Ia hanya terdiam dan kemudian menggelengkan kepalanya.
Aku tahu Ayahku menginginkan sesuatu atau ada yang ingin disampaikan. Aku tahu ia telah jenuh dengan semuanya. Aku tahu ia tidak mau lagi merepotkan aku hingga ia memilih untuk diam saja dan memendam keinginannya. Dan, aku baru mengerti, bahwa sesulit ini untuk merawat ODD dengan tingkat lanjut.
Hingga suatu waktu, nafsu makannya semakin berkurang. Apapun yang menjadi makanan favoritnya, aku sajikan, namun tak ada sedikitpun selera darinya. Hal tersebut menjadi tugas baru bagiku, karena aku tak mau sedikitpun terjadi hal yang buruk padanya. Dan akhirnya aku menemukan jawaban untuk memberikan bubur gandum padanya. Usaha tersebut membuahkan hasil. Ia mau memakannya, walaupun baru sedikit demi sedikit. Namun tak apa, setidaknya tidak akan membuatnya lemas.
Akan tetapi di sisi lain, sejak nafsu makannya berkurang, ia tak mau lagi mengkonsumsi obat, dan lebih memilih untuk diam di kamar dan berbaring. Selain itu, ketika aku membersihkan dan memandikannya, warna kotorannya sudah tidak seperti warna kotoran yang normal. Dari hal tersebut, secara tiba-tiba ada sayatan saya dalam diriku. Tak dipungkiri aku memiliki pikiran yang buruk ketika itu. Namun, aku menepisnya. Alangkah bijaknya apabila aku tulis dalam pikiranku bahwa masalah tersebut wajar saja bagi orang yang mengkonsumsi obat-obatan.
Karena kekhawatiranku, aku semakin sering menemaninya. Melakukan pekerjaanku di kamarnya, dan apabila aku meninggalkannya untuk sesaat, aku memutar musik dari gawaiku. Memutar musik dimaksudkan agar ia tidak merasa kesepian apabila kami tinggal sesaat.
Suatu malam, ketika aku menemaninya, tiba-tiba aku diliputi kesedihan yang sangat mendalam. Awalnya aku tak paham dengan rasa sedih yang secara tiba-tiba ini, apakah ini karena keadaan Ayahku yang kesadarannya semakin menurun atau karena hal yang lain? Saat itu juga suara hatiku berkata agar berdoa saja dan Tuhan akan menjawab semuanya. Dan semalaman itu aku terus menemaninya. Aku banyak berbicara kepadanya dengan langsung berbisik di telinganya,Â
"Ayah...ayah sudah capek? Ayah mau istirahat? Istirahatlah, Yah... Tak usah pikirkan kami. Tak usah khawatirkan kami, kami tidak apa-apa. Kami ada Tuhan yang selalu menjaga kami."
Aku usap dengan lembut kepalanya dan kecup keningnya.
Ia tak membalas apapun. Tatapan matanya hanya tertuju pada satu arah, dan ini sudah terjadi beberapa hari ini. Aku berbisik lagi kepadanya, karena aku  masih penasaran dengan keadaannya,
"Ayah... pegang tanganku dong, Yah..."
Sebenarnya, aku tidak berharap mendapatkan balasan apapun. Namun, secara tiba-tiba, ia menggeser telapak tangannya dan menggenggam erat telapak tanganku. Aku terhenyak dan terharu, tak kuasa menitikkan air mata.