Api menjilat-jilat, berkobar seperti sedang memuntahkan amarah yang menjadi-jadi. Percikan-percikan umpama cambuk api yang menghanguskan apa pun yang disentuhnya. Asap membubung, menggeliat, membentuk lukisan abstrak di langit malam. Api itu besar, makin besar, dan rumah yang dilahapnya seketika menjadi puing-puing arang.
Jeritan meminta tolong hanya memantul di tubuh api. Siapa yang akan mendengar jeritan tengah malam, saat orang-orang nyenyak ditimang mimpi mereka? Bau hangus menguar. Mereka, dua orang perempuan, termakan panas api. Namun, seorang perempuan dewasa seketika melempar seonggok tubuh anak perempuan sebelum terlumat api. Tak ada waktu untuk melarikan diri baginya sebab sejurus kemudian, atap yang rapuh menimpa tubuh ringkihnya. Anak perempuan itu tak sadarkan diri. Rumah telah jadi abu bersama wanita itu. Menjelang subuh, orang-orang ramai berkerumun. "Kebakaran! Kebakaran!" Terlambat.
***
Anak perempuan itu bernama Bella. Ia sering mematut diri di depan cermin, meraba wajahnya yang tak cantik seperti dulu. Dadanya bergemuruh setiap kali mengingat kebakaran dua tahun lalu yang merenggut ibu dan juga separuh tubuhnya. Gemuruh di dadanya berubah menjadi lautan garam di mata, kemudian meluap menjadi rintik gerimis di pipinya. "Sial!" Ia menangis.
Mendadak ia tersenyum ketika mengingat kata-kata ibunya yang memuji kecantikannya. "Matamu bulat sempurna. Pipimu lembut bagai awan. Rambutmu semegah mahkota. Kakimu jenjang. Kau gadis ibu yang rupawan, Bella." "Ya, aku cantik." Bella memainkan rambutnya yang hitam, sehitam hatinya. Ia memainkan alis dan bibirnya. Lalu, ia menangis lagi. "Tapi itu dulu, Bu. Semuanya tidak akan pernah sama lagi!"Â
Semuanya berubah. Dulu ia hidup dengan ibunya, sekarang ia tinggal dengan neneknya. Dulu ia adalah anak yang cantik, kini ia adalah gadis yang buruk rupa. Dulu banyak yang ingin berkawan dengannya, lambat laun banyak yang menjauh dan mencaci kehadirannya. Dulu ia sangat ceria, tetapi kini ia banyak mengurung diri. Dulu banyak anak lelaki yang mengiriminya surat cinta, tetapi sekarang, semuanya minggat.Â
Separuh wajahnya terbakar. Ke mana pun ia pergi, selembar kain selalu menutupi bagian itu. Mata bulatnya yang sebelah kiri jadi sipit dan seolah kelopaknya menyatu. Daun telinga sebelah kiri seolah meleleh dan hanya tersisa separuh. Ia juga harus menggunakan tongkat ketika berjalan sebab kakinya pincang.Â
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari penampilannya kini. Bella seolah menjadi orang asing di dunianya sendiri. Ia membenci dirinya. Ia menyesalkan kesempatan hidup yang dimilikinya. Kenapa dulu ia tak mati saja? Kenapa ibunya membakar diri demi menyelamatkan nyawa untuk hidup yang makin sengsara? Kenapa dan kenapa.
Karena tubuh cacat itu, Bella sering menjadi bahan perundungan. Telapak kaki kirinya tegak ke atas. Jari-jarinya menyatu yang membuatnya berjalan dengan tumit. Jalannya pincang. Neneknya yang merasa iba tak pernah memaksa Bella untuk pergi ke sekolah. Siapa yang tega melihat anak gadis yang harus menanggung penderitaan teramat pedih itu? Namun, Bella bersikeras untuk tetap sekolah demi mengejar angan-angannya menjadi seorang penulis.
Pernah suatu ketika, ia berjalan menuju Kelas Bahasa yang terletak paling ujung. Tongkat kayu memapahnya berjalan. Lalu, seorang perempuan dengan sengaja menyenggol lengan Bella yang menyebabkan hilang keseimbangan. Bella limbung, tongkatnya jatuh, ia tersungkur. Suara gedebab nyaring terbetik akibat dadanya beradu dengan lantai. Dadanya sangat sesak, panas menjalar hingga ke mata yang memerah. Namun, ia tahan sebisanya sebab siapa yang peduli? Orang-orang tidak akan membantu. Malahan, mereka menatap dengan jijik.Â
Bella bangkit perlahan dengan mata sebak dan siku yang berdarah. Ia menuju toilet dan meluapkan tangisnya di sana. Ia usap darah di pelipisnya. "Mengapa hidupmu sekacau ini, Bella?" rutuknya. Ia terus mengusap darah itu sambil menangis.Â