Rena, berjalan jinjit pakai flat shoes, kakinya ramping, ringan untuk dilipat. Mentari belum sepenuhnya bergejolak, Rena sudah cekatan mempersiapkan banyak hal, tercatat dalam listpemulus rencana. Kaki ramping Rena melangkah setapak demi setapak bersilangan nan anggun.
 satu.. dua... tiga...
Pinggulnya terayun-ayun seperti ia mendengar dendang. Di pagi hari itu, di pekarangan rumah, senyum Rena menepis segala gundah.
Beberapa menit setelahnya, Rena berlari kecil mengambil keranjang belanja, bergegas jalan menuju pasar yang cukup jauh ditempuh jika tanpa roda, tetapi Rena tak menyerah duluan, ini akan berujung menjadi suatu hal yang menakjubkan. Rena seringkali menakjubkan hal yang menurunkan perasaan-nya, agar "Wah" seperti halnya badannya yang terlalu pendek, ia tanggapi dengan "Wah! Pendek sekali badanku, aku jadi terlihat mungil." Atau matanya yang terlalu sipit "Wah! mataku sipit, aku mirip orang jepang."dengan mencoba menakjubkan apapun, ia gemar bersyukur.
Perjalanan menuju pasar melewati jalan setapak yang terbentuk secara alami oleh tepi kali dan perumahan pinggir kali yang berapitan. Itu jalan setapak yang dulunya menyeramkan, banyak anak-anak terpeleset dan kejebur ke kali. Tidak deras airnya, tetapi dinding kali cukup terjal. Kini sudah aman, ketika ada betonisasi, sebagai wujud penjernihan air. Pori-pori tanah jadi membesar, kotoran yang lewat terbawa arus bisa tertangkap lebih banyak, yang terpenting jalan setapak tidak licin lagi, begitulah kata Ayahnya, meskipun demikian terlihat tampak tandus, hewan-hewan sebesar titik yang biasa menepi di sisi-sisi kali tidak hidup lagi.
 Akhirnya warga sekitar mengakali dengan menanam pohon di tanah yang belum dibeton, tapi pepohonannya disiram manual, menggunakan air kali, atau malah pakai air dari jet pump rumah, karena air kali tidak bisa menggenggam akar, kesekat beton. Tanpa pepohonan yang lebat, memang kali cukup menakjubkan dipandang mata, airnya mengalir tanpa beban, seperti cinta yang tulus dan ikhlas.
Deretan perumahan pinggir kali pagi itu seperti tak berpenghuni, mungkin penghuninya sudah terjerat rutinitas, seperti orbit benda langit di setiap harinya, atau mungkin lebih banyak beraktivitas lewat pintu belakang, yang membelakangi kali.
Rena celingak-celinguk memandang sekitar, pipinya ikut loncat-loncatan habis menyedot lemak dari kaki rampingnya, seperti ingin mengeluarkan bakso. Rambutnya pirang ketumpahan kemuning matahari yang tak angkuh menerobos celah-celah daun Palem. Bajunya segar sekali, berwarna oren muda, dan bawahan rok warna biru muda. Getaran kesegaran dari warna buah yang selasar dikenakan, belum bisa menyegarkan hatinya yang entah gelisah, padahal ia sudah menakjubkan apapun. Burung dara beterbangan merobek pemandangannya, seketika matanya membelalak, teringat mimpi besarnya. Ia ingin merebahkan saja segala mimpinya dalam lamunan, tetapi bisa jadi Tuhan tidak memaklumkan apapun. Ia pun mengangkat kepala dua derajat lebih tinggi dari sebelumnya. Barangkali menjalani dengan apa adanya lebih baik, ketimbang ketumpahan dilema ambisi, tapi ujung-ujungnya merenung.
Tunggu Rena! Hati kecilnya menjerit.
Bukankah merenung juga perlu untuk menampar kembali "sejauh mana kau melangkah Rena?" Seorang gadis manis macam Rena, cepat sekali lupa dengan rencananya sendiri, malah kini angannya seliweran membayangkan cerita buaya putih yang memakan korban saat anak kecil sendirian dipinggir kali, membuatnya takut, apa yang membuatnya takut, ia takjubkan. "Tak apa! Ini seperti petualangan sejati!" Â Ketakutan itu sesungguhnya disugestikan oleh cerita buaya putih yang disampaikan Ibunya sejak ia masih kecil supaya ia mau makan.
Sesampai di pasar, pipinya memerah karena malu, ia mengumpat dibalik pupil matanya sendiri yang menyorot ke beberapa titik kasat peta, pada lorong-lorong pasar yang sekejap bisa menjadi sunyi menjelang sore hari. Jika kalian melihat seorang gadis usia 15 tahun meminggul keranjang belanja ke pasar, dengan blush on di pipi tidak terlalu tebal, mungkin itu hanya Rena, atau sejenis cerita hidup. Bagaimana kalau ia bertemu tetangganya yang sedang berbelanja? Sementara anak seusia-nya yang pergi ke pasar biasanya hanya ikut Ibunya berbelanja. Rena mulai mengendap-endap, dan menjadi tampak tak biasa. Ia juga jadi kebingungan apa yang harus dibeli, terlihat menjadi seperti orang linglung, Rena mulai menepis rasa-rasa yang mengganjalnya.
Kunyit, kemiri, jintan, dan kapulaga, memenuhi bilik-bilik pasar, para pedagang memegang uang segepok, hasil tawar-menawar yang terus terjalin. Angkutan umum mengetem di sepanjang trotoar jalan depan pasar, menunggu para ibu naik angkutan untuk bersegera pulang ke rumah masing-masing meramu makanan. Lapak-lapak beralaskan tikar berjejer di pinggir pasar, menawarkan cemilan-cemilan pemanja lidah khas makanan tradisional, cendil dan getuk, paling laris. Bocah-bocah polos banyak dititipkan di lapak itu, memercayai nenek tua bergigi hitam makan sirih untuk menjaga sejenak, saat para ibu mereka nego agar dapur tetap mengepul. Roda perekonomian yang besar, yang baru Rena sadari, dan kini ia terjerat di dalamnya. Ini menakjubkan.
Bahan-bahan yang tercatat dalam listyang sudah dibeli, dicenteng amburadul, kakinya lincah menginjak-injak jeroan ayam berceceran bercampur air selokan, saat mendekati pedagang paling ramah, dibaca dari tebal alis. Bahan masakan yang ingin ia beli sedikit demi sedikit terlengkapi. Â
***
Sesampai di rumah, Ayahnya sudah di depan gerbang rumah dengan mata kelihatan melotot, kakinya terbuka lebar dan tangannya terlipat di perut menonjolkan urat-urat tangannya. Hati Rena ngedumel sendiri "seharusnya Ayah tidak boleh begitu, karena meskipun buah-buahan yang sudah Ayah makan, akan dilawan pikiran, yang gagal menghempas penyakit" Rena merasa bersalah.
"Kamu dari pasar Rena? Kenapa kamu keras kepala sekali? Sekarang sudah jam 9 Â siang, kamu masuk sekolah jam 11 siang, kamu bisa telat ke sekolah."
"Aku sudah mempersiapkan semuanya Ayah, baju sekolah, sepatu sekolah, rok   sekolah dan aku sudah mandi, tinggal masak saja"
"Kenapa kamu keras kepala sekali? Pokoknya jangan sampai terlambat."
"Iya Ayah."
Rena pun pergi ke dapur untuk memasak sebagian bahan masakan yang ia beli.
"kamu mau ngapain Rena?"
"Mau masak Bu,"
"Ibu sudah bikinin kamu sarapan"
"Tapi ini untuk bekal sekolah sampai sore Bu"
"Kamu masih mau ikut kontes itu?"
"Iya, Bu"
"Rena, kenapa kamu keras kepala sekali? Dengerin Ibu ya, jadi artis itu, cantiknya   enggak biasa, di atas standar, yang keturunan Indo-Blasteran, orang yang cantiknya standar seperti kita itu jarang dipilih, susah buat seleksinya." Rena hanya terdiam.
       "Kamu keras kepala sekali Rena."
Hati gelisah yang sejak pagi menyapanya, kini menjelma hancur, Ibu menebasnya lagi, kali ini, untuk kesekian kalinya.
Rena, enggak minta apa-apa, semuanya telah ia persiapkan sedemikan baik, dari  harus bangun subuh-subuh sekali menahan mata yang layu terhasut dingin embun pagi, untuk mempersiapkan detil sekolah : buku sekolah, topi, dasi, baju sekolah, rok sekolah, agar bisa membagi waktu ke pasar, membeli persediaan bahan masakan selama seminggu, untuk diolah jadi bekal sekolah biar irit dan bisa menabung, pun Rena pandai mengatur uang sebulan penuh, hasil tabungannya ia bagi untuk kebutuhan kontes, dan sebagian lagi untuk perjalanan menuju Jakarta, tempat kontes itu berlangsung. Tak jarang, kala istirahat tiba, ia harus menahan lidah, yang ingin dimanjakan bakso depan sekolah, yang diserbu para siswa karena kelezatannya seantero jagat, karena tetap ingin menabung. Rena hanya butuh dukungan ibu, itu saja, tetapi ketika semangatnya sedang menggebu-gebu menggapai cita, Ibu malah menebasnya lagi, kali ini, untuk kesekian kalinya. Kini ia seperti serbuk ampas kayu yang diserut, segala yang ia bayangkan soal dirinya dilihat penonton di channelteve ketika berakting menjadi karakter apa saja, seperti berjarak. Ia merasa dirinya tak berharga.
Rena tertegun.
Andai Ibu tahu, dukungan Ibu adalah energi bersuhu dingin tak terkalahkan sekalipun diadu oleh hamparan kebun teh Puncak, penyejuk hati paling ampuh, tetapi energi itu baru Ibu hantarkan hanya di waktu-waktu tertentu saja, misalnya pada saat Rena selesai menampilkan pertunjukan teater di sekolahnya, senyum Ibu sumringah diantara para ibu lainnya, bukan kala Rena kehausan dukungan saat latihan teater sebelum hari pertunjukan itu berlangsung, padahal dukungan Ibu sangat membantu mengurangi lambat dalam menghafal dialog Cinderella. Peran dambaannya dari dulu, yang ia dapakan dalam pertunjukan itu. Ibu ragu-ragu memercayainya dan apa yang ia lakukan. Lalu bertanya berhari-hari untuk melengkapi keperluan pertunjukan itu jangan sampai uang yang sudah dikeluarkan untuk keperluan teater sia-sia. Akhirnya perlengkapan dari ujung rambut sampai ujung kaki Rena saja yang beli.
Mengulas kembali sebelum hari pertunjukan teater di sekolah terselenggara, Ibu sempat menebasnya, menyuruhnya berhenti ikut kegiatan itu, karena menggunakan hari Minggu, lebih baik Rena di rumah saja istirahat, itu lebih efektif. Lagipula mereka jadi susah bepergian kemana-mana kalau hari Minggu dipakai juga untuk kegiatan sekolah, padahal disisi lain, Rena sudah setengah jalan mempersiapkannya dengan istimewa.
     Ibu berkata, "Minta gantikan saja dengan teman kamu yang lain, pasti bisa kalau dilatih."
Rena pun berteriak dalam hati. "Tidak segampang itu Ibu, dari teman satu kelas, yang lolos seleksi jadi Cinderella hanya aku."
Kali ini, kejadian seperti itu terulang lagi, pada kontes yang segera akan ia ikuti. Kalau perasaan Rena cepat menyusut, bagaimana bisa dia mulai berlatih? Rena tak mengerti mengapa Ibu begitu, padahal gurunya berbicara langsung saat pembagian rapor, kalau dia punya bakat dalam bidang akting. Apa Ibu tak menelaah lebih serius perkataan itu?
Setelah banyak usaha yang Rena lakukan, sebetulnya keinginannya hanya ingin merasakan panggung pertunjukan teater yang lebih besar, menampilkan akting sepenuhnya di ruang yang lebih besar, dan dihadapan penonton yang lebih banyak. Di kontes yang segera ia ikuti, kalau dapat kesempatan menang, ia pasti senang sekali berakting di depan kamera, yang tersalurkan ke seluruh teve di rumah-rumah se-Indonesia, begitulah hadiah kontesnya. Makanya semangatnya menjadi-jadi. Ia bosan tampil teater di sekolah, atau tampil drama musikal di lingkungan RT, mengisi acara 17 Agustus, hari Kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi ucapan Ibu itu tidak membuatnya berkah, Rena jadi tak bergairah.
Rena mencium tangan Ibu seraya keluar rumah. Ayah sudah menunggu di motor siap tancap gas mengantar Rena ke sekolah, rutinitas Ayah sekalian langsung ke tempat kerjanya. Ayah berprofesi sebagai guru di sekolah menengah pertama, di tempat berbeda. Rena mengeluarkan handphone-nya dan mendengarkan musik yang dinyanyikan artis Anggun C. Sasmi selama perjalanan, sembari berpegangan pada kemeja Ayah yang amat licin.
***
Sepulang sekolah, Gege, teman Rena, alias malaikat tanpa sayap, begitulah Rena juluki karena ia banyak membantu dalam hal apapun, sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Mereka satu sekolah, tetapi tidak satu kelas. Titik temu mereka disana dan saling menunggu siapapun yang keluar kelas duluan. Rena kegirangan. Ah! Padahal yang spesial dari Gege hari itu hanyalah bando dari kawat berhias monte-monte emas, dan gelang kupu-kupu.
Seraya Gege menyapu-nyapu punggungnya dengan rambut saat berlari mendekati Rena, seketika Rena melihat ada secerca ketulusan dari senyum Gege yang tak tergapai deskripsi apapun. Rena pun langsung meneraktirnya bakso kojek. Sekaligus asupan penambah energi Gege sampai sore, yang akan mendandani dirinya dengan make up,di studio foto, sebelum tukang foto mengambil gambarnya. Rencana itu termasuk sepersekian list pendukung mimpi Rena. Hasil foto sebagai kelengkapan kontesnya nanti. Gege sudah meminta izin kepada Ibunya, untuk langsung ke studio foto sehabis pulang sekolah. Mereka berencana jalan ke studio foto setelah Gege selesai makan bakso kojek.
Gege tak asing dengan make up, dia adalah seorang penari tarian Nyai Lenggang, khas Betawi. Sebelum manggung ia suka pakai make up sendiri seperti penari lainnya, membantu pekerja pe-make-up.
Kalau sudah diatas pentas, Rena pangling mencari Gege di antara para penari, gerak-gerik tubuh Gege penuh perhitungan, memperindah irama, kadang tegas, kadang terlalu gemulai sarat arti. Rasa percaya diri Gege terpancar dua kali lipat diamati dari bawah panggung, di sudut manapun. Barangkali kerasukan inspirasi Nyai Dasima, yang puluhan tahun lalu tetaplah Nyai atau Nona Dasima. Gelar kedudukan lebih tinggi daripada wanita pribumi biasa di mata para penjajah, yang Nyai Dasima raih karena kecantikannya, fitrah wanita yang beliau pesonakan.
. Tak pernah habis dilahap zaman mengulas kisah Nyai Dasima, yang selanjutnya dipersunting bangsawan Inggris, namun memilih bersama lelaki pribumi. Kebebasan Nyai Dasima dalam menentukan pilihan hidup, melahirkan tarian Nyai Lenggang, bermakna kisah demikian. Gege pernah berkata, apabila Rena ingin bersahabat dengan seorang penari Nyai Lenggang sepertinya, Rena pun harus tahu sejarah lahirnya tarian itu, agar bila Gege tampil, Rena bukan hanya menikmati, tetapi bersorak paling keras.
***
Perjalanan ke tempat tukang foto melewati jalan perumahan berlapisi kerikil kecil. Di sekeliling mereka diindahkan oleh tanaman bunga Adelium yang menyangkut hampir pada setiap rumah. Tanaman sejenis kaktus yang melahirkan bunga jutaan spesies itu cocok hidup di wilayah industri seperti di kotanya itu, hawa yang ekstrem karena tercampur asap pabrik kertas yang mengepul sepanjang siang membuat mahluk hidup cepat kehausan. Kala itu pun senja sudah hadir, tetapi sama saja, bekas panas siang hari masih menyengat terasa.
Rembulan sudah muncul malu-malu pada kemuning senja, warna dinding perumahan sudah sama semua, berwarna kelabu. Lampu-lampu jalan sudah bersinar angkuh, seakan fungsinya terlalu dibutuhkan mengasupi sinar penglihatan. Burung-burung peliharaan di kotak kayu tak lagi berkicau. Gong-gongan anjing sesekali terdengar dari beberapa rumah.
Tak lama kemudian, hamparan sawah terpampang luas di ujung jalan perumahan itu, segera akan mereka tapaki menuju perjalanan selanjutnya. Di tengah-tengah sawah ada jalanan beraspal yang cukup besar, bisa dilewati mobil, namun sayangnya di ujung persawahan itu tidak bisa dilewati mobil, mengerucut menjadi gang-gang kecil menuju perumahan dengan nama jalan yang sudah berbeda. Jalanan tengah sawah itu adalah jalan alternatif, jalan utamanya merupakan jalan raya depan gerbang masuk perumahan, yang sering dilalui arus kendaraan. Sawah itu merupakan sisa-sisa problematik para petani yang hidup di kota pinggiran Ibu kota, yang sebagian besar sawahnya sudah di garap bakal perumahan baru. Persawahan itu hanyalah sisa-sisanya sebelum tanggal garapan tiba.
Menjelang magrib, sawah tidak menyeramkan, bahkan jalan tengahnya semakin ramai dilalui oleh para insan bersepatu pantofel yang baru pulang dari kantor, para ibu dari perumahan sebelah, dan anak-anak yang baru pulang sekolah. Memang jalan alternatif di daerahnya cukup menguntungkan, untuk menghubungkan ke berbagai tempat secara lebih ekonomis. Jalan setapak pinggir kali yang tadi pagi Rena lewati pun merupakan jalan alternatif, yang menghubungkannya ke pasar memenuhi kebutuhannya.
Kota di pinggiran Ibu kota itu, usianya memang sudah tua, tetapi kenampakan alam masih terasa, seperti pepohonan dan tanaman-tanaman yang sudah jarang ditemukan di perkotaaan, masih bisa dilihat mengelilingi danau perumahan. Hewan-hewan yang ada di buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam-nya, seperti kupu-kupu, capung dan ular sawah masih banyak.
 Tempat hiburan, mal-mal, kafe-kafe, dan swalayan, masih berkembang. Ada yang masih dibangun, malah yang berkembang pesat pabrik-pabrik industri. Semoga setelah itu jalan alternatif bisa segera menyusul menjadi anak-anak jalan yang indah dipenuhi penghijauan. Di balik ketampakan kota, ada magnet yang luar biasa yang menjadikan kota itu istimewa, sampai saudara Rena yang berkunjung ke rumahnya betah. Ada magnet "keharmonisan" yang tercermin di kota itu. Keharmonisan dari keluarga kecil yang sebagian besar menduduki kota. Menempati perumahan dengan ukuran tipe rumah yang sebagian besar sama, tipe 21. Mereka sebagian besar bernasib sama pula, tergolong keluarga muda, kisaran umur 40 tahunan yang ingin mandiri, seperti Ayah Rena yang memboyong Ibu dan dia ke sana, mencoba lepas dari nenek, dan membangun keluarga mereka sendiri.
Keluarga-keluarga muda harmonis itu mudah ditemukan, terkadang sedang makan bersama di tempat makan pinggir jalan, sang Bapak masih berpakaian kantor memangku anaknya sambil bersenda gurau, atau bisa ditemukan di tempat pemancingan umum, memanfaatkan lahan danau secara gratis, duduk beralaskan daun paya, atau saat hari Minggu pagi, para keluarga muda biasa berlari pagi mengitari perumahan bersama. Kota ini seakan-akan berbinar dengan "kehormonisannya."
Di sepanjang jalan melewati hamparan sawah, Rena dan Gege saling unjuk kebolehan, Gege meliuk-liukan tangannya dibawah sinar mentari yang mulai redup, sementara Rena lincah bak berlagak memerankan Cinderella. Mereka seperti sedang bermain-main, tetapi cukup jeli. Jika akting Rena terlalu lebay Gege akan bawel kasih masukan terhadapnya tanpa segan, jangan sampai seperti akting artis reality show tipu-menipu setiap sore itu, Gege muak melihatnya. Begitupula dengan Rena, jika tarian Gege dirasa dibawah standar tinggi penilaiannya, dengan membandingkan penampilan Gege sebelumnya, Rena akan menegur agar tak lupa Gege melatih teknik tariannya lagi. Barangkali, selain permainan kelereng dan tali-temali yang sudah hampir punah, bisa juga bermain saut-menyaut kebolehan, agar tak melulu harus gadget.
Lucunya, bakat yang mereka sadari sudah mereka stempel menjadi cita-cita mereka yang tidak pernah berubah, terlihat dari setiap kali guru baru di semester baru bertanya secara personal, tapi kalau di depan kelas mereka memilih untuk menjawab profesi yang tak kalah unggul, namun lebih umum jadi favorit teman-teman sekelas mereka, kalau tidak guru, ya, dokter.
Tak sebanding dengan sikap mereka yang malas-malasan belajar, karena tidak ada mata pelajaran menari dan berakting, lalu jadi alasan empuk untuk hasil rapor yang selalu anjlok, padahal kata Ibunya Gege, sosok yang paling mengenal kentalnya persahabatan mereka, serta menjadi pencerah pemikiran mereka, sebagai Ibu muda yang selalu penasaran dengan tumbuh kembang anaknya yang baru satu : Gege, yang selalu ikut nimbrung saat Rena dan Gege sedang bermain di halaman rumah Gege, dibawah payung pohon Sengon yang menyiur, menegaskan bahwa mereka jangan suka menyepelekan ilmu pengetahuan apapun, segala ilmu pengetahuan itu penting, sebagai salah satu fomula untuk mengenal mana kebaikan dan mana keburukan, supaya bisa olah hati, olah perasaan, olah tindakan, sebab anak baik itu yang bisa menjaga kesucian hati lewat kebaikan yang ia kenali, bukan seakan-akan berpenampilan seperti anak baik.
Soal nilai pelajaran memang tak pernah maksimal, sekalipun akhirnya bagus, tak pelak mengisi ulangannya tak disimpulkan, tetapi dijabarkan sesuai buku yang diumpati di kolang meja. Bukan. bukan nilai permasalahanya, permasalahannya jangan sampai malas baca, untuk asupan jiwa. Andai pelajaran bisa dinikmati seperti makan kue lapis legit, yang dilepas satu per satu lapisannya, barangkali tidak akan seanjlok dua kali lipat garis standar ketuntasan nilai sekolah. Kalau memang tak tertarik pada tema-nya, mengenal permukaannya saja sudah berguna, lalu baca buku lainnya sebanyak-banyaknya di rak buku, karena itu sama sekali berbeda dengan pajangan. Ada pesona keadilan, kebenaran, dan keseimbangan di sana. Sementara itu, ilmu agama bisa jadi sentuhan hati nurani paling ampuh.Â
Bagi Ibunya Gege, tak ada masalah apabila mereka mengetahui bakat jauh lebih awal. Hal ini untuk mengurangi naasnya lika-liku perjalanan hidup manusia yang belum tahu ingin jadi apa bahkan setelah lulus dari bangku SMA. Mengapa Ibu Gege bisa berkata naas? Sebab mereka luput mengasah semaksimal kemampuan yang sudah dianugrahkan Tuhan. Bahkan yang lebih naasnya lagi, jika mereka menentukan pilihan masa depan, dipilihkan orang terkasih yang sama sekali tak menelaah dulu sebetulnya bakat mereka apa, melainkan sesuai keinginan saja. Bagaimana bisa menjalani gejolak masa depan dari pena manusia lain?
 Mulia memang menjalani amanat orangtua terkasih dengan baik, bertanggung jawab sekolah hingga lulus, tekun membuka-buka buku pelajaran pulang sekolah, mengulas kembali pelajaran, menjadi pribadi yang santun, berharap masa depan lebih baik, namun nyatanya menjelma kabut. Apa yang dilakukan tujuannya tidak dimengerti. Makna ingin menjadi apa tidak tahu, hanya mengikuti arus mengalir apa adanya saja, lalu baru menerka-nerka di darah penghabisan. Akhirnya singgah di muara sewajarnya, sewajarnya asal dapat peluang. Sewajarnya duduk di kantor, dapat posisi administrasi padahal berkharismatik dan mahir berbicara selayaknya posisi sales, sewajarnya duduk di kantor, dapat posisi mengawasi mesin yang semakin cepat, padahal ia sangat pandai bermain sepak bola, sewajarnya dapat posisi sebagai seorang sales, padahal ia sangat mahir merangkai kata menjadi sebuah puisi, sewajarnya menjadi akuntan padahal ia mahir dalam mengoperasikan teknologi komputer, sewajarnya yang menyimpang, yang kalaupun berhasil, cukup menguras tenaga dan pikiran. Ada rasa lelah yang terlalu lelah, ada kesungguh-sungguhan yang patut diacungi jempol. Nyatanya bakat selalu berbanding lurus dengan kesukaan, karena bisa menjadi diri sendiri, dan nyatanya menjadi orang lain itu tidak pernah asyik. Â
Ibunya Gege selalu percaya, bahwa hal yang dilakukan sepenuh kemampuan, akan mendatangkan hasil yang sepenuh hati pula, akan ada juga inovasi dan kreasi tak ternilai dan tanpa henti, mendatangkan hasil fantastis, baik apresiasi, maupun materi. Memberi makna untuk diri sendiri, dan orang lain. Mereka yang bisa menjadi dirinya sendiri, tak khayal bisa berdiri di kaki mereka sendiri, dalam kondisi bagaimanapun, ditempat kerja manapun, dan dalam kemandirian sekalipun. Apabila sudah bisa berdiri di kaki mereka sendiri, tak khayal dapat membuka peluang bagi orang lain. Lagipula apabila mengetahui bakat lebih awal, akan ada enam sampai lima tahun lebih awal mempelajarinya, dan menjadi yang terbaik bagi buah hidup mereka kelak. Akan tetapi topi kerucut bisa dikerucutkan, memang tak pernah ada kata terlambat bagi siklus hidup manusia yang menyenangkan. Kapan saja bisa memutar haluan, kapan saja bisa merubahnya, kapan saja bisa menjadi dan menjadi. Untungnya saja Rena dan Gege tidak kehilangan momen menakjubkan! Ketika mereka bisa menampilkan bakat mereka di lingkungan kelurahan, dalam rangka Semarak Remaja Kreatif diikuti anak usia 14 sampai 17 tahun. Bila memetik bisa jadi cepat, kenapa harus meluberkan waktu?
Barangkali Ibunya Gege berkata demikian tanpa memikirkan keuangan setiap orangtua. Mengasah bakat lewat kursus memang memakan pengeluaran keluarga, hambatan yang cukup disayangkan. Rena tidak seberuntung Gege, yang bisa menyalurkan bakat ke tempat kursus yang lebih ekonomis, tetapi mempuni. Di daerah mereka tidak ada kursus akting yang murah. Lalu kenapa tidak ada yang memperhatikannya? Sayang sekali tidak ada wadahnya, kursus gratis, atau sekolah formalnya. Mengapa di saat Rena ingin berkreatifitas di sekolah, malah jadi membosankan? Mengapa ketika anak-anak seusia mereka ingin suasana kelas yang nyaman malah tersiksa berjam-jam oleh mata pelajaran Fisika, dan diantaranya lagi tersiksa dengan mata pelajaran Geografi? Lalu taman kota sepi hanya diisi pepohonan, terlebih senin pagi. Sayang sekali tidak ada kegiatan di sana, yang bisa membantu setiap anak mengasah hal mereka sukai, sekaligus bermain-main bersama teman-teman dan saling mendukung. Sekalipun ada, nyatanya dilingkungan Rena sulit dicari.
Ya, ekstrakulikuler ada dan cukup membantu, tetapi kalau untuk mengembangkan seperti yang diharapkan, tak dapat dipungkiri teramat minim. Terlebih tak semua ekstrakulikuler sekolah sebagus sekolah Rena, sampai ia menyadari kemampuannya di sana.
Memang ada apa dengan bakat? Bukannya semua baik-baik? Dulu sewaktu Gege sudah kelihatan bakatnya, yang disadari mata jeli Ibunya, saat mendapati dirinya paling lentur dan paling cepat tanggap teknik tari, Gege sempat membohongi diri, minder hobinya tidak sama dengan teman-temannya yang lain, yang dikursusi berenang atau basket, tetapi Ibu Gege membantunya agar tetap percaya diri. Hingga akhirnya kini menjadi gadis yang dibangga-banggakan banyak orang, teman-teman arisan Ibunya, pasti ada saja yang memujinya, teman Gege pun semakin banyak, karena ia dikenali anak-anak teman arisan ibunya. Nyatanya di era ini seseorang akan lebih dihargai jika memiliki prestasi dalam bidang apapun.
Barangkali Ibunya Gege lupa kalau anak-anak bisa hebat dalam segala hal?
***
Lighting studio menyorot pas ke muka cantik Rena, lipstik warna oren dipilih Gege untuk memoles bibir Rena yang tipis, padahal ada warna merah muda dan warna merah bata, alasannya sederhana, sesuai kesukaan saja. Tukang foto sudah siap duduk di bangku plastik, tepat menghadap mereka, menunggu mereka siap. Kelihatan ekspresinya geram ingin cepat-cepat melakukan pekerjaan lain. Gege tak peduli, berharap hasilnya tak sia-sia. Enggak lucu kalau sampai mengulang foto karena tidak memuaskan, dengan biaya yang selangit untuk takaran saku seragam sekolah mereka. Tukang foto hanya memberi 2 kali kesempatan untuk setiap foto, yang nantinya bisa mereka pilih-pilih mana yang terbaik.
Gege lihai merias wajah cantik Rena, tetapi hati kecil Rena malah jadi tak bisa diam, "kenapa tidak Ibu saja yang menaburkan bedak tabur ke mukaku? Bukankah Ibu suka wanginya?" Rena tersenyum.
Kini Rena kelihatan semakin cantik, imut, dan lucu. Pipi bantalnya ternyata anugrah yang tersembunyi, mirip bunga Adelium yang memekar. Baju terusan Rena sangat indah dan sopan, diimbangi boots setinggi betis, kaya yang dipakai penyanyi anak-anak di teve, yang jumlahnya bisa dihitung jari. Memang kalau sudah niat mendadani, sampai gerah-gerahan di tempat jajal pakaian, tidak akan mengecewakan hasil. Setelah memakan banyak waktu gonta-ganti 3 baju terusan beserta aksesoris yang Rena bawa, akhirnya Gege memilih yang Rena kenakan, alasannya masih sama, sesuai kesukaan saja. Namum setelah hasilnya tercermin, Rena pun suka, barangkali semua orang suka.
Tugas Gege hanya sampai situ, kalau soal berpose depan kamera itu kemahiran Rena. Gege tak usah repot-repot ikut mengurusnya.
 satu ..dua ..tiga..
Tangan Rena bergerak cepat ke pinggang, sambil kakinya terangkat satu. Sinar matanya membidik kamera balik, ia tahu model gaya yang pantas dilihat kalau bercermin. Senyumnya tiada beban.
Jepret.. jepret ..
Sekiranya begitulah bunyi kamerannya. Barangkali berangkat dari akting yang menuntutnya memainkan mimik dan bahasa tubuh dalam menghidupkan naskah teater, Rena cukup punya modal merambah ke dunia modeling, yang barangkali serumpun; menghidupkan yang ia kenakan, bisa juga menghidupkan produk iklan. Anak itu seperti mengembangkan apa yang ia miliki.
***
Mereka keluar dari ruang foto, lalu duduk di bangku tunggu yang empuk berkaki besi, berdesain memanjang. Tidak ada penyandar untuk badan, orang yang kelamaan menunggu giliran foto biasanya membungkukkan badan sambil main handphone. Diantaranya ada yang larut dalam obrolan, ada juga yang bergerombolan tak habis-habis tertawa terbahak-bahak sedari tadi, mereka mungkin mengalungi nama tempat kerja atau kampus yang sama. Berpakaian serasi berwarna putih, seperti ingin mengabadikan momen perpisahan atau keakraban dalam sebuah framefoto, barangkali akan di upload juga di sosial media mereka masing-masing. Akhirnya Rena memutuskan mengajak Gege berdiri saja dekat karyawan foto yang khusus menangani pengeditan foto, mengalihkan rasa bosan menunggu foto-nya dicetak langsung.
Photoshop.Tulisan di komputer di klik karyawan tukang foto, langsung karyawan itu mengukur pencahayaan foto, ukuran foto, bahkan kotoran-kotoran muka orang yang di foto. Ada area yang ditajamkan agar pemandangan lebih jernih terlihat, ada area yang kurang diperhatikan. Karyawan itu percaya menggerakan mouse. Satu tangannya bertumpu di etalase yang sekaligus dijadikan meja. Isi etalase peralatan sekolah seperti pensil, penghapus, dan pulpen, yang dijual di tempat foto itu. Rena memerhatikan foto yang diedit itu, ukurannya seperti foto-nya yang sedang dicetak, ukuran kertas 4R. Bedanya foto itu dijadikan 4 gambar dalam satu kertas 4R, lalu digunting-gunting, yang mengherankan, keempatnya memiliki harga masing-masing, bukan seharga 4R, menjadi lebih mahal sedikit. Barangkali tukang foto itu memang keren mengedit.
     Â
"Ren, liat deh, senyum kamu disini lepas banget."
"Oh, iya, aku enggak sadar. Perasaan tadi senyum aku enggak sampe segitunya deh."
"Mungkin Eneng lagi seneng kali."
     Tiba-tiba tukang foto yang dari tadi bermuka kecut, dan bersikap dingin menyambar memecahkan kebekuan di antara mereka, seperti tidak ada apa-apa beberapa jam lalu. Setelah memberikan foto itu ke Rena, malah ikut bertumpu pada etalase."Sebenernya yang bikin foto bagus bukan baju yang nomor satu, tapi aura positif."
"Ah masa sih Bang?"
"Iya Neng, kan kalo kita positif, kita bahagia, kalo kita bahagia 'kan kita gampang  senyum."
"positif itu yang kayak gimana Bang?"
"yang pikirannya baik menilai dirinya sendiri, dan orang lain."
 "Jadi kalo saya positif, pake baju jelek, kalo di foto tetep bagus ?"
"Iya, dong."
"Tapi kenapa artis kalo pake baju kebanyakan mewah gitu Bang?"
"Ya.. enggak apa-apa Neng, jangan jelek-jelek juga, 'kan gak enak diliat banyak  orang, asal sopan aja Neng."
"Sopan?"
"Iya, lah, ngapain harus terbuka, kalo yang dinilai aksinya."
"Mungkin ada yang nyaman pake baju begitu kali Bang."
"Mungkin, mungkin ada juga yang jadi percaya diri kalo pake baju begitu."
 "Berpikir positif itu berpikir jernih ya Bang?"
"Iya semacam itu Neng."
 "Pantesan! Saya enggak bisa konsentrasi ngapalin dialog Cinderella kalau abis  diomelin Ibu saya."
"Tuh kan Neng, padahal Ibu Eneng marahin Eneng pasti ada maksud baiknya, Â Eneng harusnya berpikir positif. Artis-artis sama pelawak-pelawak di teve itu juga pikirannya positif Neng. Kalo pelawak pikirannya udah empet, gimana mau kasih lawakan yang sehat? Kalo pelawak yang satunya lagi pikirannya empet juga, gimana mau terima kalo dilawakin, dan kalo pelawak pikirannya empet, gimana mau punya ide. Sebenernya bukan artis aja, semua kerjaan butuh pikiran positif Neng."
"Iya Bang. Makanya jangan judes lagi Bang"
"Emang Abang judes?"
"Iya Bang, tadi Abang judes banget. Berapa nih Bang 2 lembar foto jadinya?"
"Ah masa, haha. Enggak ah perasaan Eneng aja kali."
"Jadinya berapa ini Bang."
"Jadi seratus lima puluh ribu Neng."
***
Pagi-pagi sekali, Rena telah siap berangkat ke Jakarta, tadinya mau ditemani pamannya saja kesana, Pakde Jojo, sekalian pamannya balik ke rumahnya yang berada di daerah barat Jakarta, tapi akhirnya Ibu ikut juga. Mereka turun di depan mesin tiket parkir untuk kendaraan di mal, Pakde Jojo mengantar mereka hanya sampai situ. Pakde harus segera mengantar furnitur ke beberapa rumah yang membeli furnitur buah tangannya, yang diikat di bak belakang mobil yang mereka tumpangi. Di mobil, Ibu dan Rena duduk di bangku depan sebelah Pakde Jojo, ukuran bangku tak terlalu panjang, cukup desak-desakan, membuat Rena mual dan pusing. Jalan pun macet, berbarengan arus orang berangkat ngantor dari kotanya ke Jakarta. Turun dari mobil matanya malah berbinar mengedip-ngedip, pusingnya ilang seketika. Bendera-bendera bergambar acara kontes sudah berkibar banyak di sisi kanan-kiri ia berdiri, sampai pintu utama mal. Gambarnya para artis papan atas yang lagi naik daun, ditibani tulisan "Will you be the next?." Rena kesenangan. Ia melangkahkan kakinya tanpa beban, Ibu dibelakangnya mencoba mengerjarnya dalam balutan kemeja batik motif buketan, berwarna cerah, cantik sekali. Terdapat banyak kancing penghubung di belahan tengah baju berpola lurus hingga menyentuh ujung kain kemeja, kerahnya kaku mengangkat pundak Ibu tegap, bawahannya rok sepan sebetis, Ibu makin anggun menggunakan sandal bakiak andalan, yang kuat dan coraknya terkesan simpel, dipesan dari Yogya lewat Pakde Jojo yang melipir ke pusat perbelanjaan Malioboro waktu lebaran. Mereka terus berjalan melewati jembatan besar yang menjadi pelataran mal menuju pintu utama mal, dibawah jembatan dialiri kali ciliwung, tak banyak sampah tapi butak.
 Mal itu tak sebesar yang ada di daerahnya, tetapi terlalu besar. Tak ada ujungnya,  menjulang memanjang dipinggir jalan, lalu sisi-sisinya memutar ke belakang membentuk oval, Rena sudah melihat bagian belakang mal ini yang tadi sempat mereka lewati, mengitarinya menggunakan mobil saja memakan lima menit. Kepala Rena terangkat mengamati bangunan raksasa itu, yang terlintas "pasti harga yang dijual di mal ini lebih mahal daripada mal di daerah rumahnya."
Ketika sampai di depan pintu utama, seperti suguhan mal pada umumnya, mereka disambut satpam membawa mesin cek keamanan barang, modelnya macam pentungan yang panjang, tetapi satpam sambil tersenyum ramah, jadi tak menakutkan. Ia hanya segan berasa dicurigai. Pentungan itu berbunyi "semua baik-baik" dalam bahasa semut jadi "tenonenonet" mendekati tas Rena dan Ibu, mereka pun lolos masuk ke dalam mal yang besarnya seperti sungai gangga, imajinasi Rena beterbangan mengingat cerita Mahabrata betapa elok nan besar sungai gangga. Ia yang tadinya lincah tak karuan kini malah menggenggam tangan Ibu takut nyasar. Pada poros mal terdapat panggung mewah, tepat seperti kabar dari koran pagi tadi bahwa panggung itu untuk pengumuman kontestan yang lolos sore nanti saat semua kontestan dalam kontes itu sudah diuji juri, itu berarti Rena akan di tempat ini sampai sore, menunggu kontestan tampil semua.
Melihat kontestan lain berlalu lalang dihadapannya, yang ia kenali lewat nomer urut kontestan yang menempel di dada mereka, Rena jadi minder. Para kontestan itu seperti sudah biasa berkeliling mal, mereka anak-anak kota dengan gaya hidup yang kelihatan sekali tampak berbeda dengan Rena, tertawa terbahak-bahak menggenggam secangkir kopi instan di tangan mereka. Diantaranya ada yang keturunan Tionghoa, berkulit putih dan mulus, pakaiannnya tidak seperti Rena, mereka lebih simpel, berwarna tak mencolok. Dandanan wajah mereka pun pas menyelaraskan kulit putih mereka yang bersinar. Melihat model yang begitu, Rena rasa penampilannya tak masuk daftar lolos. Nyalinya langsung ciut, padahal nomor antrian kontestan saja di meja panita di seberang sana belum tergapai. Ia masih baru mengamati dari kejauhan. Dingin air conditionermembekukan langkahnya berat. Betapa ia gugup melihat sepuluh bilik memutari lantai dasar mal, di dalamnya juri-juri sedang bekerja menilai. Nanti setiap sepuluh nomer urut yang sudah masuk giliran uji, dipanggil panitia menggunakan mikrofon menuju bilik-bilik itu, sehingga para kontestan tak perlu jalan-jalan terlalu jauh dari titik kontes, supaya tidak tergesa-gesa menghampiri bilik.
Rena melihat para konstestan yang segera di uji depan bilik-bilik, memiliki gaya rambut dan model busana menarik semua, mungkin juga membawa bakat yang tak kalah luar biasa. Rena semakin pesimis, seakan-akan beberapa kali mengantungi pengalaman berakting pada acara teater sekolah dan lingkungan  RT tak ada apa-apanya. Kontes jauh meriah berlipat ganda dari yang Rena bayangankan. Terdapat 600 orang kontestan, yang dipilih 50 orang, Rena telah mengecek Google. Tersirat selain usaha, ia pun harus berhadapan pula oleh keberuntungan dari Tuhan, maka tak lupa ia berbaik.
***
Ia duduk di bangku-bangku yang tersedia untuk menunggu. Ia sudah ditetapkan memiliki nomer antri 675, ternyata kontestan bertambah lagi, termasuk dia yang baru terhitung. Ibu pergi mencari makan untuk makan siang mereka. Tiba-tiba, di tengah sayup-sayup matanya, ada raut wajah yang sering ia lihat, sedang mendekat.
 "Ratih!!!!!!!"
"Tadi aku liat kamu dari jauh tapi enggak yakin, ternyata beneran kamu Rena."
"Kamu ngapain di sini?!!!! Duh enggak nyangka bisa ketemu di sini."
"Aku ikut kontes ini juga Ren."
"Serius? Sama siapa kamu kesini?"
"Sama Mamaku tuh disana."
Rena tak kuasa oleh kebetulan yang terlalu kebetulan, cukup membingungkan. Memang promosi acara teve tak perlu merembet seharian, kontes itu diiklankan di teve berkali-kali dalam sejam, sudah jadi bahan pembicaraan teman-teman di sekolah, menarik jutaan kaula muda bermimpi memenanginya, berkumpul dalam satu wadah mal itu. Anehnya Rena mudah sekali bertemu Ratih dalam kerumunan sebanyak itu. Kaget plus plus ! Ternyata Ratih suka dunia akting juga, melihat ia tak pernah ikut acara sekolah yang berbau pertunjukan yang ada akting-aktingnya, kegiatan teater sekolah saja tidak ikut. Rena jadi tak sabar mengorek-orek berapa lama Ratih latihan, dan dimana ia kursus akting. Rena tak menyangka, orang yang selama ini mengitari hidupnya sepanjang hari di sekolah, berjuang bersamanya sekarang, ini menakjubkan!
Beberapa menit ngobrol bersama Ratih, Rena baru tahu kalau Ibunya Ratih sangat antusias anaknya turut andil dalam kontes, sampai ikut membantu mendaftarkan lewat pendaftaran online jauh-jauh hari, jadi cukup keringanan. Tak melewati ribet-ribetnya Rena dan Ibu mondar-mandir tanya panitia sana-sini untuk melengkapi biodata dari pos ke pos pendaftaran, Ratih bisa langsung menunggu antrian tampil saja. Penampilan Ratih dari ujung rambut sampai ujung kaki terlihat dipersiapkan sedemikian baik. Ia mengenakan baju terusan yang dilapisi rompi merah, terdapat payet-payet rumit hampir setiap lekuk bajunya.
 Di jam-jam menunggu, ada yang tidak adil, Rena geregetan melihat Ratih selonjoran di bangku main handphone padahal dialog yang diberikan untuknya, yang di-staples panita berbarengan dengan nomer peserta, tadi dihadapan Rena terdengar masih terbata-bata. Rena mengajaknya latihan akting di tempat agak sepi seperti para kontestan lain yang terlihat berlatih disekitar mereka, tetapi Ratih hanya mengiyakan. Bagaimana bisa mamanya antusias, sementara apa yang diberikan kepada Ratih, malah ia anggap biasa saja? Barusan Rena sadar, barangkali ini yang namanya keadilan? Barangkali ini semacam ujian sekolah? Ujian yang bisa datang dari mana saja, termasuk dari Mamanya terhadapnya, serta Mamanya Ratih terhadap Ratih, berbeda pandangan. Barangkali kalau aku dapat dukungan penuh dari Ibu, aku enggak akan sesemangat ini menerjang semuanya, siapa
tahu?
***
Rena dapat bilik ke-7. Ia berdiri menunggu kontestan yang masih diuji di dalamnya. Rena melihat kesebelahnya, kontestan lain berderet mengantri juga untuk memasuki bilik yang berbeda. Rena melihat mereka cantik-cantik sekali, mungkin betul kata Ibu, yang cantiknya biasa kayak dia susah untuk masuk seleksinya. Kontestan di sebelah dia cantiknya di atas rata-rata, seperti terlahir dari negara lain, di negeri dongeng.
"Rena ya? Yuk! Udah siap 'kan?" Â Rena hanya tersenyum malu menanggapi panitia, yang ia rasa tak setara dengannya.
Dihadapan para juri, matanya tak kuat menatap ke depan. Ia memperkenalkan dirinya dengan suara bergetar.
"Nama saya Rena, umur 15 tahun"
Di belakang juri ada kameramen siap menyorotkan kamera, dan ada pekerja dibalik layar lainnya, sungguh itu jauh lebih sedikit dari penonton teater di sekolah, tetapi berbeda, Ia gerogi sekali. Rasa percaya dirinya ketahan psikis tertekan berjam-jam melihat kontestan lain yang ia rasa lebih cantik. Ia kehilangan kendali pada fokus, pikiran menjadi buyar, entah dialognya dimulai dari mana.
"Hari ini aku akan mengais kertas-kertas yang bertumpuk di meja, mencari  namamu sahabatku.."
Tiba-tiba ia lupa dialog selanjutnya. Sungguh mudah bagi Rena untuk improvisasi, tetapi mentalnya tidak kuat, ia takut salah. Ia malah diam beberapa menit seperti patung. Matanya kosong tak tahu apa yang akan ia perbuat.
"Okay, waktumu sudah habis." Salah satu dewan juri berkata tanpa dosa.
"Baik."
Rena mencoba tersenyum kepada mereka lalu keluar bercucuran air mata, Ibu menyambutnya kaget. Ia mencoba menghapus air matanya. Ia melangkah malu di antara para peserta, yang barisannya paling depan mungkin melihatnya dalam kondisi buruk. Ibu pun langsung mengantarnya ke toilet.
"Kamu ada masalah pas tampil Rena? "
"Tidak apa Bu, hanya kurang maksimal."
***
Menyadari penampilan kurang maksimal ditunjukan, ketika pengumuman tiba, Rena hanya pasrah. Ia memegang erat tangan ibu, sambil bersandar di pundak ibu, ia melipat kakinya erat.
"Para hadirin sekalian, bagian terpenting dari acara ini tiba, di penghujung acara ini kami akan mengumuman 50 kontestan yang masuk ke babak selanjutnya. Izinkan saya mengucap syukur atas berjalannya acara ini dengan meriah, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada para peserta, dan para orangtua peserta atas partisipasinya mendukung acara ini. Â
Baik, saya akan membacakan 50 kontestan yang lolos masuk babak selanjutnya. Kontestan pertama adalah...."
Satu persatu nama kontestan yang lolos dibacakan presenter, tanpa Rena. Kekecewaan memang ada nyatanya, Ibu merangkul pundaknya beberapa detik. Ratih disebelahnya. Ia juga tidak lolos, tetapi matanya berbinar. Rena sadar betul kegagalan itu karena apa, tetapi ia tak mau memper-salah-kan dirinya lagi. Kekecewaan itu pasti ada, tetapi jika sekarang ia berteriak hingga menggelegar seisi mal tetap takkan memutar waktu kembali ke hadapan para juri. Perjalanannya masih panjang, masih bisa mengubah rasa kurang percaya dirinya lagi. Anggap saja itu sebuah pengalaman berharga yang tak ternilai. Jika ia punya ambisi yang besar, ia pun juga harus punya dada yang lapang, agar senantiasa tabah. Pesan guru teater di sekolah yang coba ia jadikan bekal.
 ":Bu, Rena mau beli ice cream dulu sama Ratih di lantai 2, kata Ratih ice cream-nya enak?"
"Iya, Ibu tunggu sini, ya."
Suasana mal usai acara jadi ricuh, para kontestan tak tertampung dalam satu titik lagi, ada yang keluar mal untuk pulang, ada yang mencari makan, ada juga yang ke toilet mengganti kostum.
"Ren kapan-kapan jadikan latihan akting bareng ?"
     "Jadi. Minggu depan yuk habis pulang sekolah."
     "Oke. Ren. Kamu mau ice cream rasa apa?"
     "Vanila"
***
Sesampai kembali ke lantai dasar, Ibu datang menghampirinya terburu-buru, padahal Rena memang mau nyamperin Ibu.
  "Ren, ternyata besok masih ada kontes lagi ya? Tadi Ibunya Ratih kasih tahu."
"Iya Bu, memang kontesnya dua hari."
"Yaudah besok kamu ikut lagi ya?"
 "Hah? Enggak usah Bu, kita pulang saja."
"Ren, kamu enggak boleh cepet nyerah begitu. Kita udah habisin banyak waktu  dan tenaga ke sini. Pokoknya besok kamu harus coba lagi ya.
"Bu mana ada kontestan yang kayak gitu.'
      " Tadi Ibu sudah tanya panita katanya boleh kok."
Hati Rena kembali gunda, bagaimana bisa ia ikut kontes lagi, bertemu dewan juri lagi, menampilkan aksinya lagi, yang hari ini sudah jelas-jelas ditolak. Memang tak dapat dipungkiri hati kecilnnya tetap ingin berjuang, tetapi Rena ingin pulang saja.
"Ya sudah sekarang kita ke rumah Pakde Jojo ya, nginap di situ, nanti Ibu bikini kamu mie rebus pakai Fried Chicken yang tadi Ibu beli, kita makan malam di sana."
***
Keesokan hari pagi-pagi Rena sudah sudah tiba. Kemauan Ibu ia terima, tidak sepenuh hati. Saat antri menuju bilik-bilik audisi kembali, tidak ada cemas dihatinya, tidak seperti kemarin menebak-nebak karakter juri seperti apa yang ia dapati dibalik satu dari kesepuluh bilik. Tidak ada masalah tahapan pendaftaran, semua lancar. Ia hanya mengulang seperti kemarin, berkas-berkas pengisian biodata terlengkapi tanpa bantuan panitia. Tak khayal langkah kakinya berat tersendat-sendat mengatur spasi antrian, tatapan-tatapan para panita penyelenggara penuh makna, yang sudah berkenalan dengan wajahnya yang belum genap 24 jam. Mereka seperti memiliki tugas dua hari mengawasi orang sepertinya. Anggapan-anggapan Rena terhadap para panitia yang melihatnya itu seharusnya Rena acuhkan, karena itu hanyalah persepsi bobrok, yang mengurangi kesadaran dirinya akan kecantikan wajah orientalnya yang memesona. "Tolong sambutlah baik." Pintanya dalam hati.
***
Ia kembali kedapatan di bilik  penjurian yang sama.  Sial! Kenapa bilik yang sama! Ia tidak mau melihat apa-apa lagi disekitarnya hanya fokus pada dirinya.
Matanya tertutup berdoa kepada Tuhan agar diberi kelancaran, bermenit-menit khusyuk tak menghiraukan pandangan orang sekitar. Seketika matanya berat terbuka seperti  ketibanan bintang, "positif Rena" suara itu seperti petir dari cuap-cuap tukang foto. Ia ingat kata-kata itu dibenaknya, lalu ingatannya seperti beranjak dalam tidur ke jalan setapak pinggir kali, burung-burung berkicau nan indah, dilangit seperti ada yang menggema "tunjukan bakatmu Rena" nyata suara itu akhirnya bergema dari hati kecilnya. Bagaimana bisa kamu mengeja anugrah Tuhan Rena, menimbang-nimbang kekuranganmu. Lihatlah keseluruhan dirimu, kamu pantas berada dipannggung yang megah. Kamu harus punya keberanian tampil, jangan jadi pengecut yang mengumpat di belakang meja, hanya lima menit Rena, keluarkan semua kemampuanmu, tidak usah memikirkan apapun, keluarkan saja tanpa beban. Semua akan baik-baik saja.
"Kamu siap?" Â Badannya di tepuk panitia, ia tersenyum.
***
"Hai, saya kayak pernah lihat kamu." Â .
"Iya saya yang ikut kontes kemarin."
Rena coba menjawab tegas, perkataan basa-basi juri.
 "Oh, ya, kamu yang kemarin itu ya, Oke! Mau coba lagi ya?
"Iya."
 "Oke boleh dimulai."
***
"Hah saya tercengang loh, Rena Itu barusan kamu? Kenapa enggak dari kemarin aja kamu begitu."
"Saya kemarin gugup."
"Siapa yang memotivasi kamu sampe kamu berani unjuk gigi begini!!!!!?"
"Diri saya sendiri dan Ibu."
"Oke, terima kasih ya, ditunggu ya pengumumannya, good luck! Juri masih tercengang.
***
Rena mencoba menghibur hatinya yang seperti roller coaster menunggu pengumuman, ia memutuskan berkeliling sejenak mengitari mal. Sudah sejak menginjak mal pertama kali ia kepingin melihat-lihat seisinya, tapi malas duluan karena adrenalin lomba, ditambah takut tempatnya asing, tetapi, semakin lama di sini, ia merasa nyaman juga. Siapa yang akhirnya tak penasaran melihat mal yang punya fasilitas hiburan lengkap begini?
Langkah kaki Rena menjauhi titik ia berpijak, akhirnya ia sadar juga setelah berjam-jam  memperhatikan orang yang berlalu lalang dengan bodoh. Ia baru berasa ide muter-muter mal setelah sekian jam terbuang, ternyata melamun panjang bisa melupakan detil dalam mengamati sesuatu. Ia beranikan diri naik eskalator yang memuncak menggapai kios-kios berderet yang sudah terlihat tiangnya. Ia bisa lihat Ibu dari eskalator sedang duduk sambil makan cemilan mini market. Kini ia sudah berdiri di lantai 1 dari mal, ia mendapati kios-kios pakaian. Diskonnya ampuh membuat Ibu merayu Ayah, sampai setengah persen harganya. Apa diam-diam Ibu sudah membelinya? Ia kembali melangkahkan kaki memutar ke arah kiri untuk menaiki eskalator selanjutnya hingga ke lantai 4.
Ia berjalan menelusuri lantai itu bergairah. Di lantai itu diisi kafe dan restoran, yang dijadikan dapur setia para insan berdasi untuk menyeruput secangkir kopi robusta seperti milik Ayahnya, dengan ruang keluarganya gedung-gedung pencakar langit, kantor mereka sendiri. Letak mal itu disekelilingi perkantoran.
Bangku kafe disulap berwarna-warni mengundang senyum-senyum bertebaran dengan entengnya. Para pengunjungnya terlihat nyaman berbincang-bincang membelakangi kubu lain. Diantaranya ada yang sedang mengetik di laptop, ada yang berdiskusi, dan ada pula yang sendirian bersantai-santai  Pandangan mereka sejuk, melihat tanaman hias kafe, tersusun manis menyeimbangi lantai yang keemasan. Para pelayanan yang mengantarkan kopi, yang mereka tuangkan pada gelas-gelas kecil menggebukan asap air hangat. Sebagian dari mereka seperti tidak sadar. Entah kenapa Rena menangkap, padahal mereka berdialog penuh percaya diri.
Rena kemudian berlari melewati jembatan penghubung bangunan yang satu dengan yang lain mal, ternyata Rena belum menemukan ujungnya. Jembatan penghubung antar bangunan itu sisi-sisinya terbuat dari kaca bening, bahkan lantainya juga dari kaca menyeramkan. Rena leluasa melihat seluruh bagian mal. Ada air mancur yang selalu jadi perhatian banyak orang pas masuk dari pintu utama mal. Ternyata bila dilihat detil, kolom ikan tempat jatuhnya air mancur dihiasi beberapa patung manusia bersayap, mengucur dalam tekanan rendah, memercikan suaranya renyah, memberi ketenangan bagi para pengunjung yang berjalan tak terarah. Lantai mal tak putih polos saja, ada yang dari batu kali, sampai dari kayu jati, diterangi lampu-lampu neon.
Ternyata, presenter sudah bersiap-siap memulai pengumuman pemenang lomba, Rena mendengar dari mikrofon. Ia pun lari ke arah panggung. Ia menjelma seekor burung dara. Apalagi yang lebih indah di detik-detik dirinya kembali melapangkan dada?
***
"Nomor urut selanjutnya dua ratus dua puluh lima, Rena Cantike Nirwana"
Suara itu nyata menggema dikupingnya.
"YEAHHHHHHH." Â suaranya tergentak.
Nyatanya kali ini ia berhasil. Ia berjalan diantara orang-orang yang duduk menghadap panggung, dengan senyuman. Ia melihat Ibu dari atas panggung. Semua orang di mal hingga lantai atas seperti melihat ke arahnya. Ia tersenyum. Setelah turun dari panggung ia langsung memeluk Ibu, teringat betapa Ibu berdoa khuyuk di seperempat malamnya tadi malam.
***
Rena datang ke sebuah asrama yang disediakan untuk kontestan selama dikarantina berbulan-bulan.
Dua minggu masa karantina, rintang penuh rintangan ia lewati dengan mudah, ia  tersaring terus lolos seleksi. Ia berusaha tanpa Ibu, karena Ibu baru boleh menemuinya lagi setelah dua minggu dikarantina, begitulah peraturan kontesnya.
Setelah dua minggu berjalan, Ayah dan Ibu sering datang mondar-mandir ke asmara, membawa makanan yang jumlahnya banyak sekali, digenggam dua tangan Ayah berat-berat naik bus, Ibu selalu ikut mendampingi. Kalau kemalaman mereka rela menginap dimanapun ngedeprak. Pernah ada kejadian sampai tidur di pos satpam. Sejak itu, Pakde Jojo meminta Ayah telepon saja ke handphone-nya kalau sudah kemalaman, agar ia yang datang menjemput mereka ke rumahnya untuk menginap, yang memang jaraknya lumayan jauh dari asmara, melewati tol Jakarta yang panjang.
 Dalam proses karantina yang ia dan kontestan lain lakukan latihan rutin setiap hari, dibimbing coachatau pengajar akting, untuk mematangkan bakat mereka, serta untuk persiapan penampilan mereka yang dipentaskan sekaligus diuji dalam suasana kontes yang dibungkus menjadi acara teve bergengsi tiap minggu malam, pada channel teve swasta. Pada akhir acara mereka diseleksi. Bagi yang lolos, maka berlanjut dalam persaingan hingga mencapai juara tunggal, bagi yang belum berkesempatan menurut Tuhan, maka berhenti mengikuti alur kegiatan kontes itu.
Dalam karantina, bukan hanya bakat yang diasah, tetapi segala unsur kehidupan dipersiapkan. Diharapkan membentuk seniman tanah air yang bisa jadi teladan banyak orang. Kedisplinan dan kesopanan Rena paling diuji, seperti saat matahari masih mengumpat, ia dituntut sudah bangun, untuk siap-siap mandi, ibadah, dan bersih-bersih tempat tidur sendiri, kalau tidak mengikuti aliran waktu bersama teman-teman seperjuangan, ia akan terlambat sarapan yang sudah disajikan tim penyelenggara jam setengah delapan pagi. Pernah satu, dua kali, dia telat, lalu tidak mandi, langsung makan, agar tak ketinggalan sarapan yang hanya diberi waktu sampai jam setengah sembilan saja oleh tim penyelenggara. Sesampai di ruang makan asrama, ia mendapati kesan sinis dari pihak tim penyelenggara, hingga kontestan lain, yang sebetulnya itu pun bukan sebuah bentuk kesopanan, tetapi kalau dipikir-pikir mereka semua sama, tim penyelenggara pun sarapan di waktu yang telah dibatasi di asrama, karena mereka semua harus bersegera menjalani kegiatan masing-masing, Rena latihan akting setelah itu di gedung depan asrama, sementara tim penyelenggara pun bekerja keras mengurusi kegiatan selanjutnya mendukung acara kontes yang disorot teve maupun tidak.
***
Waktu terus bergulir, ia menyadari beradaptasi dengan para kontestan itu perlu, agar ia semakin bebas berkembang di lingkungan itu. Dia seorang anak pemalu, dan sulit bersikap biasa dalam lingkaran obrolan teman-teman barunya, lebih banyak diam, sambil memerhatikan watak teman-temannya. Bila ada waktu tepat yang lebih intim, barulah ia mulai membuka diri, mendekati satu per satu orang dalam kelompok itu, setelah itu, bisa melesat menjadi yang terseru diantara mereka. Sifat bawaan Rena yang humoris, dan agak cuek kalau sudah kenal, terkesan rendah hati dan bisa membuat siapa saja disebelahnya merasa nyaman, sehingga mudah diterima dalam pertemanan. Terkecuali teman baru di karantina yang satu itu, namanya Danis. Bukan karena ada masalah apa-apa, hanya saja ia lupa meluangkan waktu kepada Danis untuk mengakrabkan diri. Sehingga ketika sedang berkelompok, Danis menyangka Rena orangnya sok asik, ingin menguasai lingkup pertemanan mereka yang sudah lebih dulu Danis kenal. Kesan pertama yang terbangun seperti itu sangat buruk, jadi di hari-hari selanjunya mereka segan kalau dekat, dan ngedumel sendiri kalau jauh. Suasana yang terbangun seperti itu dalam asrama yang megah dan berfasilitas lengkap, menjadi tak sedap hawanya.
Rena dipanggil oleh coach, Danis menatap tajam sorot mata Rena penuh keyakinan bahwa ia tak boleh diremehkan, Rena agak sedikit takut, hatinya nyeri. Ia melangkahkan kaki ke tengah karpen meragu, ia disekelilingi para kontestan yang duduk dibangku. Model latihan yang seringkali diterapkan coachagar sesama kontestan dapat menerka-nerka penampilan kontestan lain dan dapat saling bertukar pembelajaran.
 Di tengah-tengah karpet Rena sudah siap. Coach yang duduk dibangku ukuran lebih tinggi, yang bersinggung dengan pintu masuk ruangan berteriak "satu dua tiga action!" Rena seketika memerankan tokoh yang didapati di naskah, suaranya hidup menggertak, matanya tajam ke berbagai sudut. Sesungguhnya yang ia tampilkan terlalu lepas dari pembelajaran yang disampaikan coach, fokusnya buyar mementingkan sajian yang memukau, agar tak ada celah Danis menghinanya.
Â
 "Intonasi kamu enggak main Rena, lebih banyak meninggi, makna cerita jadi kurang tersampaikan."
Hari-hari mereka lewati semakin parah, kontestan lain bisik-bisik di telinga keduanya mengadu domba, untuk dekat tak ada harapan lagi. Berkali-kali Rena menjatuhkan badan ke tempat tidur sambil kesal. Danis seakan-akan merebut kelompok pertemannya. Munculah saling adu kedekatan, membentuk kubu-kubu pertemanan yang bobrok. Semua sama, tak ada yang betul-betul mendukung pasang badan di depan untuk mereka, hanya mencuri kesempatan memanas-manasi mereka agar seru, menyalakan obor pertengkaran agar asrama lebih manis. Kebencian Rena dan Danis sudah jadi rahasia umum. Akhirnya perselisihan sampai ke Ibu saat berkunjung mendapati Rena gelisah. Akhirnya Ibu meminta penjaga asrama menasihati mereka berdua, dan teman-teman mereka supaya berhenti jadi pemancing, Ibu berharap jangan sampai ketahuan pihak lainnya, agar tak menjadi sorotan. Ibu tegas menegur Rena, agar tak memiliki sifat iri, dengki, yang kampungan. Tak pernah Ibu mendapati Rena memiliki masalah seperti itu, yang Ibu tahu ia berkawan sejati oleh siapapun. Tak ada bagusnya bersaing dalam dengki sekalipun dalam prestasi, sama saja seperti makan mie instan yang direbus, semakin menjadi ketagihan. Tidak bisa melihat orang lain senang.
Pagi itu Rena sudah segar bugar sehabis mandi. Hari itu tidak seperti pagi biasanya, cuacanya dingin. Ia bergegas menonton teve di ruang tamu bersama teman-temannya. Sementara ada sebagian teman-temannya yang sudah bergegas latihan ke gedung depan asrama. Mereka dibagi-bagi per-kloter, setiap kloter punya bagian jam-nya sendiri. kloter-kloter akhirnya diterapkan panita agar latihan lebih intensif. Jam latihan pun semakin pagi sekarang, jam delapan.
     Mereka tertawa terbahak-bahak bersama menonton film kartun, sambil makan cemilan. Tiba-tiba ada suara gerabak-gerubuk dari tangga, seperti mendekat ke arah mereka. Danis sudah berdiri kelimpungan karena terlambat ikut kloter-nya, ia telat bangun.
    Â
"Duh gimana dong."
"Coba Nis kamu cek sepeda di halaman, masih ada enggak." Ia segera ke halaman mengecek.
 "Ada, sepeda Rena."
  Rena langsung tersentak hatinya disebut namanya oleh Danis, hatinya seperti berbunga-bunga merasa dihargai, meskipun kalimat itu secuil.
  "Pake aja Nis, Nih gembok rantainya."
   "Enggak apa-apa?"
   "Enggak apa, entar gue jalan aja. "
   "Oke."
     Sepeda itu dibawa Ibu dari rumah, karena ia senang olahraga pagi muter-muter komplek asrama yang elitnya keterlaluan.
Lewat kejadian itu, hubungan Rena dan Danis membaik, mereka saling mengontrol ego masing-masing. Kedewasaan semakin terlihat. Ternyata yang mereka butuhnya hanya rasa saling menghargai.
***
Kepalanya hanya menunduk, menunggu giliran tampil, matanya yang kaku menatap garis-garis lantai di kakinya.
"Rena kamu baik-baik saja 'kan?"
"Ibuuuuuuu." Rena tersenyum lepas.
 Ketakutan dihatinya rada hilang. Ibunya tampak cantik sekali, dandannya lebih menor selama beberapa kali Ibu ke kondangan. Ibu berdandan spesial begitu di hari spesial, berarti hari ini paling spesial.
Ibu memeluknya seketika, air matanya sedikit mengucur, Rena pun demikian, berharap bedaknya tak luntur. Ibu meminta tim penyelengggara untuk sejenak mengizinkannya bertemu dengan Rena yang beberapa menit lagi tampil, persis seperti saat Rena ingin tampil teater disekolah, Ibu memang tidak pernah melihatnya berlatih teater, tetapi ketika tampil Ibu pasti selalu nonton, dan selalu paling ribet, serta paling tahu apa yang Rena mau. Pelukan.
"Kenapa gerogi sekali Rena? Engak perlu begitu, kamu sudah hebat ada di titik ini, Ibu tidak mengharapkan apapun, kami sudah bangga."
Kata-kata itu sangat menyelekit di hati Rena, tak terbendung tangisannya menjadi-jadi, Ibu memeluknya lagi, penuh saksi betapa perjalan yang ia tempuh tidak mudah. Segera ia hapus dengan tangan lentiknya sambil tersendat-sendat, agar make up nya tak luntur. Ayah yang jarang bicara, mengelus-elus pundaknya, berharap Rena tenang. Kekuatan afirmasi dari kata-kata Ibu, langsung membuat tenang.
Seketika rambut yang terurai menyapu-nyapu pundak sendiri datang menghampirinya, ia kenal sekali senyum itu, Gege! didampingi Ibunya disebelahnya. ia langsung meluncurkan tangannya, Gege menyambar, lalu berpelukan.
"Kenapa tegang sekali? Kenapa enggak anggep aja lagi main-main di sawah?"
       Mereka tertawa.
"Jangan nangis lagi, aku malas make up-in kamu.".
Tim penyenggara datang tergesa-gesa, memberitahu Rena bahwa ia akan segera tampil. Ibu dan yang lain diboyong oleh salah satu team penyelenggara untuk kembali duduk di kursi panggung baris depan yang sudah disediakan.
***
Rena memakai gaun cerah, warna oren dan selendang warna biru. Ia meminta warna favoritnya itu kepada tim wardrobe yang mengurusi kostum.
"INI DIA........ RENA" Â presenter acara heboh.
Di balik tirai kaki Rena melangkah anggun menuju panggung maha megah.
satu.. dua... tiga..
Pinggulnya terayun-ayun seperti berdendang. Seketika suara penonton seperti saut-menyaut meneriaki namanya, sambil bertepuk tangan meriah. Hamparan mata-mata tulus tertuju satu pandangan kearahnya, sambil tersenyum lebar. Ia tak percaya ini semua, tetapi ia rancang. Ia tak pernah merasa seberharga ini. Ternyata usahanya sudah sejauh panggung spektakuler. Panggung disoroti lightingwana-warni dari berbagai sudut di atas kepalanya, dengan latar panggung amat besar untuk seukuran tubuhnya, diisi pepohonan plastik yang lebat seperti di taman, menyangkut awan-awan buatan, mengangkat tema cerita yang Rena bawakan. Di belakangnya ada layar teve lebar sekali membentang, menampilkan video burung beterbangan seakan-akan menghiasi taman.
Ia tak mau terlena, langsung ia memainkan aktingnya seraya panggung mulai redup. Terlihat ia sepenuh hati. Ujung rambut sampai ujung kaki ia perankan tanpa sapa tetapi membumi. Badannya tegap, lalu membungkuk, lalu berputar-putar anggun, kadang mimik-nya riang, kadang terlihat emosi. Menguasai panggung berbentuk catwalk,menghidupkan dialog yang mengalir jernih di kepala seperti alir yang mengalir beruntung tanpa lidah keseleo. Dimana ada peluang untuk improfisasi, di situ ia lakukan. Tegas! Intonasinya tegas dari suara perut. Penafsiran cerita yang dia olah dikarantina berbulan-bulan ia cerna mudah, tajam. Â Ia senang mendayu-dayu seperti Cinderella yang bernyanyi.
***
Ya, Rena memenangkan kontes itu menjadi juara tunggal. Semua bersorak ria sehabis pengumuman. Dalam perjalanan yang penuh tanda tanya seperti itu, meskipun tertutup kabut, secerca cahaya selalu ditafsirkan datang, memang akan selalu datang. Mimpi-mimpi masih suci. Melewati jalan setapak, hingga menarik impian. Rena hanya ingin menampilkan akting sepenuhnya di panggung yang lebih besar, di hadapan penonton yang sangat banyak, dari bakat yang telah ia sadari. Apa salah? Dan pada akhirnya, seberapa pun Rena bertukar pendapat dengan orangtuanya, cek-cok hati, dan jalan dalam hidup, hingga soal-soal kecil. Ujung-ujungnya yang ia tahu, bahwa Orangtuanya akan selalu ada.
Karya ini murni lahir dari saya, Fiska Aprilia Ibtiyah Arli, sebagai penulis tunggal.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
a. bahwa hak cipta merupakan kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai  peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan  kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,  dan sastra, sudah demikian pesat sehingga memerlukan peningkatan  pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang Hak  Cipta, dan pemilik Hak Terkait;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H