Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasionalisme di Batas Negeri

16 Januari 2016   22:29 Diperbarui: 16 Januari 2016   23:07 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terlebih lagi dalam soal bidang pendidikan. Di Tau Lumbis terdapat sebuah SD dan sebuah SMP, yang berada dalam satu lokasi. Saat penulis berkunjung ke lokasi belajar tersebut, siswa SD diliburkan oleh pihak sekolah karena tenaga pengajar tidak berada ditempat. Ada hal yang harus diurus oleh tenaga pengajar tersebut ke ibukota Kabupaten Nunukan, demikian penjelasan salah seorang orang tua siswa. Karena siswa SMP tidak diliburkan, maka penulis berkesempatan berbincang dengan tenaga pengajar di SMP 2 Desa Tau Lumbis. Di SMP 2 Tau Lumbis hanya terdapat empat orang tenaga pengajar. Empat orang tersebut sudah termasuk seorang Kepala Sekolah dan seorang guru dengan status PNS. Dua orang lainnya adalah tenaga kontrak dari program SM3T, dengan masa kontrak selama setahun. Bisa dibayangkan bahwa minimnya tenaga pengajar dengan harus menanggung beban mengajar beberapa bidang studi, sangat berdampak terhadap kualitas anak didik setempat.

Nasionalisme di Batas Negeri

Gambaran di atas memperlihatkan adanya dua dimensi penting dalam perbincangan wilayah perbatasan, khususnya menyangkut identitas yang terbentuk dan berkembang dari waktu ke waktu. Pertama, Bentuk komunikasi politik dengan hadirnya lembaga pemerintah hanya merupakan simbolisasi semata tanpa eksistensi pelayanan publik yang seharusnya bisa terpenuhi sebagai hak pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Eksistensi kelembagaan pemerintah bukan merupakan solusi terbaik untuk mengatasi kemungkinan konflik yang bisa saja terjadi sewaktu – waktu.

Masyarakat butuh sandang, pangan dan papan yang notabene adalah hak-hak dasar dalam rangka pelayanan publik yang menjadi tugas pemerintah. Kedua, permasalahan diperbatasan bukan hanya berbicara soal ‘nasionalisme’, bukan soal ‘merah-putih’ dan bukan hanya keIndonesiaan semata. Kedaulatan bangsa terukur pada ‘kehadiran’ negara pada masyarakat yang berada di perbatasan.

Ketimpangan dalam supply dan demand yang tampak dari berbagai aspek kehidupan ekonomi dapat dinilai sebagai prakondisi bagi lahirnya kecenderungan tertentu dalam eksistensi masyarakat tentang nasionalisme yang terkesan ‘diperdagangkan’. Pengaruh Malaysia yang begitu kuat di daerah perbatasan, sepertinya, memang disengaja oleh pemerintah Malaysia karena pemerintah Malaysia sangat menyadari bahwa ketidakhadiran ‘negara Indonosia’ bisa menjadi pintu masuk mereka untuk bisa menguasai daerah perbatasan Indonesia.

Permasalahan wilayah perbatasan memang cukup kompleks, baik secara historis maupun sosiologis. Secara historis keberadaan suatu wilayah perbatasan ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan dua negara yang pernah dibuat atas dasar konvensi tertentu. Peran Belanda dan Inggris saat itu sangat penting dalam perjanjian dan kesepakaatan atas batas-batas wilayah tertentu. Secara sosiologis, wilayah perbatasan menyangkut definisi masyarakat tentang batas itu sendiri. Seperti claim dari Pemerintah Malaysia soal posisi Desa Tau Lumbis yang berdasarkan peta dari Pemerintah Kerajaan Inggeris, masuk dalam wilayah negara mereka. Pedomannya adalah batas sungai yang mengalir membelah posisi desa Tau Lumbis dan 27 desa lainnya dalam Kecamatan Lumbis Ogong. Sedangkan Indonesia kuat mempertahankan pedomannya atas peta dari Pemerintah Belanda berdasarkan batas punggung gunung.

Penulis melihat bahwa masyarakat di Tau Lumbis cenderung ditempatkan pada posisi pinggiran yang hak-hak mereka sebagai bagian dari Negara kesatuan dan sebagai warga Negara tidak terpenuhi dengan baik. Gambaran kondisi masyarakat setempat telah memperlihatkan bahwa masyarakat perbatasan mengalami kondisi-kondisi kehidupan yang kekurangan, mengalami banyak kesulitan, dan ketimpangan yang parah. Kekurangan karena penduduk perbatasan tidak menerima suplai yang cukup dalam hal bahan pangan yang tidak memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan minimum secara baik. Akibatnya, Desa Tau Lumbis, secara umum Kecamatan Lumbis Ogong menjadi tergantung pada produk-produk Malaysia yang di satu sisi mempengaruhi kredibilitas Negara di mata publik dan di lain sisi mempengaruhi orientasi dalam pembentukan identitas kultural.

Persoalan kekurangan semacam ini telah menjadi bagian dari kekuatan konstruksi identitas yang cenderung menempatkan Malaysia sebagai Negara yang berhasil dan bahkan menjadi orientasi bagi orang Indonesia yang ada di Tau Lumbis dan sekitarnya. Kesulitan hidup dialami oleh penduduk daerah perbatasan akibat infrastruktur yang terbatas yang tidak mendukung mobilitas serta tidak memfasilitasi usaha-usaha penduduk untuk mengembangkan sektor ekonomi bagi keluarga maupun bagi daerah. Kesulitan lapangan kerja merupakan fakta penting yang menyebabkan mereka akhirnya mencari penghidupan bahkan memperoleh kewarganegaraan di Malaysia.

Hal semacam ini menjadi awal kondisi terhadap pencitraan yang buruk bagi orang Indonesia di wilayah perbatasan. Infrastruktur yang sangat minim juga telah mempersulit penduduk dalam mobilisasi dan pendayagunaan sumber daya alam daerah. Hubungan antara daerah satu dengan lain belum terbangun dengan baik dengan sarana prasarana yang buruk yang menyebabkan perkembangan daerah menjadi lamban. Kondisi ini secara langsung kemudian membedakan tingkat kesejahteraan orang Dayak Agabag, Desa Tau Lumbis Indonesia dengan orang Agabag (disebut Dayak Murut) Malaysia. Citra sebagai bangsa yang serba kekurangan telah memberi kesadaran baru tentang identitas mereka yang bersifat kontestatif. Ketimpangan dengan posisi terisolir menyebabkan akses terhadap barang publik tidak terbuka sehingga mereka menjadi wilayah yang tidak terjangkau oleh barang publik (public goods).

Ketimpangan ini bersifat struktural yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan. Kalaupun kebijakan tersedia, seperti kebijakan pengelolaan daerah perbatasan, maka ketimpangan kualitas SDM aparatur tidak memungkinkan kebijakan itu diterapkan dengan baik dan memiliki pengaruh besar dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Seperti halnya program pemerintah yang tidak sampai kepada jajaran terbawah struktur organisasi pemerintah, yaitu kepala desa. Peran Kepala Desa sebagai motor pelayanan pada level terbawah di struktural pemerintahan, kurang optimal. Kepala Desa di Tau Lumbis berperan (hanya) pada tatanan nilai-nilai budaya dan adat, sedangkan secara administrasi pemerintahan masih sangat minim. Hal tersebut bukan dikarenakan kinerja kepala desa yang kurang, namun selama ini aparatur di desa tidak perah disentuh dengan pembekalan-pembekalan yang memadai dari pemerintah. Peran kepala desa cenderung sebagai tokoh dan tetua adat semata. Penulis berbincang dengan seorang kepala desa di lokasi Tau Lumbis. Pada dasarnya mereka sangat mengerti dan memahami peran mereka di desa. Namun mereka juga butuh ditunjang dengan pengetahun dan pembekalan terkait pengelolaan administrasi di desa. Terlebih soal lembaga-lembaga desa lainnya, seperti BPD dan LPMD, kelembagaan mereka ada, namun perannya masih sangat minim.

Sekarang, masih adilkah jika nasionalisme dipertanyakan di perbatasan ?. Pemerintah harus peka dan bergerak dinamis melihat beberapa gejala-gejala disintegrasi bangsa. Tidak hanya selalu beretorika dengan mengedepankan kewajiban masyarakat untuk membela merah-putih. Negara harus benar-benar hadir. Menangani masalah diperbatasan, tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah daerah. Harus ada gerakan terpadu dan Segera bangun akses jalan darat bagi masyarakat yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya. Fasilitasi jalur komunikasi dan informasi di wilayah-wilayah yang terpencil di perbatasan, dengan memanfaatkan keunggulan tehnologi terkini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun