Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Penyiar Usai Proklamasi

18 Agustus 2016   07:34 Diperbarui: 18 Agustus 2016   07:39 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Surat - Internet-

Merdeka warga kampungku. Saya Hotber sudah merasakan firasat buruk sejak menginjak kaki disini. Apalagi saat melihat seorang tengkulak bernama Purdo. Firasat saya ini bagi saya adalah kepastian, maka saya titipkan surat ini pada Pak Kirman yang mampu membaca. Seperti yang kalian tahu, saya dan Purdo tak pernah akur sejak saya mulai mengenyam pendidikan di Kota, maka seperti ada ketakutan oleh Purdo jika saya kembali ke kampung. Purdo pasti tak mau kalau warga tahu tentang kemerdekaan. Oleh karena itu saya ingin menjelaskan.

17 Agustus 1945 kemarin adalah hari kemerdekaan kita. Hari kemerdekaan sebuah Bangsa yang dinamakan Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kita di Pulau Sumatera adalah saudara dengan warga di Pulau Jawa. Begitu juga dengan warga di Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Kita Tidak sendiri. Tiga Setengah Abad kita dijajah oleh Belanda. Tiga Tahun Kita dijajah Oleh Nipon Jepang. Tidak ada namanya kenikmatan jika kita dijajah. Itulah Arti Proklamasi. Yakni mengumumkan kemerdekaan kita.

Kemerdekaan artinya bebas. Kita Bangsa Indonesia bebas menentukan nasib kita sendiri. Kita berhak menentukan kebijakan pemerintah. Mulai Pendidikan, pemakmuran, kesehatan hingga social dan ekonomi kita. Maka semuanya akan diatur oleh pemerintahan yang dinamakan PemerintahanRepublik Indonesia. Pengaturan tersebut berdasarkan kepentingan-kepentingan kita masyarakatnya.

Namun ada beberapa masyarakat yang tidak menginginkan kemerdekaan, yakni seperti Purdo. Dia menguasai hasil panen kita. Dia dan kroninya menguasai ekonomi kampung kita. Padahal sudah saya katakan berulang kali pembayaran yang diberikannya pada hasil panen kita tidaklah sepadan. Dia telah melakukan kesewenang-wenangan. Memperkaya diri sendiri dan kita semakin miskin dan bodoh. Dia selalu menutupi dan tidak mau mengabarkan informasi.

Orang seperti itu sudah tak dapat dijadikan sebagai panutan lagi di era kemerdekaan sekarang ini. Saya ingin menyampaikan bahwa harga panen nantinya akan diatur oleh pemerintah. Hasil jerih payah kita akan dihargai sesuai. Bukan seperi  selama ini hanya dihargai sepihak oleh Purdo. Sedangkan dia menjual berkali-kali lipat dari hasil pembayarannya kepada kita. Oleh karena itu segera bangun perangkat kampung disini dan menjemout bola ke kota tentang apa-apa saja yang perlu dilakukan mengenai persamaan harga hasil panen. Sehingga dengan begitu kita juga membantu pemerintahan Indonesia agar lebih cepat mensejahterakan masyarakatnya.

Saya ingin menyampaikan penetapan harga hasil panen jauh berkali-kali lipat jika mengikuti aturan pemerintahan Republik Indonesia nantinya. Selain itu saya juga menghimbau pada warga agar dapat memberikan anak-anaknya untuk bersekolah, sehingga kita tidak dapat ditipu daya oleh orang seperti Purdo.

Salam Hormat Saya

18/Agustus/1945
 Hotber Simanjuntak

Penutupan surat itu menjadi puncak kerusuhan. Tampak kelompok Purdo menyerang acara tersebut. Namun warga kampung melawan pertumpahan darah terjadi. Emak Hotber terjongkok disudut rumah dengan Tiodor. Warga kampung melakukan perlawanan dengan orang-orang  Purdo. Malam itu perang sekampung berkecamuk.

Sei Rampah, 18 Agustus 2016

Fiqih Purnama

PNS Kejaksaan RI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun