Ibarat mau makan nasi padang tapi harus terbang ke Padang dulu, karena di kampung cuma ada warteg. Merepotkan? Jelas. Tapi begitulah kenyataannya.
Dampak Sosial dan Ekonomi: Dompet Menjerit, Jiwa Merana
Umat Kristen di Cilegon menghadapi tantangan berat, termasuk biaya dan waktu yang diperlukan untuk beribadah di kota lain.
Beberapa jemaat harus merogoh kocek gak sedikit untuk pergi-pulang, yang sering kali lebih mahal dari uang kolekte yang mereka berikan. Jadilah, ibadah yang seharusnya menenangkan jiwa, hati dan pikiran malah bikin dompet menjerit.
Belum lagi, waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk bersantai atau bersama keluarga malah habis di jalan. Ini ibarat nonton film tapi harus streaming di wifi tetangga, ribet!
Wawancara: Kisah Perjuangan Abina
Abina Simarmata (bukan nama sebenarnya), seorang jemaat HKBP Maranatha Cilegon, harus pergi ke Kota Serang setiap Minggu untuk beribadah.
"Saya gak mau ngerepotin mereka (keluarga)," katanya, mengacu pada anak-anak dan cucunya yang tinggal di Cilegon.
Abina adalah satu dari sekian banyak jemaat yang merasa kesulitan untuk beribadah di kota asalnya. Setiap Minggu pagi, ia harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri, menunggu angkutan umum, dan menempuh perjalanan yang melelahkan.
"Kadang saya juga suka mikir, apa gak ada cara lain biar kami bisa beribadah lebih dekat?" tuturnya dengan nada penuh harap.
Analisis Penulis: Tantangan Pluralisme
Penolakan terhadap pembangunan gereja di Cilegon mencerminkan kompleksitas demografis dan sejarah yang kelam.
Fenomena ini menggambarkan tantangan dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan toleran bagi semua umat beragama.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama yang tinggi, situasi di Cilegon menyoroti perlunya dialog dan pemahaman antarumat beragama.