***
Rena dapat bilik ke-7. Ia berdiri menunggu kontestan yang masih diuji di dalamnya. Rena melihat kesebelahnya, kontestan lain berderet mengantri juga untuk memasuki bilik yang berbeda. Rena melihat mereka cantik-cantik sekali, mungkin betul kata Ibu, yang cantiknya biasa kayak dia susah untuk masuk seleksinya. Kontestan di sebelah dia cantiknya di atas rata-rata, seperti terlahir dari negara lain, di negeri dongeng.
"Rena ya? Yuk! Udah siap 'kan?" Â Rena hanya tersenyum malu menanggapi panitia, yang ia rasa tak setara dengannya.
Dihadapan para juri, matanya tak kuat menatap ke depan. Ia memperkenalkan dirinya dengan suara bergetar.
"Nama saya Rena, umur 15 tahun"
Di belakang juri ada kameramen siap menyorotkan kamera, dan ada pekerja dibalik layar lainnya, sungguh itu jauh lebih sedikit dari penonton teater di sekolah, tetapi berbeda, Ia gerogi sekali. Rasa percaya dirinya ketahan psikis tertekan berjam-jam melihat kontestan lain yang ia rasa lebih cantik. Ia kehilangan kendali pada fokus, pikiran menjadi buyar, entah dialognya dimulai dari mana.
"Hari ini aku akan mengais kertas-kertas yang bertumpuk di meja, mencari  namamu sahabatku.."
Tiba-tiba ia lupa dialog selanjutnya. Sungguh mudah bagi Rena untuk improvisasi, tetapi mentalnya tidak kuat, ia takut salah. Ia malah diam beberapa menit seperti patung. Matanya kosong tak tahu apa yang akan ia perbuat.
"Okay, waktumu sudah habis." Salah satu dewan juri berkata tanpa dosa.
"Baik."
Rena mencoba tersenyum kepada mereka lalu keluar bercucuran air mata, Ibu menyambutnya kaget. Ia mencoba menghapus air matanya. Ia melangkah malu di antara para peserta, yang barisannya paling depan mungkin melihatnya dalam kondisi buruk. Ibu pun langsung mengantarnya ke toilet.