Pilot
Manusia memiliki kemampuan untuk terus tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun non-fisik. Pendidikan merupakan wadah bagi manusia untuk terus tumbuh dan berkembang dalam wujud ilmu pengetahuan dan kemampuan (skill). Bahkan, manusia memiliki kemampuan untuk melewati batas-batas kemampuannya.
Sebagai contoh, manusia ditakdirkan sebagai mahkluk hidup yang memiliki habitat hidup di daratan. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk terbang di langit angkasa atau menyelam di lautan samudera. Namun, melalui proses pendidikan terapan dan penelitian, manusia mampu menciptakan alat bantu untuk berpindah tempat dengan terbang atau menyelam.
Lihat pula karya-karya arsitektur umat manusia yang luar biasa. Manusia mampu menciptakan gedung-gedung bertingkat yang ketinggiannya melebihi bukit dan gunung.
Melalui proses pendidikan, manusia mampu menciptakan teknologi-teknologi mutakhir dan mesin-mesin yang memudahkan aktivitas kehidupan sehari-hari.Â
Lebih jauh lagi, manusia kini mampu untuk pergi ke bulan dan menemukan planet-planet lain yang berada di tata surya.
Semua hal tersebut dapat terwujud, karena manusia melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan alat yang membawa perubahan dalam peradaban kehidupan umat manusia. Manusia berevolusi melalui pendidikan.
Realita Pendidikan dan Kesenjangan
Pendidikan adalah salah satu alat bagi manusia untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Di era globalisasi seperti saat ini, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.Â
Meskipun tingkat pendidikan tidak menjamin 100% keberhasilan atau kesuksesan seseorang, namun pendidikan akan sangat membantu membuka peluang-peluang kesuksesan.
Sebagai contoh, sebut saja Mawar dan Melati. Mawar adalah seorang anak dari keluarga menengah ke atas, sementara Melati adalah seorang anak dari keluarga yang kurang mampu.
Mawar sejak balita telah mengenyam pendidikan yang layak, sementara Melati tidak. Jangankan untuk memikirkan pendidikan, Melati lebih disibukan dengan urusan menyambung hidup.
Hingga tumbuh dewasa, Mawar terus menerus melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi dan berkualitas.Â
Kemudian, Mawar mendapatkan kesempatan bekerja atau membuka usaha. Mawar menikah dengan jodohnya yang sederajat, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan mapan.
Setelah menikah dan dikaruniai anak, anak dari Mawar memperoleh pendidikan yang layak seperti kedua orang tuanya. Hal tersebut berpeluang untuk terus terjadi bagi generasi keluarga Mawar.
Sementara itu, Melati yang berasal dari keluarga kurang mampu memperoleh pendidikan yang kurang layak atau bahkan berpeluang untuk putus sekolah.
Diasumsikan, apabila Melati menonjol di sekolah, maka ia memiliki kesempatan untuk memperoleh beasiswa dan memperbaiki kehidupannya. Namun, apabila Melati tidak terlalu menonjol di sekolah atau bahkan putus sekolah, maka kehidupan Melati sulit berubah.
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, Melati akan kesulitan meningkatkan taraf kehidupannya. Melati akan menikah dengan jodohnya yang sederajat, sehingga kehidupan yang kurang layak di keluarga Melati akan terus terjadi dari generasi ke generasi.
Jika, ada ribuan generasi keluarga Mawar dan generasi keluarga Melati di sebuah negara, maka hal tersebut akan menciptakan kesejangan sosial di masyarakat.
Jadi, meski tidak menjamin 100% mengubah hidup seseorang, namun pendidikan tetap dapat menjadi elevator yang menbuka peluang kehidupan seseorang menjadi lebih baik.
Skala Prioritas Pendidikan Indonesia
Kisah Mawar dan Melati tersebut salah satu alasan education gap mampu mempengaruhi social welfare gap (kesenjangan sosial). Kesenjangan sosial menghambat laju pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menjadi negara maju.
Pendidikan dapat membantu dan mengubah sebuah bangsa menjadi lebih baik dan maju. Tingkat pendidikan masyarakat di sebuah negara adalah refleksi dari realita kualitas kehidupan masyarakat di sebuah negara.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang begitu berlimpah. Namun, masyarakatnya belum mampu memanfaatkannya secara maksimal dan tepat. Sehingga, Indonesia masih belum mampu menjadi negara yang lebih maju. Tingkat pendidikan yang rendah sangat menghambat kemampuan masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, negara-negara maju di dunia memiliki tingkat pendidikan rata-rata yang baik, meskipun memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas.Â
Meski demikian, pendidikan bukanlah faktor mutlak yang menjamin keberhasilan hidup seseorang atau sebuah negara.
Namun, pada dasarnya pendidikan mampu membentuk daya berpikir, penyelesaian masalah, dan karakter (moral) seseorang. Dengan tingkat pendidikan yang merata di sebuah negara, maka akan tercipta ekosistem orang-orang berpendidikan.
Ekosistem tersebut tentu saja lebih memudahkan dan lebih berpeluang dalam membantu mewujudkan sebuah negara menjadi negara maju, dibandingkan dengan ekosistem dengan pendidikan yang tidak merata.
Mari kita lihat sejenak data tingkat pendidikan di Indonesia.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2017, rata-rata Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Indonesia untuk anak usia 7-12 (jenjang Sekolah Dasar) adalah 99.14%. Sedangkan, untuk anak usia 13-15 (jenjang Sekolah Menengah Pertama) adalah 95.08%. Artinya ada 4% anak Indonesia putus sekolah di jenjang Sekolah Dasar.
Sementara itu, Angka Partisipasi Sekolah pada anak usia 16-18 (jenjang Sekolah Menengah Atas) adalah 71.42%. Artinya ada sekitar 25% anak-anak Indonesia tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SMA sederajat.
Bahkan, menurut data BPS tahun 2017 Angka Partisipasi Sekolah anak-anak Indonesia usia 19-24 yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi hanya sebesar 24.77%.
Apabila tujuan dari sistem zonasi sekolah adalah untuk meningkatkan tingkat pendidikan di Indonesia, apakah sistem zonasi sekolah-sekolah adalah kebijakan yang tepat?
Pada dasarnya faktor utama penghambat seorang anak untuk bersekolah adalah faktor ekonomi, disamping faktor kemauan (psikologi), faktor budaya (kehidupan bermasyarakat), faktor keamanan, dan faktor lainnya.
Apabila kebijakan zonasi mampu membantu menurunkan beban ekonomi yang menghambat pendidikan seorang anak, maka hal tersebut adalah ongkos sekolah yang lebih hemat.
Namun, meskipun tanpa sistem zonasi, masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi rendah hampir tidak mungkin memilih sekolah yang jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka akan cenderung memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggal.
Apabila sistem zonasi dimaksudkan untuk meratakan kualitas pendidikan di Indonesia, maka hal tersebut cukup masuk akal. Namun, apakah skala prioritas pendidikan di Indonesia adalah meratakan pendidikan secara kualitas atau kuantitas? Atau bisa keduanya? Mengingat rata-rata tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah.
Sementara itu, salah satu penyebab rendahnya tingkat rata-rata pendidikan di Indonesia adalah sedikitnya jumlah sekolah dan tenaga pengajar.
Menurut data BPS tahun 2016 data jumlah Sekolah Dasar adalah 147.536. Sedangkan, jumlah Sekolah Menengah Pertama adalah 37.023 dan jumalh Sekolah Menengah Atas adalah 12.689.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin berkurang jumlah sekolah yang ada.Â
Ini juga merupakan salah satu penyebab banyaknya jumlah putus sekolah di Indonesia. Banyak anak-anak Indonesia yang terhambat pendidikannya, karena jarak sekolah dari tempat tinggal mereka puluhan kilometer, bahkan ada juga sekolah yang terisolasi.
Nyatanya, di negara-negara maju, para orang tua sebagian banyak memberikan pendidikan home schooling kepada anak-anaknya. Mereka tidak didampingi para pengajar professional dan fasilitas sekolah. Hasilnya tidak jauh berbeda dengan anak-anak yang memperoleh fasilitas pendidikan di sekolah.
Apabila benar sistem zonasi tidak mempedulikan nilai, maka dikhawatirkan kemauan untuk bersaing (competitiveness) bagi generasi penerus bangsa akan hilang. Semua orang akan sama, tidak ada kepala atau ekor, tetapi badan semua.
Sistem zonasi juga membatasi pergaulan sosialisasi seorang anak hanya di lingkungan itu-itu saja (sekitar rumah dan sekolah). Positifnya adalah orang tua lebih mudah mengawasi anak-anak mereka dan mencegah dari pergaulan negatif (lebih menekankan hal-hal agama, lebih protektif, dan mengurangi kebebasan anak).
Jika melihat kasus Mawar dan Melati, apabila mereka berada di sekolahan yang sama akibat dari kebijakan zonasi, apakah akan menjamin perubahan nasib Melati menjadi lebih baik?
Apakah sistem zonasi akan mempengaruhi jarak antara sekolahan yang terisolasi di daerah-daerah tertinggal? Karena, penambahan jumlah sekolah dan pengajar akan jauh lebih berpengaruh dalam memutus jarak, sedangkan sistem zonasi hanya efektif di kota-kota besar (metropolitan).
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H