"Mana pacarmu, Juan?"
"Pacar? Pacarku, kan, kamu, Rina. Kamu mau, kan, jadi pacarku?"
Mendadak napasku tersengal. Kulihat wajahnya yang dipenuhi kumis dan jenggot tipis. Ia telah menjelma seorang lelaki dewasa. Sama seperti dulu, kali ini pula ia tak main-main.
"Mau-maunya sama perempuan berpenyakitan!" ucapku mengakhiri percakapan. Tubuhku limbung setelah itu. Ambruk. Tau-tau, aku telah terbaring di rumah sakit.
Bu Mawar, Kepala Sekolah, dan Juan ada di sana, mentapku penuh cemas. Perkataan Juan masih menggema di kepalaku. "Kamu mau jadi, pacarku?" Aku mengingat hari-hari yang lalu. Betapa membanggakan bisa mengantarkan anak didikku menjadi orang sukses. Dengan gaya mengajarku yang terlalu membebaskan murid, barangkali aku gagal menerapkan sopan santun. Namun, itu dulu, ketika kudengar kata cinta dari Juan, kutahu itu hanya cinta monyet. Dan sekarang, setelah sepuluh tahun berlalu, waktu yang cukup untuk mendewasakan seseorang, Juan mengucapkannya lagi tanpa keraguan.
Aku tak suka aroma rumah sakit, hingga kulupakan jadwal rutin untuk periksa keadaanku. Aku lebih memilih menghadiri undangan pertunjukan teater. Ketiga orang itu masih menemaniku hingga matahari melepuh jadi warna kuning tua. Beberapa waktu kemudian, orang tuaku datang, juga kerabat-kerabat dari jauh beriringan dengan suara sirine mobil ambulan. Suara tangis melangit tepat ketika malam menyelimuti gedung-gedung tinggi. Aku melihat kesedihan yang mendalam di ruangan itu.[]
Tanggamus, 30 Oktober 2021
Ig: firmanfadilah_00
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI