudutkan program kerja pemerintah.

Realita yang patut diapresiasi dan mendapat perhatian lebih, mengingat beberapa kejadian yang menyebakan lepasnya sebagian wilayah Indonesia. Kasus Timor Timur, yang sekarang menjadi Negara Timor Leste. Sipadan dan Ligitan yang menjadi wilayah Malaysia dengan legitimasi dari Keputusan Mahkamah Internasional. Belum lagi soal ancaman disintegrasi bangsa seperti halnya api dalam sekam.

Aceh dengan GAM, Papua dengan OPM hingga munculnya inisiatif pembentukan negara Borneo Raya yang merupakan ‘kreasi’ negara baru meliputi seluruh wilayah kalimantan. Tentu ada yang kurang pas dengan pengelolaan negara Indonesia. Ada isitilah ‘Jawa Sentris’ yang kemudian mengemuka. Fokus pembangunan di Negara Indonesia yang sentripetal untuk wilayah Jawa dengan ‘mengabaikan’ problematika dan kebutuhan masyarakat Indonesia di pulau lainnya.

Banyak muncul kepermukan terutama di media sosial online, dengan bentuk protes kata-kata berupa hastag (tanda pagar) untuk dijadikan trending topic melalui jalur dunia maya. #RiauJugaIndonesia, yang muncul karena lambannya penanganan kasus asap. #KalimantanJugaIndonesia, yang mengharapkan ‘kepedulian’ pusat karena adanya ketimpangan pembangunan prasarana dan sarana jalan maupun akses tehnologi informasi, mengingat Kalimantan, terutama Kalimantan Timur, adalah salah satu dari tiga Provinsi penyumbang devisa terbesar bagi bumi pertiwi. Belum lagi soal peristiwa Gunung Sinabung yang tidak secepat penangannanya dibandingkan dengan kejadian meletusnya Gunung Merapi di Jogjakarta. Mungkin saja ada banyak peristiwa-peristiwa lain yang terjadi dibelahan pulau di Indonesia, selain pulau Jawa, yang tidak diekspos oleh media.

Semua pihak kemudian merasa berempati dan ambil peduli. Seharusnya memang demikian. Namun terkadang hanya sebatas kritik tanpa solusi. Usaha sebatas kata tanpa ada kerja nyata. Entah apa yang mejadi faktor penyebab sulitnya para pemimpin negeri ini untuk peka dan mengambil kerja riil membangun Nusantara yang berkeadilan. Adil dalam segala hal. 70 Tahun bangsa ini merdeka. Bahkan jauh sebelumnya melalui ‘Sumpah Pemuda’, setiap bagian dari pemuda dan pemudi negeri menyatakan kesatuan dan kebinekaan. Nasionalisme dibangun karena kesamaan dalam penderitaan. Namun hingga kini, hampir sebagian besar masih banyak menderita akibat timpangnya pengelolaan negara. Rakyat seringkali mempertanyakan ‘posisi’ pemerintah saat sebagian pulau di negara ini dalam kondisi susah.

Desa Tau Lumbis, Desa di Perbatasan Indonesia - Malaysia

Penulis menelusuri salah satu wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yang merupakan desa terjauh di Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara, Desa Tao Lumbis Kecamatan Lumbis Ogong tepatnya. Lokasi desa ini merupakan kumpulan sepuluh desa yang dihuni kurang lebih 77 kepala keluarga. Desa-desa yang ada dalam wilayah Desa Tau Lumbis adalah merupakan desa hasil resetlmen penduduk demi memudahkan pengawasan dan sesuai dengan Instruksi Presiden (inpres) jaman Soeharto dalam rangka penanganan desa-desa terpencil dipedalaman.

Waktu tempuh menuju lokasi Desa tau Lumbis, dari Mensalong, ibukota Kecamatan Lumbis Induk adalah satu hari perjalanan menggunakan perahu longboat dengan mesin ganda. Kondisi air juga mempengaruhi waktu perjalanan. Bila air dalam keadaan pasang atau sedang banjir, maka longboat dapat melaju hingga desa tau Lumbis, namun jika kondisi air sedang surut maka waktu tempuh bisa lebih lama lagi, bahkan hingga bisa bermalam di jalan dan kemungkinan berganti perahu yang berbadan lebih kecil serta ramping. Hal tersebut untuk memudahkan sang motoris dan juru baru meliuk-liuk memainkan perahunya diantara bebatuan sungai.

Selain rentang waktu yang cukup panjang untuk bisa sampai ke desa Tau Lumbis, berbagai rintangan di jalan menjadi penahan laju longboat yang saya tumpangi. Jeram - jeram di sepanjang jalur sungai sangat berbahaya dan seringkali saya dan beberapa teman yang ada dalam perahu yang sama, berjalan kaki menelusuri tepian tebing untuk menghindari jeram. Sedangkan longboat harus melaju dalam kondisi ringan untuk memudahkan melewati setiap lekukan jalur sungai yang dibentengi oleh batu-batu cadas besar. Bahkan pada beberapa kesempatan, kami harus buru-buru terjun ke sungai untuk menarik perahu yang tersangkut diantara batu-batu. Sungguh sangat menguras tenaga dan emosi.

Gambaran adanya ketimpangan struktural yang dialami oleh masyarakat Desa Tao Lumbis sangat ‘terasa’ ketika saya coba memperbandingkan dengan beberapa desa di Malaysia yang bersebelahan langsung dengan Desa Tau Lumbis, misalnya, adalah kualitas infrastuktur yang masih buruk, sulitnya transportasi, mahalnya berbagai barang kebutuhan pokok, akses kesehatan dan pendidikan yang masih minim, dan ketergantungan yang masih relative kuat pada Malaysia.

Berbagai kekurangan yang mereka dapatkan sebagai orang Indonesia bisa dilengkapi dengan menjadikan diri mereka sebagai orang Malaysia. Temuan yang cukup miris saat saya mengetahui bahwa hampir 80 persen masyarakat Tau Lumbis memiliki Kartu Identitas sebagai warga Negara Malaysia. Hal ini berdasarkan penuturan beberapa warga setempat. Menjadi masyarakat Malaysia sebenarnya lebih diuntungkan karena akses pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan yang jauh lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan menjadi warga Indonesia untuk kebutuhan yang sama.

Tiga kebutuhan inilah yang pada akhirnya ‘menggoda’ masyarakat Indonesia di perbatasan untuk memiliki dua kewarganegaraan sekaligus atau bahkan sampai mengubah identitas kewarganegaraan mereka. Fakta ini menjadikan masyarakat Indonesia di Desa Tau Lumbis terkesan tidak bisa mandiri, bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa bantuan Malaysia. Untuk bahan bakar minyak (BBM) saja pemerintah Indonesia tidak bisa menyediakan, terlebih lagi soal kebutuhan energi listrik, tidaklah mengherankan bila ‘nilai ke-Indonesiaan’ di daerah ini masih minim sekali.

Penulis mencoba memahami dinamika masyarakat desa perbatasan Tau Lumbis berlandaskan pada teori Tindakan sosial. Max Weber mendefinisikan tindakan sosial adalah perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan makna subjektif terhadap perilaku tersebut (Mulyana, 2003:61). Kutipan G. Ritzer tentang pernyataan Weber, Durkheim dan Marx, tentang tindakan sosial adalah :

·       Max Weber : Tindakan Sosial merupakan tindkaan manusia yang dapat mempengaruhi individu lain dalam masyarakat

·       Emil Durkheim : Tindakan Sosial merupakan perilaku manusia yang diarahkan oleh norma dan tipe solidaritas kelompok dimana individu bersosialisasi.

·       Karl Marx : Tindakan sosial merupakan aktivitas manusia yang berusaha menghasilkan barang, melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu.

Maka dapat disimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berhubungan dengan orang lain dimana tindakan tersebut dipengaruhi dan mempengaruhi orang lain. Demikian pula pengaruh lingkungan masyarakat Desa tau Lumbis yang terbiasa dengan kehidupan yang apa adanya atau dengan kondisi serba terbatas, karena kurangnya sarana dan prasarana, sehingga adanya pola ketergantungan pada masyarakat tetangganya yang lebih dekat (desa perbatasan wilayah Malaysia) dalam pemenuhan kebutuhan baik materi maupun sosial, yang sudah berlangsung sangat lama. Maka lingkungan sosial yang mereka alami tersebut, akan mempengaruhi perilaku masyarakat, khususnya cara mereka membangun komunikasi dengan pemerintah setempat dalam rangka pembangunan yang sedang dilaksanakan diwilayah mereka.

Penulis melihat bahwa Pemerintah tidak hadir sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat, kecuali melalui simbol-simbol negara seperti TNI, POLRI, atau perwakilan pemerintah daerah (seperti Camat dan Kepala Desa), yang sebenarnya simbol-simbol negara ini tidak cukup berpengaruh bagi masyarakat karena simbol-simbol yang dihadirkan oleh negara ini tidak bisa membantu mereka untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup. Simbol kenegaraan sebagai bentuk komunikasi politik yang dijalankan pemerintah kurang berdampak positif bagi masyarakat. Pasif dan malah cenderung mengabaikan keberadaan masyarakat, adalah poin yang menjadi penilaian warga diperbatasan bahwa mereka hanya menjadi penikmat ‘kesekian’ aroma ‘kemerdekaan’ sebenarnya.

Penulis mengutip pendapat ahli terkait dengan konsep mereka terhadap komunikasi politik. Menurut Almond dan Powell: “Komunikasi politik merupakan suatu fungsi sistem yang mendasar (basic function of the system) dengan konsekuensi yang banyak untuk pemeliharaan ataupun perubahan dalam kebudayaan politik dan struktur politik. Seseorang tentunya dapat mengasumsikan bahwa semua perubahan penting dalam sistem politik akan menyangkut perubahan dalam pola-pola komunikasi, dan biasanya baik sebagai penyebab maupun akibat. Semua proses sosialisasi misalnya, merupakan proses komunikasi, meskipun komunikasi tidak harus selalu menghasilkan perubahan sikap (attitude change).” Jelas disampaikan bahwa komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.

Pada keadaan masyarakat Tau Lumbis yang berada di garis batas negeri, telihat bahwa simbolisasi komunikasi politik pemerintah tidak mampu menjangkau warga Indonesia hingga kepelosok. 70 tahun kemerdekaan Indonesia, tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat. Keberadaan fasilitas public yang memang seharusnya menjadi kewajiban negara untuk disiapkan bagi masyarakat, tidak maksimal tersedia. Sebagai contoh pada pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa ketersediaan tenaga kesehatan. Di Desa Tau Lumbis hanya ada seorang bidan dengan sebuah puskesmas pembantu. Padahal di daerah yang sangat terpencil seperti di Tau Lumbis, dibutuhkan tenaga dokter dan perawat serta fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Penanganan dini berbagai penyakit yang diderita masyarakat tidak akan mampu ditangani oleh tenaga seorang bidan dengan kemampuan terbatas.

Terlebih lagi dalam soal bidang pendidikan. Di Tau Lumbis terdapat sebuah SD dan sebuah SMP, yang berada dalam satu lokasi. Saat penulis berkunjung ke lokasi belajar tersebut, siswa SD diliburkan oleh pihak sekolah karena tenaga pengajar tidak berada ditempat. Ada hal yang harus diurus oleh tenaga pengajar tersebut ke ibukota Kabupaten Nunukan, demikian penjelasan salah seorang orang tua siswa. Karena siswa SMP tidak diliburkan, maka penulis berkesempatan berbincang dengan tenaga pengajar di SMP 2 Desa Tau Lumbis. Di SMP 2 Tau Lumbis hanya terdapat empat orang tenaga pengajar. Empat orang tersebut sudah termasuk seorang Kepala Sekolah dan seorang guru dengan status PNS. Dua orang lainnya adalah tenaga kontrak dari program SM3T, dengan masa kontrak selama setahun. Bisa dibayangkan bahwa minimnya tenaga pengajar dengan harus menanggung beban mengajar beberapa bidang studi, sangat berdampak terhadap kualitas anak didik setempat.

Nasionalisme di Batas Negeri

Gambaran di atas memperlihatkan adanya dua dimensi penting dalam perbincangan wilayah perbatasan, khususnya menyangkut identitas yang terbentuk dan berkembang dari waktu ke waktu. Pertama, Bentuk komunikasi politik dengan hadirnya lembaga pemerintah hanya merupakan simbolisasi semata tanpa eksistensi pelayanan publik yang seharusnya bisa terpenuhi sebagai hak pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Eksistensi kelembagaan pemerintah bukan merupakan solusi terbaik untuk mengatasi kemungkinan konflik yang bisa saja terjadi sewaktu – waktu.

Masyarakat butuh sandang, pangan dan papan yang notabene adalah hak-hak dasar dalam rangka pelayanan publik yang menjadi tugas pemerintah. Kedua, permasalahan diperbatasan bukan hanya berbicara soal ‘nasionalisme’, bukan soal ‘merah-putih’ dan bukan hanya keIndonesiaan semata. Kedaulatan bangsa terukur pada ‘kehadiran’ negara pada masyarakat yang berada di perbatasan.

Ketimpangan dalam supply dan demand yang tampak dari berbagai aspek kehidupan ekonomi dapat dinilai sebagai prakondisi bagi lahirnya kecenderungan tertentu dalam eksistensi masyarakat tentang nasionalisme yang terkesan ‘diperdagangkan’. Pengaruh Malaysia yang begitu kuat di daerah perbatasan, sepertinya, memang disengaja oleh pemerintah Malaysia karena pemerintah Malaysia sangat menyadari bahwa ketidakhadiran ‘negara Indonosia’ bisa menjadi pintu masuk mereka untuk bisa menguasai daerah perbatasan Indonesia.

Permasalahan wilayah perbatasan memang cukup kompleks, baik secara historis maupun sosiologis. Secara historis keberadaan suatu wilayah perbatasan ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan dua negara yang pernah dibuat atas dasar konvensi tertentu. Peran Belanda dan Inggris saat itu sangat penting dalam perjanjian dan kesepakaatan atas batas-batas wilayah tertentu. Secara sosiologis, wilayah perbatasan menyangkut definisi masyarakat tentang batas itu sendiri. Seperti claim dari Pemerintah Malaysia soal posisi Desa Tau Lumbis yang berdasarkan peta dari Pemerintah Kerajaan Inggeris, masuk dalam wilayah negara mereka. Pedomannya adalah batas sungai yang mengalir membelah posisi desa Tau Lumbis dan 27 desa lainnya dalam Kecamatan Lumbis Ogong. Sedangkan Indonesia kuat mempertahankan pedomannya atas peta dari Pemerintah Belanda berdasarkan batas punggung gunung.

Penulis melihat bahwa masyarakat di Tau Lumbis cenderung ditempatkan pada posisi pinggiran yang hak-hak mereka sebagai bagian dari Negara kesatuan dan sebagai warga Negara tidak terpenuhi dengan baik. Gambaran kondisi masyarakat setempat telah memperlihatkan bahwa masyarakat perbatasan mengalami kondisi-kondisi kehidupan yang kekurangan, mengalami banyak kesulitan, dan ketimpangan yang parah. Kekurangan karena penduduk perbatasan tidak menerima suplai yang cukup dalam hal bahan pangan yang tidak memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan minimum secara baik. Akibatnya, Desa Tau Lumbis, secara umum Kecamatan Lumbis Ogong menjadi tergantung pada produk-produk Malaysia yang di satu sisi mempengaruhi kredibilitas Negara di mata publik dan di lain sisi mempengaruhi orientasi dalam pembentukan identitas kultural.

Persoalan kekurangan semacam ini telah menjadi bagian dari kekuatan konstruksi identitas yang cenderung menempatkan Malaysia sebagai Negara yang berhasil dan bahkan menjadi orientasi bagi orang Indonesia yang ada di Tau Lumbis dan sekitarnya. Kesulitan hidup dialami oleh penduduk daerah perbatasan akibat infrastruktur yang terbatas yang tidak mendukung mobilitas serta tidak memfasilitasi usaha-usaha penduduk untuk mengembangkan sektor ekonomi bagi keluarga maupun bagi daerah. Kesulitan lapangan kerja merupakan fakta penting yang menyebabkan mereka akhirnya mencari penghidupan bahkan memperoleh kewarganegaraan di Malaysia.

Hal semacam ini menjadi awal kondisi terhadap pencitraan yang buruk bagi orang Indonesia di wilayah perbatasan. Infrastruktur yang sangat minim juga telah mempersulit penduduk dalam mobilisasi dan pendayagunaan sumber daya alam daerah. Hubungan antara daerah satu dengan lain belum terbangun dengan baik dengan sarana prasarana yang buruk yang menyebabkan perkembangan daerah menjadi lamban. Kondisi ini secara langsung kemudian membedakan tingkat kesejahteraan orang Dayak Agabag, Desa Tau Lumbis Indonesia dengan orang Agabag (disebut Dayak Murut) Malaysia. Citra sebagai bangsa yang serba kekurangan telah memberi kesadaran baru tentang identitas mereka yang bersifat kontestatif. Ketimpangan dengan posisi terisolir menyebabkan akses terhadap barang publik tidak terbuka sehingga mereka menjadi wilayah yang tidak terjangkau oleh barang publik (public goods).

Ketimpangan ini bersifat struktural yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan. Kalaupun kebijakan tersedia, seperti kebijakan pengelolaan daerah perbatasan, maka ketimpangan kualitas SDM aparatur tidak memungkinkan kebijakan itu diterapkan dengan baik dan memiliki pengaruh besar dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Seperti halnya program pemerintah yang tidak sampai kepada jajaran terbawah struktur organisasi pemerintah, yaitu kepala desa. Peran Kepala Desa sebagai motor pelayanan pada level terbawah di struktural pemerintahan, kurang optimal. Kepala Desa di Tau Lumbis berperan (hanya) pada tatanan nilai-nilai budaya dan adat, sedangkan secara administrasi pemerintahan masih sangat minim. Hal tersebut bukan dikarenakan kinerja kepala desa yang kurang, namun selama ini aparatur di desa tidak perah disentuh dengan pembekalan-pembekalan yang memadai dari pemerintah. Peran kepala desa cenderung sebagai tokoh dan tetua adat semata. Penulis berbincang dengan seorang kepala desa di lokasi Tau Lumbis. Pada dasarnya mereka sangat mengerti dan memahami peran mereka di desa. Namun mereka juga butuh ditunjang dengan pengetahun dan pembekalan terkait pengelolaan administrasi di desa. Terlebih soal lembaga-lembaga desa lainnya, seperti BPD dan LPMD, kelembagaan mereka ada, namun perannya masih sangat minim.

Sekarang, masih adilkah jika nasionalisme dipertanyakan di perbatasan ?. Pemerintah harus peka dan bergerak dinamis melihat beberapa gejala-gejala disintegrasi bangsa. Tidak hanya selalu beretorika dengan mengedepankan kewajiban masyarakat untuk membela merah-putih. Negara harus benar-benar hadir. Menangani masalah diperbatasan, tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah daerah. Harus ada gerakan terpadu dan Segera bangun akses jalan darat bagi masyarakat yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya. Fasilitasi jalur komunikasi dan informasi di wilayah-wilayah yang terpencil di perbatasan, dengan memanfaatkan keunggulan tehnologi terkini.

Wajar jika kemudian ada ‘riak-riak’ kecil bentuk reaksi masyarakat diperbatasan untuk memperoleh hak yang sama dengan masyarakat yang sudah tersentuh pembangunan. Keberpihakan dan kepedulian kepada masyarakat diperbatasan harusnya tertuang pada kebijakan-kebijakan nasional yang aplikatif dan langsung menyentuh kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Jangan lagi memperdebatkan siapa harus berbuat apa. NKRI memang harga mati. Namun masyarakat perbatasan harus diperlakukan manusiawi.

Nasionalisme ala Masyarakat Desa Tau Lumbis berdasarkan perspektif Teori Tindakan Sosial

Menurut Weber Kelakuan sosial juga berakar dalam kesadaran individual dan bertolak dari situ. Tingkah laku individu merupakan kesatuan analisis sosiologis, bukan keluarga, negara, partai, dll. Weber berpendapat bahwa studi kehidupan sosial yang mempelajari pranata dan struktur sosial dari luar saja, seakan-akan tidak ada inside-story, dan karena itu mengesampingkan pengarahan diri oleh individu, tidak menjangkau unsur utama dan pokok dari kehidupan sosial itu. Sosiologi sendiri  haruslah berusaha menjelaskan dan menerangkan kelakuan manusia dengan menyelami dan memahami seluruh arti sistem subyektif. Tipe tipe tindakan sosial Max weber. Terdapat dua macam tindakan sosial antara lain yaitu: 

a.      Tindakan rasionalitas 

            Tindakan rasional di bagi lagi menjadi dua yaitu tindakan rasionalitas instrumentalis dan tindakan rasionalitas beroritentasi nilai. Tindakan rasionalitas instrumental adalah meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tidakan dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu selalu memiliki tujuan yang beragam dari setiap hal yang diinginkan, maka individu dituntut untuk memilih. Dan untuk memenuhi tujuan itu, individu harus memiliki alat yang mendukung. Sejurus dengan tipe tindakan rasionalitas instrumental, maka masyarakat Tau Lumbis jelas mempertimbangkan kondisi geografis wilayah mereka dengan keterbatasan sarana dan prasarana, lebih memilih ‘bergantung’ kepada Malayasia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pilihan tersebut dibuat atas suatu pertimbangan efisiensi dan efektifitasnya.

Yang kedua yaitu tindakan sosial berorientasi nilai yaitu tindakan yang lebih memperhatikan manfaat atau nilai daripada tujuan yang hendak dicapai. Bahwa masyarakat Desa Tau Lumbis seakan ‘memperdagangkan’ nasionalisme mereka, karena pada kenyataannya bahwa mereka yang dihidup di garis batas Negara adalah satu keturunan etnis Dayak Agabag. Batas territorial Negara menjadi samar karena mereka lebih mengutamakan kekerabatan. Contohnya adalah dengan eksistensi acara kebudayan yang kerap kali mereka gelar dengan pola lintas Negara.

b.      Tindakan nonrasional

Tindakan nonrasional di bagi menjadi dua yaitu tindakan tradisional dan tindakan afektif. Tindakan tradisional adalah tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan rasional. Tindakan tradisional berkaitan dengan kepatuhan terhadap adat-istiadat yang sifatnya kekal dan mengikat pola perilaku masyarakatnya. Jika tidak dipatuhi, maka akan mendapatkan sanksi. Pada masyarakat Desa tau Lumbis dengan masyarakat di desa Malaysia yang berbatasan dengan wilayahnya, terjadi asimilasi budaya dalam bentuk perkawinan. Kepatuhan pada adat budaya di masing-masing desa dirumuskan pada ketentuan menggelar pesta perkawinan berdasarkan pola paternalis. Aturan adat tidak tertulis ini bertahan turun temurun hingga akhirnya menjadi nilai kuat budaya yang diakui bersama.

Selanjutnya adalah tindakan afeksi, tindakan afeksi dapat diartikan sebagai tindakan yang ditandai dengan dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. 

Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya perimbangan logis, ideology, atau criteria rasionalitas lainnya. Contohnya adalah kasih saying orang tua kepada anaknya yang ditunjukkan melalui perhatian dan kasih sayang. Kuatnya nilai kekerabatan ini antara orang tua dan anak ataupun dengan kerabat lainnya, hadir ditengah-tengah masyarakat Desa Tau Lumbis dan Desa yang berbatasan. Batas Negara tidak menghambat mereka untuk saling kunjung mengunjungi. Bagi mereka batas Negara hanya simbolik pada pos-pos perlintasan, yang kerap kali mereka abaikan jika ada keperluan untuk bertemu orang tua atau sanak saudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun