“Culik dia, sore nanti. Kudengar ia mau mengabarkan warga soal kemerdekaan Indonesia,” serunya.
Purdo dan beberapa anggotanya berjalan ke rumah masing-masing. Beberapa anggota lain mempersiapkan agenda penculikan. Mereka bercerita mengemukakan pendapat masing-masing soal Hotber.
***
Hotber menatap dari jendela bilik rumahnya, Purdo dan anggotanya berjalan menuju rumah Purdo. Sekilas tatapan Purdo melihat Hotber dengan penuh kebencian. Firasat buruk menghantui Hotber. Jantungnya berdegup kencang. Kemudian Hotber membongkar isi tasnya. Sebuah kertas dan pulpen dikeluarkannya.
Diapun menulis di pojok rumah dengan gemetar. Hober sudah mengenal Purdo sejak kecil. Dari kecil itu juga ia tak pernah suka dengan gelagat Purdo. Apalagi saat almarhum bapaknya menjual hasil panen kepada Purdo.
Usai menulis, ditemuinya Pak Kirman salah seorang pendatang disana yang selama ini berada dibalik berkarirnya Hotber di Kota. Diketuknya rumah Pak Kirman.
“Wah Hotber, apa kabar. Sukses kau ya, gimana siaran proklamasi kemarin,”
“Baik pak. Syukur pak kita sudah merdeka, tapi banyak pekerjaan kita mengisi kemerdekaan ini kedepan pak,” kata Hotber kepada Pak Kirman salah satu yang mendengarkan radio.
Pak Kirman salah satu orang yang disegani di kampong itu. Namun dia juga takut dengan Purdo sehingga tak ada upaya yang dilakukannya buat memberikan pencerahan pada masyarakat kampong itu.
“Ya Ber, banyak yang harus kita kerjakan. Kalau informasi kemerdekaan sudah dapat dicerna masyarakat kampong kita, pasti kampong kita akan jauh lebih baik,” kata Kirman.
“Inilah tantangan kita pak. Bapak mau mengisi kemerdekaan kita ini?” Tanya Purdo.