***
Plakkk!!!
Tamparan keras itu membuat Daffa terperangah. Wajah laki-laki setengah baya di hadapannya itu memerah padam. Begitu buas seolah siap menerkam. Namun Daffa tak mampu bereaksi apapun, selain terdiam. Ayah mertuanya bagai ayah kandungnya sendiri. Maka apapun yang dilakukan Papi, ia rela menerimanya dengan lapang dada.
"Papi! Cukup, Pi...." Mami segera menahan lengan Papi. Sambil menangis sesunggukan, wanita itu berusaha memujuk suaminya untuk duduk kembali. "Ingat hipertensimu, Pi...."
Pujukan Mami terlihat sedikit membuahkan hasil. Laki-laki itu berusaha menahan emosinya yang meledak-ledak sambil menghempaskan tubuhnya di bangku rumah sakit. Mami pun menyusutkan air matanya dengan sehelai tisu.
"Rinjani koma....," lanjut Papi dengan suara lebih tenang. "Kau tahu kan betapa berharganya dia buat kami? Gimana mungkin seorang penggemar fanatik Robby bisa dengan leluasa menikam anakku? Seharusnya kau tak membiarkan ini terjadi, Daffa! Gosip affair itu dan insiden penikaman kemarin menunjukkan bahwa kau tak mampu menjaga Rinjani dengan baik. Di mana tanggungjawabmu sebagai seorang suami?"
"Maafkan saya, Pi... Ini memang kelalaian saya menjaga Rinjani..." Daffa hanya mampu tertunduk pilu. Namun ia lebih tak menyangka lagi ketika kalimat Papi selanjutnya justru kian menghujam jantungnya, detik itu juga.
"Papi sudah dengar tentang keluhan Rinjani pada Mami beberapa hari yang lalu. Kemungkinan besar setelah Rinjani tersadar dari komanya nanti, kami akan membawanya ke Canada. Pengacaraku akan segera mengurusi perceraian kalian!!!"
Bagai tersambar petir, sontak tubuh Daffa bak kehilangan daya. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap ke manik mata ayah mertuanya. Seolah mencari kepastian apakah ia tak salah mendengar.
"Papi!! Apa-apaan ini?" seru Mami tak kalah kaget.
Saat itu juga, Daffa merasa telah berada di ujung asa. Namun tiba-tiba saja, sebuah kalimat terlontar begitu saja dari bibirnya yang gemetar menahan huru-hara di jiwa.