"Oke."
     Sepeda itu dibawa Ibu dari rumah, karena ia senang olahraga pagi muter-muter komplek asrama yang elitnya keterlaluan.
Lewat kejadian itu, hubungan Rena dan Danis membaik, mereka saling mengontrol ego masing-masing. Kedewasaan semakin terlihat. Ternyata yang mereka butuhnya hanya rasa saling menghargai.
***
Kepalanya hanya menunduk, menunggu giliran tampil, matanya yang kaku menatap garis-garis lantai di kakinya.
"Rena kamu baik-baik saja 'kan?"
"Ibuuuuuuu." Rena tersenyum lepas.
 Ketakutan dihatinya rada hilang. Ibunya tampak cantik sekali, dandannya lebih menor selama beberapa kali Ibu ke kondangan. Ibu berdandan spesial begitu di hari spesial, berarti hari ini paling spesial.
Ibu memeluknya seketika, air matanya sedikit mengucur, Rena pun demikian, berharap bedaknya tak luntur. Ibu meminta tim penyelengggara untuk sejenak mengizinkannya bertemu dengan Rena yang beberapa menit lagi tampil, persis seperti saat Rena ingin tampil teater disekolah, Ibu memang tidak pernah melihatnya berlatih teater, tetapi ketika tampil Ibu pasti selalu nonton, dan selalu paling ribet, serta paling tahu apa yang Rena mau. Pelukan.
"Kenapa gerogi sekali Rena? Engak perlu begitu, kamu sudah hebat ada di titik ini, Ibu tidak mengharapkan apapun, kami sudah bangga."
Kata-kata itu sangat menyelekit di hati Rena, tak terbendung tangisannya menjadi-jadi, Ibu memeluknya lagi, penuh saksi betapa perjalan yang ia tempuh tidak mudah. Segera ia hapus dengan tangan lentiknya sambil tersendat-sendat, agar make up nya tak luntur. Ayah yang jarang bicara, mengelus-elus pundaknya, berharap Rena tenang. Kekuatan afirmasi dari kata-kata Ibu, langsung membuat tenang.