Aku kembali lagi ke gedung aula ini setelah sepuluh tahun hiatus. Sudah banyak yang berubah. Gedung ini melebar dan lebih  nampak seperti gedung bioskop dengan kursi berundak. Lampu sorot menggantung di langit-langit. Tempat ini penuh kenangan, tentang klub teater dan bocah konyol itu.
Setelah pertunjukan teater itu, murid-murid kelas tiga berpisah dengan kami untuk mencari takdir masing-masing, termasuk Juan yang kudengar merantau ke kota mengikuti jejak pamannya. Juga aku yang akhirnya menikah setelah penundaan demi klub teater di sekolah ini. Namun, pernikahan itu tak berusia lama. Kami harus berpisah sebab mantan suamiku tak cukup sabar mengurus perempuan yang menderita leukemia. Tubuhku habis, hanya menyisakan kerangka kering yang rapuh.
Kepala sekolah mengundangku kemari, di acara perpisahan peserta didik. Ia juga menawarkanku pekerjaan lagi sebagai pengajar seni seperti dulu. Akan tetapi, aku sudah tak mampu lagi. Aku bisa mati sewaktu-waktu. Kudengar keluhan kepala sekolah tentang kesibukannya mencari penggantiku setelah aku resign. "Jujur, tidak ada yang sehebat kamu."
Klub teater yang kubentuk, sering hilir mudik  ke luar negeri. Prestasinya membanggakan. Beruntung, seorang lelaki fresh graduate hadir lima tahun setelah klub teater itu genap berusia sepuluh tahun. Ia kembali meneruskan perjuanganku.
Duduk di kursi ini terasa seperti dj vu. Riuh tepuk tangan bergemuruh. Kupandangi lama gedung itu, kursi-kursi, dan panggung. Rasanya baru kemarin aku bergurau bersama anak-anak teater. Rambutku kini telah memutih. Jalanku lamban meski aku baru berkepala empat.
Gedung teater itu telah kosong, tetapi perasaan untuk beranjak belum mengusikku.
"Bu Rina." Suara parau mengejutkanku. Aku menoleh dan kudapati dirinya seperti sepuluh tahun yang lalu dengan segenggam bunga di tangan. "Apa kabar?"
Kudengar dari Bu Mawar, Juanlah yang menjadi pengajar seni setelahku.
Juan menyodorkan bunga kepadaku. "Aku mendalami teater berkat kau," ucapnya tegas. Suaranya berat. Aku tertegun.
Kuceritakan semuanya setelah aku tak mengajar di sekolah ini, termasuk tentang pernikahanku yang gagal.
"Jika kau terima cintaku dulu, pasti kau tak akan semenderita ini," ledeknya. Hari ini ia membuatku tertawa.