Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suatu Ketika di Tepi Danau Maninjau...

20 April 2010   06:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

*

Suara jam kuno di ruang keluarga sudah berdenting dua kali. Sudah memasuki dini hari. Namun mataku belum mau juga terpejam, padahal tubuhku lelah sekali karena perjalanan jauh tadi. Bolak-balik mengganti posisi tidur, menatap langit-langit kamar nenek yang masih bergaya rumah kampung 'tempo doeloe', memperhatikan raut wajah damai nenek ketika sedang tertidur pulas di sampingku,  membenamkan muka dalam selimut tebal - tak juga mampu membuat pikiranku bisa berhenti melayang-layang... hingga ke Jakarta..... ke hari kemarin, hari di mana aku memutuskan untuk pergi meninggalkan mama sendiri, paling tidak untuk sementara waktu ini.

Aku berselisih dengan mama. Sebelum kejadian ini, sebenarnya aku sudah sering tak sepaham dengannya. Padahal, di rumah itu kami hanya tinggal berdua, karena aku seorang anak tunggal dan papaku  sudah bercerai dengan mama 10 tahun lalu. Setelah itu papa pun melepaskan tanggungjawabnya untuk menafkahiku sejak ia menikah lagi dengan selingkuhannya - bekas sekretarisnya. Kami benar-benar ditinggalkan!

Sebagai single parent, bertahun-tahun mama berjuang membesarkan aku seorang diri. Mama meniti kariernya di sebuah perusahaan asing yang cukup bergengsi. Aku bergelimangan harta dan fasilitas, namun aku sering merasa kesepian. Untungnya ada 'si mbok' yang setia menemaniku dan mendengarkan curhatku. Namun dua tahun yang lalu si mbok sudah meninggal dunia, dan aku kembali kesepian. Hingga setahun yang lalu aku mulai berpacaran dengan Pramudya, seorang  pegawai bank swasta. Ia tampak menyayangiku dengan tulus. Tapi entah mengapa, mama kelihatannya kurang menyukai Pram dan aku sama sekali tidak tahu apa alasannya.

Sejak mama-papa bercerai, komunikasi kami memang tak pernah lancar dan terbuka lagi seperti dulu. Mama sering kali berangkat pagi-pagi dan pulang ketika aku sudah terlelap. Meski begitu, aku berusaha menjadi anak yang baik bagi mama melalui prestasi-prestasiku di sekolah dan aktif di kegiatan ekstra kurikuler. Namun, berkali-kali pula aku kecewa, karena ketika aku maju ke panggung untuk menerima hadiah, mama tak pernah hadir untuk menyaksikannya. Aku berusaha mengerti keterbatasan waktu mama untukku, tapi aku adalah anak biasa yang punya hati dan jiwa, yang juga butuh kasih sayang dan perhatian darinya. Apalagi dua hari yang lalu proposal judul skripsiku ditolak kembali oleh dosen pembimbingku untuk ketiga kalinya. Aku hampir putus asa dan saat ini aku benar-benar butuh dukungan, terutama dari mama - namun akhirnya lagi-lagi aku kecewa. Egoku sebagai manusia membuatku ingin memberontak dari semua ini! Aku ingin menentukan jalanku sendiri! Dan yang pasti aku ingin tetap melanjutkan hubunganku ke tahap yang lebih serius dengan Pram! Namun niatku tercium oleh mama.  Maka meledaklah pertengkaran yang selama ini terpendam di antara kami berdua.

"Mama tetap tidak setuju dengan keputusanmu! Kamu belum mengerti tentang hidup... tentang lelaki itu... tentang.... "

"Tentang apalagi, Ma?" selaku dengan tatapan nanar. "Aku mungkin gak ngerti apa-apa... Tapi apa mama ngerti tentang aku? Apa mama tahu warna favoritku dan pelajaran kesukaanku...? Apa mama pernah tahu dulu aku sering menangis diam-diam ketika teman-teman mengejekku anak pembantu? Apa mama tahu semua itu?"

"Zara! Mama bekerja keras selama ini hanya untuk kamu.... agar kamu gak kekurangan suatu apapun....!" seru mama tegas. Ada rona tak percaya di wajah mama ketika mendengar ucapanku yang tajam.

"Ya, mama memenuhi semua materi buatku, tapi apa mama tahu batinku? Batinku kosong! Aku tak punya siapa-siapa tempat aku berbagi, Ma. Setiap aku ingin bercerita pada mama, mama tak pernah ada untukku..... Dan bila saat ini Pram yang mengisi kekosongan itu, kenapa mama harus menentangnya? Apa yang salah dari semua ini? Apa salah Pram, Ma?"

Plak!

Tiba-tiba semua hening. Perih. Ada yang terasa menusuk batinku yang kosong saat itu. Aku kecewa, sedih..... bukan karena tamparan mama, tapi karena aku merasa diriku adalah orang yang paling malang di dunia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun