Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Penyiar Usai Proklamasi

18 Agustus 2016   07:34 Diperbarui: 18 Agustus 2016   07:39 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Surat - Internet-

PASKA pengumuman di berbagai radio, proklamasi masih belum dimengerti di desa itu. Penyiar seperti berbicara pada angin. Hanya beberapa orang yang mendengarkan proklamasi kala itu. Apa itu merdeka, kapan mereka dijajah dan apa itu pemerintahan sama sekali tak ada yang mengerti. Hanya satu dua orang yang mengerti.

Desa itu jauh dari hiruk pikuk. Apalagi namanya sebuah kabar, sangatlah sulit terjangkau. Namun penyiar radio itu lahir disana. Menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya. Walau harus menempuh jarak yang memakan waktu delapan jam dari Kota Medan. Diapun berpamitan usai menyiarkan proklamasi.

“Merdeka, merdeka. Selamat –Ber- kita merdeka,” kata Kepala Stasiun radio tersebut kepada Hotber.

“Ya pak, saya izin pulang mau ceritakan ke keluarga. Merdeka pak,” balas Hotber. Sejak terbentuknya PPKI, Hotber terus menerus menerima telegram tentang kabar-kabar menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia dari Jakarta. Hampir dua Minggu itu malah dia menginap di studio radio itu.

“Apa yang kau harapkan Ber, setelah kemerdekaan,” Tanya Kepala Stasiun lagi.

“Kita bisa membangun negeri kita sendiri. Dengan begitu dapat menerapkan pendidikan dan kesejahteraan yang merata pak. Terutama buat kampong saya,”

“Di kampong saya harus segera menerima kabar ini. Agar tahu kita telah berdaulat,” tutur Hotber.

Sebelum kepulangan Hotber ke kampong halaman. Ada pesta kecil-kecilan di kantor radio menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga malam hari, Hotber mendapat tumpangan  untuk menuju kampungnya.

 Kala itu angkutan belum massif. Hingga harus menumpang mobil-mobil  pengangkut pangan, Itupun ia harus berjalan lagi untuk sampai di kampungnya. Berangkat malam hari, barulah siang hari dia sampai di kampong halamannya.

***

Terik matahri menyengat. Keringat Hotber bercucur sembari menelusuri jalan setapak menuju kampungnya. Melewati persawahan, genangan air, menyeberangi muara berbatuan dan masuk ke sebuah hutan agar sampai ke desanya lebih singkat.

Emaknya tengah menukul-mukul padi, agar biji beras berjatuhan. Pada umumnya masyarakat disitu adalah petani.

“Merdeka mak,” teriak Hotber dari kejauhan. Banyak mata menyorot padanya. Emaknya pun menoleh dan tampak gembira. Begitupun adiknya Tiodor, langsung memeluknya ketika sampai di pelukan emaknya. Para jiran tetangga juga tampak senang dengan kepulangan Hotber. Satu orang yang tak tersenyum pada langkah-langkah Hobert, yakni Pak Purdo seorang Tengkulak dan salah satu orang terpandang dan ditakuti disana. Hasil panen masyarakat disana dijual ke Purdo dengan harga yang tak pantas.

“Apalah yang kau bilang nak “merdeka itu,” Tanya Emaknya.

“Ya mak kita sudah merdeka semalam, nanti Ober jelaskan,” kata Ober yang masuk ke rumah panggung. “Mak ini ada uang, belanjalah nanti malam kita adakan kenduri. Ober juga mau ngomong dengan warga disini,” ucap Ober sembari memberikan uang Rupiah Hindia Belanda pada emaknya.

***

Gelagat  Purdo mencurigakan. Bergegas dia memanggil para anak buahnya dan berjalan ke arah sawah. Ada belasan orang, mereka duduk di pondok tengah sawah.

“Bahaya ini, si Hotber pulang bakal menjelaskan soal Indonesia sama masyarakat,” kata Purdo.

“Kenapa bos?” Tanya salah satu anggotanya.

“Soal harga jual panen warga nanti. Kalau dijelaskannya dengan masyarakat tentang kemerdekaan, masyarakat akan cerdas, standar harga jual nantinya diteapkan pemerintah Indonesia. Tidak mau  lagi mereka dengan harga rendah yang kita beri selama ini,” jelas Purdo.

“Bah, tumpurlah kita bos,” kata anggota lainnya,”

“La iya,”

“Culik dia, sore nanti. Kudengar ia mau mengabarkan warga soal kemerdekaan Indonesia,” serunya.

Purdo dan beberapa anggotanya berjalan ke rumah masing-masing. Beberapa anggota lain mempersiapkan agenda penculikan. Mereka bercerita mengemukakan pendapat masing-masing soal Hotber.

***

Hotber menatap dari jendela bilik rumahnya, Purdo dan anggotanya berjalan menuju rumah Purdo. Sekilas tatapan Purdo melihat Hotber dengan penuh kebencian. Firasat buruk menghantui Hotber. Jantungnya berdegup kencang. Kemudian Hotber membongkar isi tasnya. Sebuah kertas dan pulpen dikeluarkannya.

Diapun menulis di pojok rumah dengan gemetar. Hober sudah mengenal Purdo sejak kecil. Dari kecil itu juga ia tak pernah suka dengan gelagat Purdo. Apalagi saat almarhum bapaknya menjual  hasil panen kepada Purdo.

Usai menulis, ditemuinya Pak Kirman salah seorang pendatang disana yang selama ini berada dibalik berkarirnya Hotber di Kota. Diketuknya rumah Pak Kirman.

“Wah Hotber, apa kabar. Sukses kau ya, gimana siaran proklamasi kemarin,”

“Baik pak. Syukur pak kita sudah merdeka, tapi banyak pekerjaan kita mengisi kemerdekaan ini kedepan pak,” kata Hotber kepada Pak Kirman salah satu yang mendengarkan radio.

Pak Kirman salah satu orang yang disegani di kampong itu. Namun dia juga takut dengan Purdo sehingga tak ada upaya yang dilakukannya buat memberikan pencerahan pada masyarakat kampong itu.

“Ya Ber, banyak yang harus kita kerjakan. Kalau informasi kemerdekaan sudah dapat dicerna masyarakat kampong kita, pasti kampong kita akan jauh lebih baik,” kata Kirman.

“Inilah tantangan kita pak. Bapak mau mengisi kemerdekaan kita ini?” Tanya Purdo.

‘Ya tentu,” jelas Kirman dengan semangat.

“Nanti malam rencananya saya mengumpulkan masyarakat di depan rumah pak. Saya ingin menjelaskan tentang kemerdekaan Indonesia,” ucap Hotber.

“Ah kalau itu kita harus berhadapan dengan si Purdo Ber. Susah, nyawamu taruhannya,” jelas Kirman.

“Ya pak, kalau tidak berani, kampong kita akan lambat berkembang paska kemerdekaan ini pak,” kata Hotber.

“Bener juga Ber…,”

“Jadi kita harus bagaimana,” Tanya Kirman. Hotber tersenyum.

“Saya merasakan firasat buruk pak. Tadi saya lihat Purdo dan anggotanya masuk ke rumah Purdo. Sepertinya mereka memiliki rencana buruk untuk saya pak,” keluh Hotber.

“:Iya Ber, Purdo itu takut sekali kalau kamu pulang ke kampong Ber. Saya sering mendengar itu. Lalu apa kau tidak takut Ber?” tanya Kirman lagi.

“Pak, sekarang sayalah yang ingin berjuang. Ini merupakan bagian untuk mengisi kemerdekaan kita ini pak. Membantu Jakarta untuk menata nusantara, mulai dari kampung,” jelasnya.

Perbincangan mereka semakin panjang. Bercerita tentang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan Hotber juga menjelaskan bagaimana proses kemerdekaan Republik Indonesia pada Kirman. Hingga akhirnya Hotber memberi sepucuk surat pada Kirman.

“Ini pak, kalau saya tak ada di depan rumah habis petang nanti. Bapaklah yang kabarkan pada warga, bacakan surat ini ya pak,” seru Hotber disambut pelukan Kirman yang kuat hingga meneteskan air mata mereka berdua.

“Kamu hebat Ber,” ucap Kirman dan disambut dengan senyum Hotber lalu ia pun pulang dan kembali ke rumah.

***

Rumah kosong. Emak dan Tiodor sedang ke pekan membeli bahan-bahan untuk acara yang direncakan sore nanti. Masuk ke dalam rumah yang gelap lantaran jendela yang tertutup, Hotber mendapat sebuah serangan dari beberapa orang yang tak tahu masuk dari mana.

Kepala ditutup, Hotber di bawa dari pintu belakang melalui semak-semak hingga di sebuah tempat dipinggir sebuah sungai. Dilihatnya ada Purdo disana.

“Kau mau rusak hasil perut kami,” cetus Purdo pada Hotber dan tak dijawabnya.  Hotber hanya diam dan pasrah menerima beberapa kali pukulan. Semakin lama semakin dia tak berdaya, hingga Purdo mengeluarkan sebuah arit dan habislah sudah nyawa Hotber.

Purdo dan anggotanya segera mengungsikan jenazah Hotber sangat jauh. Jauh dari perkampungan memakan waktu berjam-jam hingga petang pun datang. Saat itulah mereka membuang jenazah Hotber dan berteriak menyumpah serta tertawa usai kejadian itu.

***

Persiapan kenduri di depan rumah Hotber sudah rampung. Namun Hotber tak kunjung datang. Padahal acara tersebut untuk menyambut kedatangan Hotber. Lama semakin lama, Pak Kirman pun berdiri di hadapan warga.

“Selamat malam semua warga kampung. Saya mendapatkan pesan dari Hotber, walau acara ini untuk menyambut kepulangannya. Tapi bisa jadi ini merupakan kepergiannya,” kelekar Pak Kirman.

Warga pun senyap, tampak bingung. Apalagi emak Hotber dan Tiodor malah tampak ketakutan dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi. Pak Kirman pun melanjutkan.

“Siang menjelang sore tadi Hotber member sepucuk surat ini pada saya. Dan meminta saya membacakan pada warga jika dia tak  datang lepas petang,” langsung juga Kirman membacakan isi surat.

Merdeka warga kampungku. Saya Hotber sudah merasakan firasat buruk sejak menginjak kaki disini. Apalagi saat melihat seorang tengkulak bernama Purdo. Firasat saya ini bagi saya adalah kepastian, maka saya titipkan surat ini pada Pak Kirman yang mampu membaca. Seperti yang kalian tahu, saya dan Purdo tak pernah akur sejak saya mulai mengenyam pendidikan di Kota, maka seperti ada ketakutan oleh Purdo jika saya kembali ke kampung. Purdo pasti tak mau kalau warga tahu tentang kemerdekaan. Oleh karena itu saya ingin menjelaskan.

17 Agustus 1945 kemarin adalah hari kemerdekaan kita. Hari kemerdekaan sebuah Bangsa yang dinamakan Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kita di Pulau Sumatera adalah saudara dengan warga di Pulau Jawa. Begitu juga dengan warga di Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Kita Tidak sendiri. Tiga Setengah Abad kita dijajah oleh Belanda. Tiga Tahun Kita dijajah Oleh Nipon Jepang. Tidak ada namanya kenikmatan jika kita dijajah. Itulah Arti Proklamasi. Yakni mengumumkan kemerdekaan kita.

Kemerdekaan artinya bebas. Kita Bangsa Indonesia bebas menentukan nasib kita sendiri. Kita berhak menentukan kebijakan pemerintah. Mulai Pendidikan, pemakmuran, kesehatan hingga social dan ekonomi kita. Maka semuanya akan diatur oleh pemerintahan yang dinamakan PemerintahanRepublik Indonesia. Pengaturan tersebut berdasarkan kepentingan-kepentingan kita masyarakatnya.

Namun ada beberapa masyarakat yang tidak menginginkan kemerdekaan, yakni seperti Purdo. Dia menguasai hasil panen kita. Dia dan kroninya menguasai ekonomi kampung kita. Padahal sudah saya katakan berulang kali pembayaran yang diberikannya pada hasil panen kita tidaklah sepadan. Dia telah melakukan kesewenang-wenangan. Memperkaya diri sendiri dan kita semakin miskin dan bodoh. Dia selalu menutupi dan tidak mau mengabarkan informasi.

Orang seperti itu sudah tak dapat dijadikan sebagai panutan lagi di era kemerdekaan sekarang ini. Saya ingin menyampaikan bahwa harga panen nantinya akan diatur oleh pemerintah. Hasil jerih payah kita akan dihargai sesuai. Bukan seperi  selama ini hanya dihargai sepihak oleh Purdo. Sedangkan dia menjual berkali-kali lipat dari hasil pembayarannya kepada kita. Oleh karena itu segera bangun perangkat kampung disini dan menjemout bola ke kota tentang apa-apa saja yang perlu dilakukan mengenai persamaan harga hasil panen. Sehingga dengan begitu kita juga membantu pemerintahan Indonesia agar lebih cepat mensejahterakan masyarakatnya.

Saya ingin menyampaikan penetapan harga hasil panen jauh berkali-kali lipat jika mengikuti aturan pemerintahan Republik Indonesia nantinya. Selain itu saya juga menghimbau pada warga agar dapat memberikan anak-anaknya untuk bersekolah, sehingga kita tidak dapat ditipu daya oleh orang seperti Purdo.

Salam Hormat Saya

18/Agustus/1945
 Hotber Simanjuntak

Penutupan surat itu menjadi puncak kerusuhan. Tampak kelompok Purdo menyerang acara tersebut. Namun warga kampung melawan pertumpahan darah terjadi. Emak Hotber terjongkok disudut rumah dengan Tiodor. Warga kampung melakukan perlawanan dengan orang-orang  Purdo. Malam itu perang sekampung berkecamuk.

Sei Rampah, 18 Agustus 2016

Fiqih Purnama

PNS Kejaksaan RI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun