Pak Gunadi menambahkan," Kalau Bu Lala berkenan silakan mampir ke warung saya, mungkin kita bisa ngobrol lebih lama".
"Oh, warungnya masih ada ya, Pak? saya pikir setelah kecelakaan itu sudah tidak beroperasi lagi", pikir Bu Lala.
"Masih ada, Bu. Cuman pindah lokasi tidak disini lagi, tapi pindah di sebelah Rumah Sakit Daerah", jawab Pak Gunadi.
"Baik. Karena Bapak yang tahu tempatnya, mungkin Bapak bisa bawa mobil saya sekalian", Bu Lala menawarkan.
"Maaf, Ibu. Saya tidak bisa nyetir mobil. Â Ibu saja yang setir, saya ikut sambil bantu tunjukkan arah arahnya", jawab Pak Gunadi.
"Baiklah ...." Bu Lala setuju.
Dari pembicaraan awal itu, Pak Gunadi dan Bu Lala menjadi akrab. Bu Lala memutuskan untuk tinggal selama beberapa hari di hotel sekitar lokasi kecelakaan sambil mendengar cerita Pak Gunadi tentang peristiwa kecelakaan itu.
"Mendiang suami saya, namanya Pak Hari, juga meninggal disini, Pak. Perampokan dan pembunuhan kata polisi. Sebulan sebelum anak-anak saya meninggal. Sampai sekarang pelakunya belum tertangkap", kata Bu Lala suatu hari ke Pak Gunadi.
"O begitu ya, Bu .... semoga Bu Lala tetap sabar dan selalu menjadi 'Rani' yang tegar", sahut Pak Gunadi.
'Rani'? Bu Lala terkejut Pak Gunadi menyebut nama itu. Memang nama panjang Bu Lala adalah Lala Syaharani Indrawati. Tetapi yang memanggil 'Rani' hanya mendiang suaminya. Orang biasa memanggilnya Lala atau sebagian kecil keluarganya memanggilnya Wati. Tidak pernah ada yang memanggilnya Rani kecuali suaminya.
Pada suatu malam gerimis dan angin kencang, di lokasi kecelakaan minibus yang menewaskan Sandi dan Aswin, melintas sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Hantu Sandi merasa ini adalah sasaran empuk untuk mencelakakan mobil berkecepatan tinggi itu.Â