Tatapan matanya langsung tertuju padaku yang berada di sampingnya, dan aku paham maksudnya yaitu ia ingin tahu siapakah yang barusan menyapanya. Dan aku menjelaskan secara singkat siapa mereka. Terkadang ia mengangguk membalas jawabanku. Bisa dikatakan ia masih ingat dengan orang tersebut. Namun terkadang, ia hanya menatap kosong ke arahku cukup lama. Dan bisa dikatakan bahwa ia sedang berpikir keras siapa orang yang menyapanya tadi karena sebagian besar ia sudah tak ingat. Apabila terjadi hal tersebut, aku hanya bisa berkata,
"Ya sudah kalau gak ingat, gak apa-apa. Jangan dipaksain." Sambil mengusap pipinya agar ia berhenti untuk mencoba mengingat. Setelah itu, ia hanya mengangguk lemah.
Sejak Juli 2022 itu, dapur kami pun terasa hampa. Tak ada lagi bertebaran bahan-bahan dapur, bumbu-bumbu masakan dimana-mana. Sejak saat itu, kami hanya memasak seadanya. Masakan yang sederhana. Masakan yang tidak kaya akan rempah-rempah, bumbu-bumbu dan bahan-bahan masakan lainnya yang akan membuat dapur kami hidup karena aroma mereka yang harum dan menyeruak karena kolaborasi yang sempurna dari kekuatan aroma mereka. Dapur kami hampa tanpa kehadiran Sang Raja Koki.
Terasa perih bagiku melihatnya seperti ini. Bagaimanakah dengan dirinya? Manusia yang paling aktif di usianya yang sudah di atas 80 tahun. Saat ini, semua sudah tak mungkin. Aku tahu semua ini terasa menyakitkan baginya. Ia tak dapat lagi ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan masakan beserta bumbunya. Ia tak dapat lagi menyiangi tanaman-tanaman kesayangannya dan menyiraminya hampir setiap hari di musim panas. Ia tak dapat lagi berjalan-jalan keliling kota Bandung sekedar membeli roti di Jalan Gempol atau peralatan elektronik di Jalan ABC atau berjalan-jalan di Braga dan menceritakan kenangan-kenangan manis Braga pada tahun 60-an dan seterusnya. Ia tak dapat lagi menjemput aku yang suka nonton band di GOR Saparua atau gedung-gedung kampus. Atau menjemputku yang pulang malam karena latihan teater.Â
Ia yang dulu sering protes dengan berbagai hal yang tak ia sukai, namun dengan keadaannya saat ini tak ada kata-kata protes atau amarah yang keluar baik dari mulutnya maupun mimik wajahnya. Dalam rentang waktu yang singkat, ia dapat menerima keadaannya saat ini. Hanya kata-kata maaf dan terima kasih yang sering diucapkannya.
"Maaf..."akan selalu ia ucapkan apabila ada kerabat yang datang ke rumah kami untuk menjenguknya.
"Terima kasih... terima kasih... terima kasih..."akan selalu ia katakan apabila aku sudah selesai memandikannya dan mengenakan pakaian kepadanya. Setelah itu, ia akan berterima kasih ketika aku memberinya makan dan menyuapinya. Tak jarang pula, air mata menetes dari ujung matanya.Â
Lelaki tua itu yang sangat aktif pada masanya sudah tak memiliki daya lagi. Ia yang dulu menjagaku, kini saatnya aku yang menjaganya dengan segala upayaku. Lelaki tua itu adalah teman diskusi dan teman debatku yang menggantikan Mama setelah kami ditinggalkannya 16 tahun yang lalu. Lelaki tua itu adalah Ayahku.
Tanpa kami sadari, sejak ia menjadi ODD, kami juga telah 'kehilangan' dirinya walau tak utuh. Tak ada lagi hirup pikuk yang dibawanya pada saat kami bersama. Tak ada lagi kehangatan yang menyatukan. Terkadang ia merasa terasing dengan keadaannya saat ini. Ia merasa berbeda, tak seperti dulu lagi.
Sedangkan aku tak dapat berbuat banyak. Aku hanya bisa menanyakan,
"Ayah mau apa? Ngomong ya kalau mau sesuatu?"