"Bu Rina." Â
Air muka Juan tenang. Aku yang menatapnya dibalut keheranan. Tak biasanya ia seserius ini.
"Bu Rina sudah punya pacar?"
Sebelum lulus kuliah, aku sudah mulai mengajar. Usiaku tak terpaut jauh dengan anak-anak didikanku. Tubuhku kecil. Suaraku cempreng. Hal itu membuatku tampak seperti kawan mereka, bukan guru dan murid. Mereka kerap becanda. Kadang kelewatan, tetapi aku tak keberatan jika hal itu bisa membuatku lebih dekat dengan mereka.
"Tentu sudah! Aku 'kan cantik." Kuiringi tawa, tetapi Juan tetap tenang.
Beberapa minggu yang lalu, aku dilamar seorang pengusaha dari kota. Ia anak rekan Ayahku. Pernikahan akan dilaksanakan tahun ini. Namun, aku meminta untuk ditunda karena aku belum siap untuk meninggalkan sekolah dan klub teater yang kubentuk. Aku ingin menyaksikan teater anak-anak didikanku yang pertama kalinya menayangkan kisah wayang. Biar genap lima tahun aku di sini, kutunda pernikahan hingga tahun depan.
"Tapi, aku yang lebih dulu mencintai Ibu," ucapnya dengan nada putus asa.
Matahari makin tinggi. Ruangan mendadak bisu. Telingaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan ganjil. Gaya becandanya membuat dadaku berdesir. Sejurus kemudian kusadari, Juan tidak sedang bergurau.
"Juan tampan." Aku duduk di sampingnya, mematut ke kedua matanya yang berbinar, bening seperti kaca. "Banyak gadis di luar sana. Tapi, kamu harus belajar dulu, ya. Jangan pacar-pacaran dulu. Jalanmu masih panjang." Juan menunduk saja.
Ah, dasar bocah! rutukku dalam hati ketika Juan mengangkat kaki dari ruanganku untuk latihan teater.
***