Langit kelabu hari ini tidak menghentikan niatku pergi menuju Pusat Seni dan Kebudayaan Kota Bonn. Menurut poster yang tertempel, akan digelar konser klasik oleh grup orkestra asal Indonesia, Jakarta Concert Orchestra, bertajuk "Indonesia Pusaka" di The Beethovenhalle. Pemesanan tiket hanya dilayani secara langsung di gedung pusat seni ini. Â Administrasi pembelian mulai dibuka sejak hari Senin yang lalu dan ditutup pada hari Sabtu. Itu artinya, hari terakhir pembelian tiket adalah hari ini.
Bangunan kuno berperisai gerbang megah bersepuh emas itu masih tetap pekat suasana suramnya. Alkisah, dahulu tempat ini pernah menjadi penampungan orang-orang terbuang. Gedung tua yang telah beralih fungsi menjadi kantor pusat seni kebudayaan Kota Bonn ialah bekas barak pengungsian bagi orang-orang yang kebingungan mencari suaka pada tahun 1960-an. Masa suram itu telah lama usai, tetapi keringat kerap membasahi pelipis setiap kali aku berdiri di depan andang gerbang ini. Terlintas di benakku peristiwa tahun 1965 silam ketika tahun itu menjadi titimangsa dari Indonesia pra-1965 yang anti-kolonial menjadi bangsa yang jatuh dalam rezim militerisme.
****
Berkaca pada masa lalu, aku bersama rekan Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) lainnya diutus oleh bapak presiden untuk mendulang ilmu di Republik Ceko. Harapannya begitu studi selesai, kami dapat pulang ke tanah air dan berkontribusi membangun Indonesia berkat ilmu yang kami peroleh. Begitulah insan muda belia para pelajar Mahid. Maklum jika tenaga dan pemikiran idealis masih mengalir kental dalam darah kami. Segalanya berjalan sempurna waktu itu. Suatu hari di Bulan September yang mencekam, aku dihadapkan pada situasi aneh. Kami semua dipanggil oleh KBRI tanpa kecuali. Kami didesak menandatangi suatu dokumen dan memilih satu di antara dua pilihan yang mereka ajukan. Silahkan dipilih, tunduk di bawah rezim pemerintahan baru atau tetap bersetia kepada Sukarno.
Walaupun bukan pemuja Sukarno apalagi menyebut diri sebagai bagian dari partai merah, mana mungkin aku berkhianat kepada pemimpin yang telah melapangkan jalan lewat studi di luar negeri demi mengubah nasib. Akibat desakan berbagai pihak ditambah situasi politik yang gamang, aku menolak memilih pilihan pertama dan itu artinya aku telah memilih maut. Pihak kedutaan seketika membekukan pasporku. Semua dokumen kewarganegaraanku dicabut dan berakhir hidup terkatung-katung di negeri asing. Beberapa rekan sejawat berpencar menyelamatkan dirinya masing-masing mencari daerah peraduan yang sekiranya mampu menjamin keberlangsungan hidup.
Tanpa dokumen resmi tertulis dan berbekal uang seadanya, aku nekat bertolak ke Bonn, ibukota Berlin Barat kala itu lalu menetap hingga hari ini. Pada masa pelarian tersebut, aku bertemu dengan para pengungsi dari Berlin Timur. Mereka mempunyai alasan lebih prinsipil sebab tanggapan jiwa ketuhanannya telah ditindas selama bertahun-tahun. Lain halnya denganku yang datang ke sini demi mendapatkan asylum, sebab pasporku dirampas penguasa baru yang tanahnya telah kutinggalkan.
Mengantongi status sebagai pengungsi, kami semua diperiksa oleh tentara serikat sebelum laporan diteruskan kepada pemerintahan Berlin Barat. Selama melewati tahapan-tahapan itu, para pengungsi ditempatkan pada gedung-gedung penampung serta tangsi-tangsi serdadu berminggu-minggu. Dan aku ditempatkan di gedung ini.
Sepanjang malam, ratusan manusia dari berbagai latar konflik tidur saling berdesakan. Hampa dan resah menemani setiap gelap yang tak kunjung fajar. Makanan hanya diberikan dua kali sehari dengan menu roti gandum tak layak konsumsi. Kerap di antaranya melawan kegelisahan dengan cara mengutuki diri atau membenturkan kepala ke dinding. Sesama pengungsi saling berkelahi seperti hendak saling membunuh. Betapa banyak di antara mereka menggeliat menentang maut. Mereka menjerit-njerit, menyeringai, mengepalkan tinju serta menendang apa-apa yang mendekatinya, seakan sesuatu dilihatnya itu serupa malaikat kematian yang akan mundur jika terus dilawan.
Oh, yang paling mengenaskan apabila mengingat nasib anak-anak malang itu. Mulai yang baru belajar memanggil ibunya hingga yang beranjak remaja. Mereka terkapar karena lapar. Napasnya berat, pendek-pendek tak tentu, sementara itu orang-orang dewasa sekitarnya sibuk menghabisi sesama dan berusaha mendobrak pintu baja berharap lemparan sisa roti dari tangan-tangan serdadu demi tetap hidup dalam gelanggang pertarungan antara lapar dan haus. Itu sebabnya selama peristiwa itu berlangsung, aku hanya duduk diam dan menyaksikan mereka sekarat satu-persatu sekalipun punggungku terasa nyeri akibat didorong atau tak sengaja terkena pukulan. Mengajak bicara salah satu dari mahluk buas ini hanya akan memperparah memar di tubuhku.
Demikian suasana jiwa kebanyakan manusia yang sedang berhadapan dengan maut. Andai berakhir di liang kubur dan tidak ada apa-apanya lagi maka kematian tidak ada artinya bagiku. Namun, jika sesudah mati nasibku masih berlanjut menjadi santapan hewan buas piaraan para pemimpin serikat atau membusuk di ratapan dinding ini, apa gunanya hidup yang penuh kepedihan semacam ini dipertahankan?
Hari demi hari kami terus menunggu bagaimana ujung jalan penderitaan ini. Kekuatan raga dan psikis kian goyah laksana dihantui bayang-bayang ajal. Tepat hampir 4 minggu lamanya, aku hanya ditemani bayang-bayang kosong yang dihimpit 4 tembok bersama dengan sebagian pengungsi yang sudah hilang akal sehatnya.