Mohon tunggu...
Finka Nur Annisa
Finka Nur Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 2 - SMAN 1 Padalarang

do what u love

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dandelion

26 Februari 2022   02:37 Diperbarui: 26 Februari 2022   08:59 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Udara dingin menusuk kulit putih Haezel kecil. Membuat tidurnya terganggu dan terpaksa membuka perlahan kedua mata indahnya. Saat terbangun  ia merasa ada yang janggal, ia tidak menemukan sang ibu disebelahnya.

          "Ibu? Kau dimana?" Dari matanya yang masih mengantuk, Ia melihat sang ibu menghampirinya dengan tergesa-gesa.

          "Ada apa bu? Kenapa Ibu berlari?" Tanya Haezel dengan heran.

          "Ayo bangun nak, ikut ibu," suruh sang ibu.

          "Memangnya kita mau kemana Ibu?"

          Pertanyaan Haezel tidak dijawab. Tak lama, Haezel merasa tubuhnya melayang di dekapan sang ibu. Ia dibawa menuju mobil dan ditempatkan di kursi sebelah Ibunya yang akan menyetir. Saat melirik kesamping, Haezel baru menyadari bahwa ibunya sedang menangis. Haezel memilih diam karena merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Pertanyaan sebelumnya saja belum terjawab. Tidak lama kemudian Ibu Haezel menancapkas gas mobilnya dan melaju menembus rintik hujan yang cukup deras di malam itu.

          "Ayo Haezel, kita turun."

          "Baik bu," Haezel yang saat itu masih berusia 5 tahun, berjalan sambil digandeng oleh sang ibu menuju ketempat yang sebenarnya tidak asing bagi Haezel karena tempat tersebut merupakan tempat Ayahnya bekerja.

          "Ibu mengapa kita ke rumah sakit malam-malam begini?" Saat pertanyaan tersebut terucap, Ibu Haezel tiba-tiba menghentikan langkahnya.

          "Ayah kecelakaan," ucapan Ibu Haezel membuat Haezel terkejut.

          "A-Ayah hiks," Haezel mulai menangis dan tak lama digendong oleh sang ibu. Ibu Haezel mempercepat langkahnya agar segera sampai ke tempat dimana Ayah Haezel berada.

          Saat mereka baru saja sampai ke depan ruangan  yang dituju, dalam waktu yang sama dokter Ren yang merupakan teman dekat dari kedua orang tuanya keluar dari ruangan itu dengan wajah yang sulit diartikan.

          "Bagaimana kondisinya Ren?"

          "Maaf, Senna" ucap Dokter Ren dengan sangat berat dan nada penuh penyesalan. Dokter Ren pun terlihat tidak dapat menahan air mata yang sejak dari tadi ia tahan di ujung matanya.

          "Aku ingin melihat dia," Dokter Ren mengangguk dan mengambil alih untuk menggendong Haezel. Haezel melihat Ibunya yang menghampiri Ayahnya yang terbaring di ranjang rumah sakit itu. Tangisan yang menyayat hati pun mulai terdengar di kedua telinga mungil Haezel.

          "Dokter Ren, apa Haezel sudah kehilangan Ayah?"

***

Ingatan Haezel

           Awan kelabu menyambut Haezel yang baru saja keluar dari sekolahnya, Taman Kanak-kanak yang cukup elite yang berada di kota Kembang. Haezel dan anak-anak lain ditemani gurunya untuk memastikan bahwa semua anak sudah dijemput oleh orang tua mereka.

          "Ibu mana ya," gumam Haezel. Ia sedikit kesal karena tinggal dirinya yang belum dijemput.

          "Sebentar lagi Ibumu pasti datang," ucap Ibu guru meyakinkan Haezel.  Haezel terlihat cemberut, membuat wajah yang memiliki pipi tembam itu semakin menggemaskan.

          "Huff, padahal Ibu janji mau belikan Haezel Ice cream sepulang sekolah. Tapi sepertinya tidak akan jadi"

          "Kenapa Haezel bisa berpikir tidak jadi membeli Ice Cream itu?" tanya Ibu guru.

          "Ibu guru, sekarang mendung. Sebentar lagi mungkin hujan. Kalau hujan Ibu Haezel suka melarang Haezel makan Ice Cream," balas Haezel dengan gemasnya.

          "Oh begitu ya"

          Tak lama kemudian, tiba mobil yang tentunya sangat familiar bagi Haezel. Saat mobil tersebut berhenti bukan raut wajah ceria yang Haezel tampilkan, melainkan wajah yang terlihat kebingunagan. Ibu guru pun sedikit bingung karena ini bukan mobil yang biasanya Ibu Haezel gunakan untuk menjemput Haezel.

          "Haezel, ayo pulang," kalimat itu terucap saat orang itu keluar dari mobilnya.. Orang itu menghampiri Haezel sambil tersenyum manis.

          "Ayah!" Haezel berlari ke pelukan sang Ayah, memeluk sang Ayah yang akhir-akhir ini sangat sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak pulang kerumah selama seminggu ini.

          "Terimakasih Ibu guru sudah menemani Haezel, kami pamit pulang"

          "Baik pak, sama-sama"  Haezel dan Ayahnya pun memasuki mobil hitam milik ayahnya itu.

          "Kenapa Ayah yang menjemput Haezel?"

          "Apa Haezel tidak senang jika dijemput oleh ayah?" ucap sangat ayah dengan raut wajah sedih.

          "Tentu saja sangat senang ayah, Haezel hanya bingung kenapa Ibu berjanji akan membeli Ice Cream untuk Haezel sepulang sekolah, padahal Haezel dijemput ayah"

          "Sebenarya ayah yang akan membeli Ice Cream untuk Haezel, ayah menyuruh Ibu untuk tidak memberutahu Haezel"

          "Ooh seperti itu, tapi ayah sekarang hujan. Ibu suka mengomel jika Haezel makan Ice Cream saat hujan"

          "Tidak apa-apa, kita akan tetap membeli Ice Cream. Memangnya Haezel saja yang mau? Ayah juga mau dong"

          "Asikkk, terima kasih ayah!"

          "Jangan beritahu Ibu ya. Ini rahasia ayah dengan princess ayah saja" dilanjutkan dengan kedipan satu mata yang menjadi ciri khasnya.

          "Siap ayah!" Haezel pun mencoba berkedip seperti ayahnya, namun realitanya ia tidak bisa dan malah mengedipkan kedua matanya secara bersamaan. Ayah Haezel yang melihatnya terkekeh dan sangat gemas pada tingkah putri kecilnya.

***

 

Red Rose

          Dua minggu telah berlalu sejak pemakaman Ayah Haezel dilaksanakan. Di rumah yang menjadi saksi keharmonisan keluarga kecil itu terlihat sangat sepi. Dua perempuan telah ditinggal pergi oleh sosok pelindung mereka. Walaupun biasanya mereka memang sering menjalani hari-harinya tanpa Ayah karena tengah sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit, rasanya kini sangat berbeda. Kosong dan hampa, ini kata yang tepat untuk menggambarkan  isi hati dua perempuan itu.

          "Haezel sedang apa?" sang Ibu bertanya pada gadis kecil yang terlihat sedang memandang foto sang Ayah. Haezel tidak memberi jawaban.

          "Haezel," Ibu memannggil namanya kembali sambil menepuk pelan pundak kecil itu.

          "Eh Ibu," sentuhan tangan sang ibu membuat Haezel tersadar dari lamunannya.

          "Jangan melamun dong, Ibu panggil tidak menyaut"

          "Hehe..maaf  bu"

          "Haezel rindu Ayah ya?" 

          Pertanyaan sang Ibu membuat Haezel kembali memandang foto Ayahnya. Sebenarnya bukan Ayah saja yang berada dalam foto itu. Foto yang Haezel pegang merupakan foto kedua orang tuanya yang sepertinya diambil saat Haezel belum lahir. Tapi Ibu Haezel tau putrinya itu hanya sedang memandang Ayahnya.

          "Ibu..hiks..Haezel rindu ayah"

          "Kemarilah," ucap Ibu sambil merentangkan kedua tangannya dengan maksud ingin memeluk putrinya.

          "Apa Ibu tidak merindukan Ayah?" Tanya Haezel yang terheran mengapa Ibunya terlihat baik-baik saja.

          "Tentu saja Ibu merindukannya"

          "Kenapa Ibu tidak terlihat sedih sekaranag?"

          "Ibu tidak mau Ayah menjadi sedih."

          "Maksud Ibu?" Ucapan Ibunya itu tidak dipahami oleh Haezel.

          "Kalo kita sedih, Ayah juga sedih. Jadi Haezel tidak boleh menangis lagi ya."

          "Baik Ibu, Haezel tidak ingin Ayah ikut menangis"

          "Bagus," ucap Ibu Haezel sambil tersenyum lembut.

          "Ibu, kenapa banyak yang memberi kita bunga?" Haezel mempertanyakan bunga-bunga yang terus berdatangan entah darimana.

          "Karena banyak orang yang menyayangi kita termasuk menyayangi Ayah," lagi-lagi, Ibu Haezel berucap sambil tersenyum lembut.

          "Apa itu bunga mawar bu? Haezel lihat bunga itu yang paling sering diberikan pada Ibu"

          "Iya itu bunga mawar, pintar sekali anak Ibu"

          "Iya dong, di sekolah Haezel belajar nama-nama bunga yang cantik bu."

          "Apa Haezel tau mengapa banyak yang memberi kita bunga mawar merah?"

          "Tidak tahu bu, memangnya kenapa?"

          "Mawar merah memiliki arti cinta dan semangat. Di situasi kita sekarang, mereka yang memberi kita bunga menyemangati kita agar tetap tegar dan siap melangkah menghadapi kehidupan di hari yang akan datang tanpa orang tersayang kita yaitu Ayah."

          "Oh begitu bu."

          "Ayo tidur, sudah jam 10."

          "Baik bu."

          Haezel berbaring di dekapan sang ibu. Walaupun pelukannya sangat nyaman, entah mengapa malam ini Haezel sulit tertidur. Biasanya mata indah Haezel tidak bisa menahan kantuk jika lewat jam 9 malam.  Tak lama terdengar isakan tangis Ibunya. Sudah ia duga, sedari tadi Ibu menahan tangisannya.

         

***


Inspirasi Haezel

          Hembusan angin sejuk menerbangkan kumpulan dandelion kecil. Kicau burung yang beradu pun terdengar seperti sedang menyambut datangnya mentari pagi. Di hari yang cerah itu Haezel sudah siap untuk sekolah. Rambut yang beraroma strawberry itu di kepang oleh sang ibu seperti Elsa, tokoh animasi favoritnya. Haezel pun berangkat bersama sang ibu.

          "Sudah paham kan penjelasan Ibu guru mengenai cita-cita?"

           "Sudah bu guru" Kata salah satu anak dengan semangat

          "Paham bu guru" Ucap yang lainnya

          "Okay kalau sudah paham tugas kalian di rumah adalah menulis cita-cita kalian di buku tulis ya"

          "Baik bu guru"

          Seperti biasa Haezel dijemput oleh sang ibu. Saat sudah sampai rumah, Haezel segera berganti pakaian dan mulai makan siang yang sudah disiapkan Ibunya di meja makan. Biasanya, Ibu Haezel juga menyiapkan makan siang yang diantar ke rumah sakit untuk Ayahnya. Sebenarnya hal itu tidak setiap hari dilakukan. Jika situsai rumah sakit sedang penuh, Ayah Haezel akan menyempatkan waktu memberi kabar dan menyampaikan pesan tidak perlu mengantarkan makan siang. Yah itu hanya kejadian dulu, tidak akan pernah terjadi lagi.

          "Ibu, apa cita-cita Ibu?"

          "Hm? Cita-cita ya. Sebenarnya dulu Ibu ingin menjadi dokter seperti Ayahmu"

          "Lalu mengapa sekarang Ibu menjadi designer? Apakah cita-cita itu tidak semuanya bisa tercapai?"

          "Ibu tidak segiat dan serajin Ayahmu, Ibu juga menyadari sebenarnya Ibu memiliki keahlian di bidang design"

          "Jadi bu, cita-cita itu harus sesuai dengan kemampuan kita?"

          "Tidak juga Haezel, kalo kita merasa tidak memiliki kemampuan di bidang yang kita inginkan kita bisa mengusahakannya. Itu artinya kita harus belajar dengan giat agar kita bisa mencapai cita-cita kita"

          "Oh begitu bu, apa dulu cita-cita Ayah ingin menjadi dokter?"

          "Iya, ayahmu sangat ingin menjadi dokter"

          "Berarti Ayah rajin belajar ya bu sehingga cita-cita Ayah bisa tercapai"

          "Iya, betul sekali. Apakah Haezel sudah menemukan cita-cita Haezel?"

          "Aku ingin menjadi dokter seperti Ayah!"

***

Haezel Dandelion

          Tahun demi tahun berganti, Haezel melewati masa kecilnya tanpa sosok Ayah. Masa kecilnya penuh dengan rasa iri dan kecemburuan melihat kebersamaan teman-temannya yang masih memiliki Ayah. Rasa rindu Haezel semakin lama semakin besar seiring bertambahnya usia Haezel. Kini Haezel telah tumbuh menjadi wanita cantik dan tentunya cerdas. Ia menjadi mahasiswa kedokteran Gigi tingkat akhir. Tentunya langkah yang ia ambil ini untuk mengikuti jejak sang Ayah di dunia kesehatan. Impiannya kini tercapai berkat usahanya dan tentunya berkat dukungan sang Ibu, tak lupa Tuhan yang  selalu menemani dan memberi jalan untuk Haezel.

          "Haezel," panggil seseorang.

          "Haezel... nak, jangan melamun!" panggilnya sekali lagi sambil menepuk pelan pundak Haezel.

          "Eh Ibu," balas Haezel yang dengan refleks menegakkan badannya dari senderan sofa rumahnya.

          "Sedang memikirkan apa? Apa tugasmu membuatmu stress lagi?" tanya sang Ibu

          "Tidak bu, tentunya tugas Haezel telah selesai dikerjakan" Ibu Haezel tidak heran akan hal ini, putri satu-satunya itu memang anak yang rajin dan juga cerdas.

          "Terus tadi kau memikirkan apa?"

          "Ah tidak bu, tadi tiba-tiba saja Haezel teringat masa kecil Haezel," Haezel berucap sembaril tersenyum manis, tetapi matanya terlihat berkaca-kaca dan hal itu membuat ucapan yang keluar dari mulut Haezel itu terlihat palsu.

          "Yakin hanya memikirkan itu?" ucap Ibu Haezel dengan nada menyindir.

          "Ibu memang benar-benar Ibunya Haezel. Tau saja jika aku tidak jujur," ucap Haezel lalu terkekeh.

          "Ish kau ini ada-ada saja, tentu saja aku ini Ibu kandung mu"

          "Baiklah aku akan jujur, mungkin Ibu sudah bosan jika mendengar kalimat ini dari mulutku. Haezel rindu Ayah,"

          "Hm sudah Ibu duga. Tidak usah berkata seperti itu. Kau pun tahu kalau Ibu juga selalu rindu Ayah."

          "Iya juga ya," Haezel mengiyakan perkataan sang Ibu dengan wajah polosnya.

          "Tidak apa-apa kalau kau selalu mengatakan kalimat itu. Tapi jangan terlarut dalam kesedihan itu sampai membuatmu tidak bisa menjalani hari dengan baik"

          "Baik bu," ucap Haezel mengiyakan nasihat sang Ibu

          "Oh iya sepertinya kau tidak mengetahui arti nama mu. Kau juga tidak pernah bertanya kepada Ibu"

          "Aku pikir namaku ini hanya penggabungan dari tanaman yang kalian suka. Ibu menyukai witch hazel dan Ayah menyukai dandelion," Entah serius entah bercanda, jawaban polos Haezel ini sukses membuat sang Ibu tertawa lepas.

          "Hahaha ada-ada saja kau nak," respon Ibunya ini membuat Haezel ikut tertawa.

          "Haezel Dandelion, tentu saja Ayahmu yang memberi nama ini. Ayahmu memberi nama Haezel karena menurutnya nama itu bagus dan lucu, jadi ibu pun tidak tau arti nama Haezel."

          "Tuh kan apa yang kuduga benar"

          "Tunggu dulu, masih ada nama belakangmu. Dandelion. Mungkin di kehidupan nyata tanaman ini dianggap sebagai hama. Tetapi Ayahmu tidak berpikir seperti itu, ia memilih nama itu dalam arti yang bagus."

          "Memangnya apa arti dari dandelion bu?"

          "Kamu tahu kan dandelion ini seperti apa?"

          "Tentu saja aku tahu, bunga ini mudah terbang jika tertiup angin kan? Didepan rumah juga banyak bu"

          "Nah betul. Dandelion jika tertiup angin akan mudah terbang, membuat bunga ini harus selalu siap menerima angin yang datang dan harus selalu siap untuk ditempatkan ditenpat yang baru. Jadi, Ayah memberimu nama ini dengan harapan agar kau selalu berani, optimis dan selalu siap untuk beradaptasi dimanapun dan situasi apapun yang sedang kau hadapi."

          "Ternyata itu ya, dalam sekali artinya bu"

          "Iya, jadi jika sedang kacau Haezel harus selalu ingat akan hal itu"

          "Baik bu, tentu akan Haezel ingat. Terima kasih Ibu"

          Ayah, terima kasih telah memberiku nama yang sangat indah. Maafkan aku, sekali lagi kalimat ini ingin kuucapkan. Haezel rindu Ayah.   -Haezel Dandelion.

         

         

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun