Mawar sejak balita telah mengenyam pendidikan yang layak, sementara Melati tidak. Jangankan untuk memikirkan pendidikan, Melati lebih disibukan dengan urusan menyambung hidup.
Hingga tumbuh dewasa, Mawar terus menerus melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi dan berkualitas.Â
Kemudian, Mawar mendapatkan kesempatan bekerja atau membuka usaha. Mawar menikah dengan jodohnya yang sederajat, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan mapan.
Setelah menikah dan dikaruniai anak, anak dari Mawar memperoleh pendidikan yang layak seperti kedua orang tuanya. Hal tersebut berpeluang untuk terus terjadi bagi generasi keluarga Mawar.
Sementara itu, Melati yang berasal dari keluarga kurang mampu memperoleh pendidikan yang kurang layak atau bahkan berpeluang untuk putus sekolah.
Diasumsikan, apabila Melati menonjol di sekolah, maka ia memiliki kesempatan untuk memperoleh beasiswa dan memperbaiki kehidupannya. Namun, apabila Melati tidak terlalu menonjol di sekolah atau bahkan putus sekolah, maka kehidupan Melati sulit berubah.
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, Melati akan kesulitan meningkatkan taraf kehidupannya. Melati akan menikah dengan jodohnya yang sederajat, sehingga kehidupan yang kurang layak di keluarga Melati akan terus terjadi dari generasi ke generasi.
Jika, ada ribuan generasi keluarga Mawar dan generasi keluarga Melati di sebuah negara, maka hal tersebut akan menciptakan kesejangan sosial di masyarakat.
Jadi, meski tidak menjamin 100% mengubah hidup seseorang, namun pendidikan tetap dapat menjadi elevator yang menbuka peluang kehidupan seseorang menjadi lebih baik.
Skala Prioritas Pendidikan Indonesia
Kisah Mawar dan Melati tersebut salah satu alasan education gap mampu mempengaruhi social welfare gap (kesenjangan sosial). Kesenjangan sosial menghambat laju pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menjadi negara maju.