Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ingin Pulang

12 Maret 2024   20:34 Diperbarui: 8 November 2024   10:02 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit kelabu hari ini tidak menghentikan niatku pergi menuju Pusat Seni dan Kebudayaan Kota Bonn. Menurut poster yang tertempel, akan digelar konser klasik oleh grup orkestra asal Indonesia, Jakarta Concert Orchestra, bertajuk "Indonesia Pusaka" di The Beethovenhalle. Pemesanan tiket hanya dilayani secara langsung di gedung pusat seni ini.  Administrasi pembelian mulai dibuka sejak hari Senin yang lalu dan ditutup pada hari Sabtu. Itu artinya, hari terakhir pembelian tiket adalah hari ini.

Bangunan kuno berperisai gerbang megah bersepuh emas itu masih tetap pekat suasana suramnya. Alkisah, dahulu tempat ini pernah menjadi penampungan orang-orang terbuang. Gedung tua yang telah beralih fungsi menjadi kantor pusat seni kebudayaan Kota Bonn ialah bekas barak pengungsian bagi orang-orang yang kebingungan mencari suaka pada tahun 1960-an. Masa suram itu telah lama usai, tetapi keringat kerap membasahi pelipis setiap kali aku berdiri di depan andang gerbang ini. Terlintas di benakku peristiwa tahun 1965 silam ketika tahun itu menjadi titimangsa dari Indonesia pra-1965 yang anti-kolonial menjadi bangsa yang jatuh dalam rezim militerisme.

****

Berkaca pada masa lalu, aku bersama rekan Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) lainnya diutus oleh bapak presiden untuk mendulang ilmu di Republik Ceko. Harapannya begitu studi selesai, kami dapat pulang ke tanah air dan berkontribusi membangun Indonesia berkat ilmu yang kami peroleh. Begitulah insan muda belia para pelajar Mahid. Maklum jika tenaga dan pemikiran idealis masih mengalir kental dalam darah kami. Segalanya berjalan sempurna waktu itu. Suatu hari di Bulan September yang mencekam, aku dihadapkan pada situasi aneh. Kami semua dipanggil oleh KBRI tanpa kecuali. Kami didesak menandatangi suatu dokumen dan memilih satu di antara dua pilihan yang mereka ajukan. Silahkan dipilih, tunduk di bawah rezim pemerintahan baru atau tetap bersetia kepada Sukarno.

Walaupun bukan pemuja Sukarno apalagi menyebut diri sebagai bagian dari partai merah, mana mungkin aku berkhianat kepada pemimpin yang telah melapangkan jalan lewat studi di luar negeri demi mengubah nasib. Akibat desakan berbagai pihak ditambah situasi politik yang gamang, aku menolak memilih pilihan pertama dan itu artinya aku telah memilih maut. Pihak kedutaan seketika membekukan pasporku. Semua dokumen kewarganegaraanku dicabut dan berakhir hidup terkatung-katung di negeri asing. Beberapa rekan sejawat berpencar menyelamatkan dirinya masing-masing mencari daerah peraduan yang sekiranya mampu menjamin keberlangsungan hidup.

Tanpa dokumen resmi tertulis dan berbekal uang seadanya, aku nekat bertolak ke Bonn, ibukota Berlin Barat kala itu lalu menetap hingga hari ini. Pada masa pelarian tersebut, aku bertemu dengan para pengungsi dari Berlin Timur. Mereka mempunyai alasan lebih prinsipil sebab tanggapan jiwa ketuhanannya telah ditindas selama bertahun-tahun. Lain halnya denganku yang datang ke sini demi mendapatkan asylum, sebab pasporku dirampas penguasa baru yang tanahnya telah kutinggalkan.

Mengantongi status sebagai pengungsi, kami semua diperiksa oleh tentara serikat sebelum laporan diteruskan kepada pemerintahan Berlin Barat. Selama melewati tahapan-tahapan itu, para pengungsi ditempatkan pada gedung-gedung penampung serta tangsi-tangsi serdadu berminggu-minggu. Dan aku ditempatkan di gedung ini.

Sepanjang malam, ratusan manusia dari berbagai latar konflik tidur saling berdesakan. Hampa dan resah menemani setiap gelap yang tak kunjung fajar. Makanan hanya diberikan dua kali sehari dengan menu roti gandum tak layak konsumsi. Kerap di antaranya melawan kegelisahan dengan cara mengutuki diri atau membenturkan kepala ke dinding. Sesama pengungsi saling berkelahi seperti hendak saling membunuh. Betapa banyak di antara mereka menggeliat menentang maut. Mereka menjerit-njerit, menyeringai, mengepalkan tinju serta menendang apa-apa yang mendekatinya, seakan sesuatu dilihatnya itu serupa malaikat kematian yang akan mundur jika terus dilawan.

Oh, yang paling mengenaskan apabila mengingat nasib anak-anak malang itu. Mulai yang baru belajar memanggil ibunya hingga yang beranjak remaja. Mereka terkapar karena lapar. Napasnya berat, pendek-pendek tak tentu, sementara itu orang-orang dewasa sekitarnya sibuk menghabisi sesama dan berusaha mendobrak pintu baja berharap lemparan sisa roti dari tangan-tangan serdadu demi tetap hidup dalam gelanggang pertarungan antara lapar dan haus. Itu sebabnya selama peristiwa itu berlangsung, aku hanya duduk diam dan menyaksikan mereka sekarat satu-persatu sekalipun punggungku terasa nyeri akibat didorong atau tak sengaja terkena pukulan. Mengajak bicara salah satu dari mahluk buas ini hanya akan memperparah memar di tubuhku.

Demikian suasana jiwa kebanyakan manusia yang sedang berhadapan dengan maut. Andai berakhir di liang kubur dan tidak ada apa-apanya lagi maka kematian tidak ada artinya bagiku. Namun, jika sesudah mati nasibku masih berlanjut menjadi santapan hewan buas piaraan para pemimpin serikat atau membusuk di ratapan dinding ini, apa gunanya hidup yang penuh kepedihan semacam ini dipertahankan?

Hari demi hari kami terus menunggu bagaimana ujung jalan penderitaan ini. Kekuatan raga dan psikis kian goyah laksana dihantui bayang-bayang ajal. Tepat hampir 4 minggu lamanya, aku hanya ditemani bayang-bayang kosong yang dihimpit 4 tembok bersama dengan sebagian pengungsi yang sudah hilang akal sehatnya.

Suatu pagi, kami digiring para serdadu dan dipecah menjadi beberapa kelompok untuk ditempatkan pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan komando. Aku dikirim kepada keluarga yang rumahnya tak jauh dari Kota Bonn dan tinggal bersama mereka dalam kurun waktu tertentu demi menormalisir kehidupanku dalam suasana kehidupan di Berlin Barat sebelum dinyatakan mampu hidup mandiri. Tidak mengherankan apabila orang yang pernah berdiam diri di tangsi itu bagaikan terpenjara. Dalam hati kecilnya mereka akan selalu bertanya: "kapan aku dapat hidup sebagai manusia yang layak?"

Seiring waktu, dunia pun beredar. Sejarah berlalu. Pagi berganti petang, siang bertukar malam. Berulang terus sejak langit terbentang. Memasuki abad 21, duka nestapa itu masih bergelayut, terlebih kalau melihat keadaan Kota Bonn kini betul-betul berubah total. Di sepanjang barisan kantor pusat kebudayaan ini berdirilah bangunan-bangunan mentereng, lalu lintas bersimpang siur lengkap dengan mobil-mobil saling berjejal entah ke mana, toko-toko kelas atas dengan lampu-lampu gebyar bergemerlap memamerkan aneka produk kebanggaanya serta ingar bingar yang mengelilinginya.

Gedung-gedung baru menjulang tinggi di mana-mana. Mesin-mesin pabrik modern mulai beroperasi dan nilai mata uang terus membumbung naik. Demikian aku, si mayat hidup tanpa status kewarganegaraan ikut terbawa arus kemajuan peradaban Berlin. Bangun ketika pagi, lalu bekerja memerah keringat atau memutar otak di siang hari untuk kemudian bersembunyi dalam gelap malam; tak ubahnya seperti permainan bidak catur. Dikeluarkan bila hendak dipermainkan kemudian disimpan kembali dalam kotak setelah permainan usai.

Telah lama aku bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam bisa mencintai Indonesia sepenuh hati lewat pohon pisang yang kutanam, berlangganan Kompas Digital setiap bulan, sesekali juga menulis sajak-sajak tentang Jakarta manakala aku sedang rindu. Menjelang pergantian musim, bendera merah putih di halamanku masih teguh berkibar tatkala salju mulai turun atau pohon maple merontokkan daun-daunnya. Hari demi hari aku pergi mengajar bahasa ibu ke beberapa kursus demi menaklukkan kejemuan, menyangkal kesangsian dan menyusun batu-batu ketabahan. Menjelang fajar, aku selalu memandang ke timur untuk mengenangnya, seolah-olah jarak antara aku dan Indonesia hanya sedekat ini. Sekarang segalanya terasa benar, aku masih orang Indonesia dan senantiasa demikian.

Meskipun lambang merah putih telah lama tanggal dari statusku, tapi tekad kuat untuk bertahan di atas negeri kelahiran Paman Goethe ini takkan kubiarkan pupus begitu saja. Sebagaimana kaum Eropa yang menyukai kedisipilnan dan tekun teratur, aku tetap giat mengerjakan dan belajar apa saja, mulai dari bekerja di pabrik sepatu, pelayan di sebuah bar klasik, mengikuti training Tech Industry, hingga mengajar Bahasa di beberapa tempat. Di antara tahun-tahun itu, kerinduan kepada tanah air acap kali membuat hatiku gentar. Sambil menyandang dosa aku hanya bersenjatakan doa-doa, mencari sendiri rumahku yang hilang dan hidup sebatas pengembaraan fana.

****

Pada malam pementasan konser Jakarta Concert Orchestra, gedung The Beethovenhalle dihadiri oleh para penonton yang akan menyaksikan penampilan perdana grup orkestra kondang asal Jakarta itu. Usai memoles rambut senecis mungkin dan memilih setelan baju terbaik, aku duduk persis menghadap panggung. Tidak ada yang kukenal di samping kanan-kiriku, hanya pria jangkung bermata biru dan seorang wanita muda berambut pirang saja. Jelaslah mereka bukan orang Indonesia.

Dibanding itu, aku lebih tertarik mengamati rupa para pemusik yang sedang bersiap di atas panggung. Rambut mereka semua hitam berkilauan dan sorot matanya terang mengeluarkan aura percaya diri. Pemusik wanita tampak ayu meneduhkan hati, sementara para pemusik lelaki terlihat berkharisma nan berwibawa. Pembawaan mereka santai serta memiliki senyum hangat yang hanya dimiliki orang-orang Indonesia. Akankah para pemusik itu menyadari bahwa pria tua di bangku ini juga lahir dari rahim pertiwi yang sama dengan mereka?

Walaupun warna bola mata kami senada dan berbicara dalam bahasa yang sama; Bahasa Indonesia, tetapi kami memiliki cita-cita yang berlainan, mempunyai lamunan yang berbeda-beda pula. Raja bijaksana mempunyai cita-cita memimpin negeri yang diidam-idamkannya, pengemis kolong jembatan mempunyai cita-cita miliki sertifikat rumahnya sendiri, seorang pemuda mapan mempunyai kriteria gadis impiannya untuk ia persunting sebagai istri. Semuanya itu tetap berlainan dan tak ada yang berhak mengaturnya sesuka hati. Jika memang demikian, mengapa aku tidak boleh bercita-cita untuk menyatu dengan tanah negeriku sendiri?

Suasana panggung mulai senyap pertanda pertunjukan akan segera dimulai. Lampu bergerak menyorot bayangan si konduktor. Di tengah-tengah panggung, Avip Priatna membungkuk sejenak ke hadapan penonton sebelum mulai mengayunkan stick emasnya. Iringan bunyi flute dan lirihnya gesekan senar biola mulai berpadu dengan suara merdu Daniel Christianto, sang penyanyi seriosa kenamaan tanah air. Untuk pertama kalinya, "Indonesia Pusaka" berkumandang di bawah langit Berlin.

Pandanganku buram saat menghayati simfoni agung gubahan komponis besar Ismail Marzuki. Ada desakan emosionil yang tak tahan lagi dibendung. Sebulir bening jatuh dari mataku yang makin menua. Sampai kapan aku terus membayangkan Indonesia di bawah langit Berlin? Bukan main pedihnya menggurat hati. Sungguh, ku ingin pulang.

Malang, 12 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun