Suatu pagi, kami digiring para serdadu dan dipecah menjadi beberapa kelompok untuk ditempatkan pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan komando. Aku dikirim kepada keluarga yang rumahnya tak jauh dari Kota Bonn dan tinggal bersama mereka dalam kurun waktu tertentu demi menormalisir kehidupanku dalam suasana kehidupan di Berlin Barat sebelum dinyatakan mampu hidup mandiri. Tidak mengherankan apabila orang yang pernah berdiam diri di tangsi itu bagaikan terpenjara. Dalam hati kecilnya mereka akan selalu bertanya: "kapan aku dapat hidup sebagai manusia yang layak?"
Seiring waktu, dunia pun beredar. Sejarah berlalu. Pagi berganti petang, siang bertukar malam. Berulang terus sejak langit terbentang. Memasuki abad 21, duka nestapa itu masih bergelayut, terlebih kalau melihat keadaan Kota Bonn kini betul-betul berubah total. Di sepanjang barisan kantor pusat kebudayaan ini berdirilah bangunan-bangunan mentereng, lalu lintas bersimpang siur lengkap dengan mobil-mobil saling berjejal entah ke mana, toko-toko kelas atas dengan lampu-lampu gebyar bergemerlap memamerkan aneka produk kebanggaanya serta ingar bingar yang mengelilinginya.
Gedung-gedung baru menjulang tinggi di mana-mana. Mesin-mesin pabrik modern mulai beroperasi dan nilai mata uang terus membumbung naik. Demikian aku, si mayat hidup tanpa status kewarganegaraan ikut terbawa arus kemajuan peradaban Berlin. Bangun ketika pagi, lalu bekerja memerah keringat atau memutar otak di siang hari untuk kemudian bersembunyi dalam gelap malam; tak ubahnya seperti permainan bidak catur. Dikeluarkan bila hendak dipermainkan kemudian disimpan kembali dalam kotak setelah permainan usai.
Telah lama aku bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam bisa mencintai Indonesia sepenuh hati lewat pohon pisang yang kutanam, berlangganan Kompas Digital setiap bulan, sesekali juga menulis sajak-sajak tentang Jakarta manakala aku sedang rindu. Menjelang pergantian musim, bendera merah putih di halamanku masih teguh berkibar tatkala salju mulai turun atau pohon maple merontokkan daun-daunnya. Hari demi hari aku pergi mengajar bahasa ibu ke beberapa kursus demi menaklukkan kejemuan, menyangkal kesangsian dan menyusun batu-batu ketabahan. Menjelang fajar, aku selalu memandang ke timur untuk mengenangnya, seolah-olah jarak antara aku dan Indonesia hanya sedekat ini. Sekarang segalanya terasa benar, aku masih orang Indonesia dan senantiasa demikian.
Meskipun lambang merah putih telah lama tanggal dari statusku, tapi tekad kuat untuk bertahan di atas negeri kelahiran Paman Goethe ini takkan kubiarkan pupus begitu saja. Sebagaimana kaum Eropa yang menyukai kedisipilnan dan tekun teratur, aku tetap giat mengerjakan dan belajar apa saja, mulai dari bekerja di pabrik sepatu, pelayan di sebuah bar klasik, mengikuti training Tech Industry, hingga mengajar Bahasa di beberapa tempat. Di antara tahun-tahun itu, kerinduan kepada tanah air acap kali membuat hatiku gentar. Sambil menyandang dosa aku hanya bersenjatakan doa-doa, mencari sendiri rumahku yang hilang dan hidup sebatas pengembaraan fana.
****
Pada malam pementasan konser Jakarta Concert Orchestra, gedung The Beethovenhalle dihadiri oleh para penonton yang akan menyaksikan penampilan perdana grup orkestra kondang asal Jakarta itu. Usai memoles rambut senecis mungkin dan memilih setelan baju terbaik, aku duduk persis menghadap panggung. Tidak ada yang kukenal di samping kanan-kiriku, hanya pria jangkung bermata biru dan seorang wanita muda berambut pirang saja. Jelaslah mereka bukan orang Indonesia.
Dibanding itu, aku lebih tertarik mengamati rupa para pemusik yang sedang bersiap di atas panggung. Rambut mereka semua hitam berkilauan dan sorot matanya terang mengeluarkan aura percaya diri. Pemusik wanita tampak ayu meneduhkan hati, sementara para pemusik lelaki terlihat berkharisma nan berwibawa. Pembawaan mereka santai serta memiliki senyum hangat yang hanya dimiliki orang-orang Indonesia. Akankah para pemusik itu menyadari bahwa pria tua di bangku ini juga lahir dari rahim pertiwi yang sama dengan mereka?
Walaupun warna bola mata kami senada dan berbicara dalam bahasa yang sama; Bahasa Indonesia, tetapi kami memiliki cita-cita yang berlainan, mempunyai lamunan yang berbeda-beda pula. Raja bijaksana mempunyai cita-cita memimpin negeri yang diidam-idamkannya, pengemis kolong jembatan mempunyai cita-cita miliki sertifikat rumahnya sendiri, seorang pemuda mapan mempunyai kriteria gadis impiannya untuk ia persunting sebagai istri. Semuanya itu tetap berlainan dan tak ada yang berhak mengaturnya sesuka hati. Jika memang demikian, mengapa aku tidak boleh bercita-cita untuk menyatu dengan tanah negeriku sendiri?
Suasana panggung mulai senyap pertanda pertunjukan akan segera dimulai. Lampu bergerak menyorot bayangan si konduktor. Di tengah-tengah panggung, Avip Priatna membungkuk sejenak ke hadapan penonton sebelum mulai mengayunkan stick emasnya. Iringan bunyi flute dan lirihnya gesekan senar biola mulai berpadu dengan suara merdu Daniel Christianto, sang penyanyi seriosa kenamaan tanah air. Untuk pertama kalinya, "Indonesia Pusaka" berkumandang di bawah langit Berlin.
Pandanganku buram saat menghayati simfoni agung gubahan komponis besar Ismail Marzuki. Ada desakan emosionil yang tak tahan lagi dibendung. Sebulir bening jatuh dari mataku yang makin menua. Sampai kapan aku terus membayangkan Indonesia di bawah langit Berlin? Bukan main pedihnya menggurat hati. Sungguh, ku ingin pulang.