Mohon tunggu...
firta yolin
firta yolin Mohon Tunggu... Editor - freelancer

make it our life is so simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Lelaki Tua Itu..."

6 Agustus 2024   15:55 Diperbarui: 6 Agustus 2024   15:58 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, aku tak dapat berkata-kata banyak kepadanya, tak seperti dulu kala. Kami dapat berdiskusi tentang banyak hal, memperbincangkan banyak hal dan memperdebatkan banyak hal. Walaupun dari perbincangan kami, diskusi dan perdebatan kami tidak membuahkan jawaban yang berarti. Kecuali, diskusi tentang masakan, terutama tentang masakan tradisional yang berasal dari Sumatera Barat, kampung halamannya. Apabila kami menemukan resep baru atau mencoba menu baru selama makanan tersebut berasal dari Minang, kami akan berdiskusi asyik tentang bahan-bahan hingga proses pembuatannya hingga kami sepakat untuk mempraktekkannya.

Sebagian besar kerabat kami sudah memberikan dukungan yang besar agar kami dapat membuka Rumah Makan Padang seperti yang sudah menjamur dimana-mana. Namun, untuk dukungan dan saran tersebut kami juga sepakat bahwa hal tersebut tidak akan kami lakukan. Entah kenapa, aku memiliki kesepakatan yang sama dengannya. Akan tetapi, itu semua tak sama dengan keadaan saat ini.

Ia hanya dapat terduduk lemah di kursi rodanya, atau di sebuah sofa depan layar televisi dengan menatap kosong terhadap layar televisi yang dipenuhi gambar-gambar visual. Tak ada lagi diskusi diantara kami tentang berita-berita yang ditampilkan oleh stasiun televisi. 

Tak ada lagi perbincangan kami tentang adegan-adegan aksi para pemain film atau drama yang menjadi salah satu kegemaran kami. Yang ada saat ini adalah kebisuan, hanya suara-suara dari layar televisi. Aku tak dapat berbicara banyak kepadanya. Pembicaraan kami lebih banyak satu arah. Sesekali aku yang berbicara untuk menawarkan sesuatu kepadanya,

"Mau minum?"

"Sudah lapar? Mau makan sekarang?"

"Mau nonton apa? Mau nonton film?"

"Sudah capek? Mau tidur?"

Dari semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia tidak membalas jawabanku dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk atau menggelengkan kepalanya, atau apabila ia mau beristirahat ia akan menunjuk kamar tidurnya. Dan, apabila ia tidur, suasana terasa sepi kembali. Padahal sedri tadi memang terasa sepi karena tidak ada yang berbincang-bincang. Namun aku merasakan sepi yang tak kumengerti.

Sejak bulan Juli 2022, ia didiagnosis ODD (Orang Dengan Demensia), atau lebih spesifiknya demensia vaskular. Sebagian besar syaraf di otaknya telah mengalami gangguan yang signifikan, volume otaknya juga mengecil, hingga berdampak pada kegiatan motorik, mulai sulit untuk berkata-kata dan daya ingatnya mulai semakin menurun. Hanya dalam satu kurun waktu yang singkat seperti ini membuat kehidupannya berubah.

Ia terkenal paling tidak bisa diam, apapun yang bisa ia kerjakan, akan ia kerjakan tanpa kenal lelah. Melakukan pekerjaan rumah, bercocok tanam dan pastinya memasak yang akan ia lakoni setiap saat. Aku yang lebih sedikit beraktivitas dibandingkan dengan dirinya, namun aku yang merasa lelah melihat gerak tubuhnya yang sulit dihentikan.

Tak kalah pula, ia terkenal ramah dan pandai bercakap-cakap dengan orang lain. Ada saja bahan yang menjadi perbincangannya. Semua warga yang lewat depan rumah pasti akan ia sapa.

"Hai, Pak. Mampirlah dulu... minum kopi dan merokok. Sudah lama tak jumpa."

Dikarenakan keramahannya, warga yang disapa tersebut tak segan untuk mampir dan mengobrol di teras rumah kami, ditambah penawaran secangkir kopi dan beberapa batang rokok. Tergantung seberapa lama perbincangan mereka, semakin lama berbincang semakin banyak batang rokok yang dihisap.

Suatu waktu, ada warga lain yang melewati rumah kami,

"Darimana, Bu... sudah lama tak pernah kelihatan. Mau kembang atau tanaman gak?"

Untuk kali ini, warga yang disapanya adalah sekelompok kecil ibu-ibu yang pastinya suka sekali dengan tanaman. Penawaran untuk mendapatkan tanaman gratis tidak mungkin ditolak oleh kelompok kecil ibu-ibu tersebut.

Ia mulai sibuk menyiapkan tanaman-tanaman yang akan diberikan, mencari kantong-kantong plastik sebagai pembungkusnya. Selanjutnya, perbincangannya mengenai cara merawat tanaman-tanaman tersebut. Semakin banyak pertanyaan yang diajukan oleh ibu-ibu, ia semakin bersemangat untuk memberikan keterangan tentang tanaman-tanaman tersebut.

Sebenarnya, ia bukan ahli pertanaman atau memiliki pendidikan khusus tentang pertanaman namun karena kecintaannya yang sangat dalam terhadap makhluk hidup yang satu ini, maka tak akan pernah jemu baginya untuk selalu belajar bercocok tanam. Hingga 'tangan dinginnya " membuahkan hasil yang baik, membawa keteduhan bagi rumahnya.

Tak sekedar warga saja yang selalu ia ajak untuk berbincang-bincang di teras rumahnya, namun adapula petugas keamanan, penjual tanaman keliling hingga kuli bangunan yang biasa membantu renovasi rumah para warga. Kepada mereka, ia tak sekedar menawarkan secangkir kopi dan sebatang rokok, akan tetapi adakalanya ia menawarkan hidangan lengkap lauk pauk. Melihat mereka makan dengan lahap, akan membuat ia bahagia.

Namun, sekali lagi itu semua terjadi beberapa waktu yang lalu. Berbeda dengan keadaannya saat ini. Ia hanya duduk terdiam di bangku teras atau di atas kursi roda. Sekedar untuk mencari udara segar dan berjemur ataupun melihat keadaan tanamannya. Tak dapat lagi ia menyapa para warga yang berjalan melewati rumah kami. Yang terjadi adalah para warga yang menyapanya terlebih dahulu dan ia sekedar melambaikan tangan sesaat dan tersenyum tipis. 

Tatapan matanya langsung tertuju padaku yang berada di sampingnya, dan aku paham maksudnya yaitu ia ingin tahu siapakah yang barusan menyapanya. Dan aku menjelaskan secara singkat siapa mereka. Terkadang ia mengangguk membalas jawabanku. Bisa dikatakan ia masih ingat dengan orang tersebut. Namun terkadang, ia hanya menatap kosong ke arahku cukup lama. Dan bisa dikatakan bahwa ia sedang berpikir keras siapa orang yang menyapanya tadi karena sebagian besar ia sudah tak ingat. Apabila terjadi hal tersebut, aku hanya bisa berkata,

"Ya sudah kalau gak ingat, gak apa-apa. Jangan dipaksain." Sambil mengusap pipinya agar ia berhenti untuk mencoba mengingat. Setelah itu, ia hanya mengangguk lemah.

Sejak Juli 2022 itu, dapur kami pun terasa hampa. Tak ada lagi bertebaran bahan-bahan dapur, bumbu-bumbu masakan dimana-mana. Sejak saat itu, kami hanya memasak seadanya. Masakan yang sederhana. Masakan yang tidak kaya akan rempah-rempah, bumbu-bumbu dan bahan-bahan masakan lainnya yang akan membuat dapur kami hidup karena aroma mereka yang harum dan menyeruak karena kolaborasi yang sempurna dari kekuatan aroma mereka. Dapur kami hampa tanpa kehadiran Sang Raja Koki.

Terasa perih bagiku melihatnya seperti ini. Bagaimanakah dengan dirinya? Manusia yang paling aktif di usianya yang sudah di atas 80 tahun. Saat ini, semua sudah tak mungkin. Aku tahu semua ini terasa menyakitkan baginya. Ia tak dapat lagi ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan masakan beserta bumbunya. Ia tak dapat lagi menyiangi tanaman-tanaman kesayangannya dan menyiraminya hampir setiap hari di musim panas. Ia tak dapat lagi berjalan-jalan keliling kota Bandung sekedar membeli roti di Jalan Gempol atau peralatan elektronik di Jalan ABC atau berjalan-jalan di Braga dan menceritakan kenangan-kenangan manis Braga pada tahun 60-an dan seterusnya. Ia tak dapat lagi menjemput aku yang suka nonton band di GOR Saparua atau gedung-gedung kampus. Atau menjemputku yang pulang malam karena latihan teater. 

Ia yang dulu sering protes dengan berbagai hal yang tak ia sukai, namun dengan keadaannya saat ini tak ada kata-kata protes atau amarah yang keluar baik dari mulutnya maupun mimik wajahnya. Dalam rentang waktu yang singkat, ia dapat menerima keadaannya saat ini. Hanya kata-kata maaf dan terima kasih yang sering diucapkannya.

"Maaf..."akan selalu ia ucapkan apabila ada kerabat yang datang ke rumah kami untuk menjenguknya.

"Terima kasih... terima kasih... terima kasih..."akan selalu ia katakan apabila aku sudah selesai memandikannya dan mengenakan pakaian kepadanya. Setelah itu, ia akan berterima kasih ketika aku memberinya makan dan menyuapinya. Tak jarang pula, air mata menetes dari ujung matanya. 

Lelaki tua itu yang sangat aktif pada masanya sudah tak memiliki daya lagi. Ia yang dulu menjagaku, kini saatnya aku yang menjaganya dengan segala upayaku. Lelaki tua itu adalah teman diskusi dan teman debatku yang menggantikan Mama setelah kami ditinggalkannya 16 tahun yang lalu. Lelaki tua itu adalah Ayahku.

Tanpa kami sadari, sejak ia menjadi ODD, kami juga telah 'kehilangan' dirinya walau tak utuh. Tak ada lagi hirup pikuk yang dibawanya pada saat kami bersama. Tak ada lagi kehangatan yang menyatukan. Terkadang ia merasa terasing dengan keadaannya saat ini. Ia merasa berbeda, tak seperti dulu lagi.

Sedangkan aku tak dapat berbuat banyak. Aku hanya bisa menanyakan,

"Ayah mau apa? Ngomong ya kalau mau sesuatu?"

Ia hanya terdiam dan kemudian menggelengkan kepalanya.

Aku tahu Ayahku menginginkan sesuatu atau ada yang ingin disampaikan. Aku tahu ia telah jenuh dengan semuanya. Aku tahu ia tidak mau lagi merepotkan aku hingga ia memilih untuk diam saja dan memendam keinginannya. Dan, aku baru mengerti, bahwa sesulit ini untuk merawat ODD dengan tingkat lanjut.

Hingga suatu waktu, nafsu makannya semakin berkurang. Apapun yang menjadi makanan favoritnya, aku sajikan, namun tak ada sedikitpun selera darinya. Hal tersebut menjadi tugas baru bagiku, karena aku tak mau sedikitpun terjadi hal yang buruk padanya. Dan akhirnya aku menemukan jawaban untuk memberikan bubur gandum padanya. Usaha tersebut membuahkan hasil. Ia mau memakannya, walaupun baru sedikit demi sedikit. Namun tak apa, setidaknya tidak akan membuatnya lemas.

Akan tetapi di sisi lain, sejak nafsu makannya berkurang, ia tak mau lagi mengkonsumsi obat, dan lebih memilih untuk diam di kamar dan berbaring. Selain itu, ketika aku membersihkan dan memandikannya, warna kotorannya sudah tidak seperti warna kotoran yang normal. Dari hal tersebut, secara tiba-tiba ada sayatan saya dalam diriku. Tak dipungkiri aku memiliki pikiran yang buruk ketika itu. Namun, aku menepisnya. Alangkah bijaknya apabila aku tulis dalam pikiranku bahwa masalah tersebut wajar saja bagi orang yang mengkonsumsi obat-obatan.

Karena kekhawatiranku, aku semakin sering menemaninya. Melakukan pekerjaanku di kamarnya, dan apabila aku meninggalkannya untuk sesaat, aku memutar musik dari gawaiku. Memutar musik dimaksudkan agar ia tidak merasa kesepian apabila kami tinggal sesaat.

Suatu malam, ketika aku menemaninya, tiba-tiba aku diliputi kesedihan yang sangat mendalam. Awalnya aku tak paham dengan rasa sedih yang secara tiba-tiba ini, apakah ini karena keadaan Ayahku yang kesadarannya semakin menurun atau karena hal yang lain? Saat itu juga suara hatiku berkata agar berdoa saja dan Tuhan akan menjawab semuanya. Dan semalaman itu aku terus menemaninya. Aku banyak berbicara kepadanya dengan langsung berbisik di telinganya, 

"Ayah...ayah sudah capek? Ayah mau istirahat? Istirahatlah, Yah... Tak usah pikirkan kami. Tak usah khawatirkan kami, kami tidak apa-apa. Kami ada Tuhan yang selalu menjaga kami."

Aku usap dengan lembut kepalanya dan kecup keningnya.

Ia tak membalas apapun. Tatapan matanya hanya tertuju pada satu arah, dan ini sudah terjadi beberapa hari ini. Aku berbisik lagi kepadanya, karena aku  masih penasaran dengan keadaannya,

"Ayah... pegang tanganku dong, Yah..."

Sebenarnya, aku tidak berharap mendapatkan balasan apapun. Namun, secara tiba-tiba, ia menggeser telapak tangannya dan menggenggam erat telapak tanganku. Aku terhenyak dan terharu, tak kuasa menitikkan air mata.

Sabtu siang itu, pada tanggal 5 Agustus 2023, aku tetap menemaninya. Tak mungkin dan tak kuasa aku meninggalkannya seorang diri. Aku bawa kembali pekerjaanku, untuk dikerjakan di kamarnya. Seharusnya pada jam 2 siang ini, waktunya ia makan. Namun, ia masih tampak tertidur dan aku tak tega untuk membangunnya. Menjelang pukul setengah empat sore, ia terbangun. Aku menawarinya untuk makan, 

"Makan sekarang ya, Yah... sebentar ya aku buatkan dulu buburnya."

Tak banyak bubur gandum yang masuk ke mulutnya. Sebagian tidak ditelannya, ia tinggalkan saja di ujung lidah. Selanjutnya, aku bantu ia untuk minum. Lalu ia mengangkat tangannya perlahan, bertanda cukup baginya.

"Sebentar lagi minum lagi ya, Yah... Ayah harus banyak minum."

Ia tak merespon, tatapannya kembali hanya tertuju pada satu arah.

Aku kembali pada pekerjaanku untuk sejenak. Dan tak lebih dari waktu 5 menit, aku kembali menatapnya agar ia mau minum. Namun, seketika itu aku dikejutkan bahwa tak ada desahan nafas darinya, gerak tubuhnya yang naik turun tanda masih bernafas, tak ada pula. Aku segera ambil gawaiku, aku dekatkan dengan lubang hidungnya. Tak ada uap yang menempel. Aku merasakan dingin dan kaku di sekujur tubuhku. Aku tak dapat berkutik.

Waktu berlalu saja, seketika warga berdatangan untuk menolong kami. Tak ada daya bagiku, aku hanya duduk bersimpuh di dekatnya. Hanya kata maaf, maaf dan maaf serta terima kasih yang dapat aku bisikkan. Tak ada tetesan air mata yang bisa aku keluarkan, karena aku melihat wajahnya yang tenang. Inilah jawaban dari kesedihan hatiku yang datang tiba-tiba beberapa waktu yang lalu.

Setelah kepergiannya, rumah kami terasa semakin hampa. Baru kami sadari, walaupun pada hari-hari terakhir hidupnya, tak banyak kata yang ia ucapkan, namun kehadirannya tetap dapat menghidupkan suasana. Kini, bukan hanya rumah kami yang terasa hampa, namun ada satu ruang kosong di hati kami.

Lelaki tua itu tak memiliki harta yang berlimpah, tak ada harta duniawi yang ia tinggalkan. Ia hanya memiliki kebaikan, yang menjadi kenangan manis bagi orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Ada salah satu ucapannya yang paling aku ingat,

"Berbuat baiklah banyak-banyak karena itu yang akan membuat kita masuk surga."

Aku merindukan lelaki tua itu. Tak ada lagi yang bisa aku ajak diskusi. Tak ada lagi yang bisa ajak aku berdebat. Tak ada lagi sentuhan 'tangan dingin' yang menciptakan hidangan sedap di rumah kami dan mempercantik para tanaman.

Aku merindukan lelaki tua itu saat kami berkeliling kota sambil berjalan kaki.

---------------------------------------Cerita ini berdasarkan kisah nyata dari seorang Caregiver. Bagi kompasianer yang pernah menjadi Caregiver atau sedang menjadi Caregiver jika berkenan untuk menceritakan sedikit pengalamannya menjadi Caregiver agar bisa menjadi inspirasi dan pengetahuan bagi yang lainnya juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun