Suasana kerumunan itu semakin riuh saja. Namun tak ada satupun orang yang berani mendekati, mereka hanya berdiri dan menonton di sekitar TKP. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara sirine ambulans meraung-raung menembus kelabunya langit sore hari.
**
Laki-laki itu menyandarkan tubuh jangkungnya pada dinding rumah sakit yang dingin. Pikirannya sedang tak menentu. Firasat buruknya benar-benar menjadi kenyataan tadi! Saat ini ia masih terus menanti keterangan dokter mengenai kondisi istrinya. Tak terpikirkan sama sekali untuk menyalin pakaiannya yang penuh noda darah.
Sesaat kemudian, tampak seorang gadis mendekatinya sambil mengangsurkan segelas kopi hangat.
"Minum dulu, Mas Daffa..."
"Makasi ya, Diz....," ucap laki-laki itu tersenyum tulus. Sejenak Daffa menghirup kopi itu, coba menikmati hangat yang mengalir perlahan menyentuh biru hatinya.
Diza mengangguk pelan. Ia merasa bodoh. Sebagai sahabat Rinjani ia merasa tak mampu berbuat sesuatu yang berguna saat itu. Dipandanginya sekilas laki-laki di sampingnya. Sebenarnya ia sangat iba melihat suami sahabatnya itu. Daffa tampak lusuh. Wajah tampannya tak bersinar seperti biasa. Menyiratkan kedukaan yang dalam meski tak terucap di bibirnya. Namun Diza sendiri tak mengerti harus melakukan apalagi selain ikut menunggu dengan berjuta resah.
"Mas belum makan malam kan? Mas Daffa kelihatan lemas banget.... Apalagi tadi udah ngedonor darah untuk Rinjani.... Aku belikan makanan sebentar ya...?" tawar Diza sambil bangkit dari duduknya.
Daffa menggeleng pelan. "Makasiii, Diz... Tapi kebetulan aku belum lapar..."
"Hmmm... baiklah... kalau gitu aku bawakan baju salin aja ya? Aku mau sekalian pulang ke rumah sebentar. Oh ya, tante dan om Rizal kira-kira kapan tibanya ya Mas?"
"Mungkin besok pagi, Diz. Penerbangan dari Vancouver tertunda beberapa jam karena cuaca buruk," sahut Daffa pelan. Wajah laki-laki itu tampak semakin muram. Entah mengapa, selintas saja Diza bisa langsung merasakan, sesuatu yang lebih berat akan segera terjadi!