Sepanjang malam itu, Anthea bekerja tanpa henti, memotong kulit, merapikan pinggiran, menjahit, dan menghaluskan setiap sudut sepatu dengan penuh ketelitian. Jayden duduk di pojokan, kadang memejamkan mata, kadang menatap kagum pada keahlian tangan Anthea yang seperti tak kenal lelah. Anthea hanya tersenyum kecil, membiarkan Jayden larut dalam pengamatan itu. Setiap kali Jayden tampak khawatir bahwa Anthea bekerja terlalu keras, Anthea hanya berkata, "Sepasang sepatu yang baik pantas diperjuangkan."
Di tengah malam, akhirnya sepatu itu selesai. Sepasang sepatu hitam mengilap dengan desain sederhana namun elegan, yang bagi Anthea adalah karya terbaiknya malam itu. Jayden tak bisa menyembunyikan rasa haru saat ia mencoba sepatu itu dan merasakan kenyamanan yang menyelimuti kakinya.
“Kak Anthea, terima kasih banyak… Saya tidak pernah pakai sepatu sebaik ini sebelumnya,” ucap Jayden dengan suara bergetar.
Anthea hanya tersenyum. “Semoga sepatu ini membawa keberuntungan buat Mas Jayden.”
Esok harinya, Jayden datang kembali ke toko Anthea, membawa sebuah kabar gembira. Ia diterima di perusahaan impiannya dan merasa bahwa sepatu itulah yang memberikan kepercayaan diri yang ia butuhkan. Di saat bersamaan, ia menawarkan kerja sama kepada Anthea bahwa ia akan membawa lebih banyak pelanggan ke toko ini.
Tak lama kemudian, bisnis Anthea berkembang pesat. Toko kecilnya di Sabang semakin ramai dikunjungi orang-orang yang menginginkan sepatu khusus buatan tangan Anthea. Nama Anthea mulai dikenal sebagai pembuat sepatu terbaik di Surabaya. Pelanggannya tak hanya dari kalangan pejalan kaki biasa, tetapi juga dari pejabat, selebritas, hingga orang-orang yang mencari kualitas dan cerita dalam setiap pasang sepatu yang mereka pakai.
Suatu sore, beberapa bulan setelah kedatangan Jayden yang pertama, seorang wanita paruh baya datang ke toko Anthea. Raut wajahnya lembut, namun menyimpan kepedihan yang tampak samar.
“Kak Anthea, saya butuh sepatu untuk acara pemakaman putra saya,” katanya, suaranya lirih namun penuh luka. Anthea terdiam sejenak. Kata-kata wanita itu menghantam hatinya. Sepasang sepatu yang ia buat biasanya membawa kebahagiaan, cerita baru, dan harapan. Namun kali ini, ia akan membuat sepatu untuk perpisahan terakhir.
Dengan penuh hormat, Anthea mendengarkan cerita wanita itu tentang anaknya yang baru saja pergi, seorang pemuda baik hati yang begitu dicintai banyak orang. Wanita itu ingin mengenang putranya melalui sepatu yang istimewa, sepatu yang akan ia gunakan untuk mengantarnya di hari perpisahan.
Sepanjang malam, Anthea bekerja dengan perasaan yang campur aduk. Ia membuat sepatu berwarna abu-abu lembut, penuh dengan detail yang terinspirasi dari cerita wanita itu. Ketika sepatu itu selesai, ia merasa lega namun sekaligus terbebani, karena sepasang sepatu ini adalah perwujudan dari rasa kehilangan yang begitu mendalam.
Wanita itu datang lagi keesokan harinya, menerima sepatu dengan air mata yang mengalir pelan. “Terima kasih, Kak Anthea. Sepatu ini… begitu indah,” katanya, menggenggam tangan Anthea erat-erat. Anthea mengangguk, tak sanggup berkata-kata.