Mohon tunggu...
Filivi Delareo Wanwol
Filivi Delareo Wanwol Mohon Tunggu... -

Stock Observer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Supernova

1 Oktober 2017   16:52 Diperbarui: 1 Oktober 2017   17:21 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

2035

Tempat ini selalu sama seperti dahulu kala. Pohon beringin yang tersebar dimana-mana merupakan ciri khas tempat ini. Akupun duduk di tempat yang selalu menjadi favoritku dan dia, Pendopo namanya. Waktu menunjukan pukul 10.00, namun dia tidak kunjung datang. Aku berbaring sembari melihat langit-langit pendopo ini. Dulu ketika aku masih SMA, kerap kali kelelawar menjatuhkan kotoran atau sekedar buang air dari atas dan mengenai kami yang sedang rapat, entah itu membahas suatu kegiatan besar atau hanya belajar bersama. Aku tertawa kecil mengingat kejadian itu. Kadang juga saat rapat sedang asik-asiknya, datanglah pak satpam menghancurkan kebahagiaan kami dan menyuruh kami untuk segera kembali ke asrama.

"Hei, baring terus. Ga capek apa?"

Suara ini sangat familiar di telingaku, aku tidak perlu bangkit berdiri untuk melihat siapa yang sedang mengajakku bicara.

"Aku lagi kangen tempat ini aja kok,Vel" ucapku.

"Ga kangen aku?" tanyanya, aku langsung bangun dan menatap dia dalam-dalam.

"Berapa lama sudah kamu menungguku?" dia bertanya sekali lagi sambil merapikan rambutnya.

"Hmmm... kira-kira sudah 2 jam." Jawabku.

Dia lalu mengambil botol air minum, dan memberikannya kepadaku,

"Kamu terlihat dehidrasi. Ga pernah berubah semenjak kita SMA dulu. Kamu pasti minta air minumku."

Aku tertawa terbahak-bahak seraya berkata, "Bahkan ketika kamu sakitpun, aku masih saja meminum air dari botol ini. Ketika basket juga, kamu selalu siap sedia dengan botol ini." Aku langsung meneguk air melalui botol minumnya. Diapun hanya tersenyum. Aku lihat senyuman itu perlahan, tidak ada sedikitpun yang berubah. Hanya ada sedikit kerutan di bagian bawah mata, entah karena dia sibuk bekerja atau mungkin dia sering tertawa.

Dia lantas bertanya, "Jadi, sekarang kamu kerja dimana?"

Aku tertegun, "Bukankah harusnya kamu tahu aku kerja dimana?"

Dia menatapku sinis, "4 tahun tanpa komunikasi dan kamu masih saja berharap aku tahu apa pekerjaanmu? Bahkan kamu mengirimkan pesan yang sungguh aneh kepadaku. Entah itu bisa aku tafsirkan atau tidak maknanya."

"Namun kamu sudah tahu kan maknanya?"

"Ya bagaimana aku tidak tahu, tempat ini cukup bersejarah untuk kita berdua."

Aku tertawa, kembali kuingat-ingat pesan elektronik yang aku kirimkan kepadanya.

 

Dear Vela,

Temui aku. 22 Juli 2022. Gunakan pakaian yang pantas.

Aku tunggu dirimu di negeri seribu bunga.

Tiket pesawatmu juga sudah aku sisipkan disini

                                                                                                Aku,

                                                                                                Altara.

Pesan itu terlalu singkat untuk setiap kenangan yang aku miliki dengan dirinya.

"Kamu selalu misterius. Bahkan pesanmu saja berbentuk seperti itu." Gerutu Vela,

"Lantas, bagaimana kamu tahu bahwa ini tempatnya?"

"Mawar, Melati, Kamboja, Semboja, Anggrek, dan Anthorium. Semua itu memangnya nama apa? Buah-buahan?"

Kembali aku tertawa, "Tempat ini selalu menjadi favorit kita."

Vela mendengus kesal. "Kenapa harus Kinasih?"

Aku menatapnya geli, "Karena Kinasih bagus. Ademmmmmmmm....."

Dia lalu menonjok perutku, benar-benar sakit dan aku tidak bisa berkata-kata.

"Cepat, kamu mau ngomong apa?"

Aku menunjukan gestur kesakitan dan tidak bisa berkata-kata. Lantas dia kembali menonjok perutku dan bertanya, "Kamu mau ngomong apa?"

"Selamat ulang tahun."

Aku mengeluarkan kado yang sedari tadi aku simpan di dalam tas. Kuberikan kado tersebut sambil memegangi perutku yang masih sakit ini.

"Kamu masih ingat?" tanyanya,

"Buka saja." Jawabku ketus sambil memegangi perut yang sakit.

Jatuh sepucuk kertas ketika dia berusaha membuka kertas kado pertama. Vela menatapku pelan sambil memberikan isyarat bertanya apa ini. Aku hanya memainkan alis mata dan menyuruhnya untuk membaca.

Dear Vela,

4 tahun sudah lamanya kita tidak ada komunikasi. Terakhir kali kita berkomunikasi itu kelas 3 SMA. Aku mengatakan bahwa aku harus kembali ke kampung halaman, sebab disana aku ingin membangun desaku.

 Akhirnya keinginanku itu tercapai, aku sukses bekerja bersama kakakku sendiri dalam pembangunan jalur transportasi cepat. Yah seperti yang kamu tahu, itu termasuk proyek pemerintah dan aku dipercaya untuk mengemban tugas yang lumayan berat kala itu. Aku tidak pernah lupa sedikitpun mengenai tanggal ini, 22 Juli.

 Ini merupakan tanggal dimana terlahir seseorang yang aku janjikan kebahagiaan di masa depan. Tahukah kamu bahwa aku selalu ingin datang ke desamu dan berbicara panjang lebar mengenai dunia ini bersama keluargamu? Tapi mungkin itu hanya khayalanku, karena aku sendiri tidak tahu apakah masih dapat diterima oleh keluargamu atau tidak. Tapi, orang tuaku selalu menerimamu.

 Mereka bahkan kerap kali bertanya mengenai keseharianmu, dan yaaaaaa.. aku hanya menjawab sesuai apa yang aku rasakan kala itu. Ketika aku lagi sedih, aku pasti berpikir bahwa kamu juga lagi sedih. Jadi aku bilang ke orangtuaku bahwa dirimu sedang bersedih, walaupun aku tidak sedikitpun tahu kabarmu di hari itu.

 

Aku,

Altara

 

"Benarkah?" Vela bertanya padaku,

"Apa?"

"Kedua orangtuamu menerima diriku apa adanya?"

"Mereka selalu menerimamu,Vela. Bahkan kamu sudah dianggap seperti anak mereka sendiri."

"Tapi,Ra. Setelah apa yang kita lewati selama ini? Setelah permasalahan kita yang menyebabkan kedua orangtuaku tidak lagi menyukaimu. Apakah itu tidak dirasakan oleh kedua orangtuamu?"

"Vela, orangtuaku juga sedih mendengar kabar tersebut. Mereka benar-benar tidak ingin lagi aku berhubungan denganmu. Kedua orangtuaku hanya menyuruh belajar dan belajar di setiap waktunya."

"Lantas?" ucap Vela,

"Namun orangtuaku paham. Bahwa aku sudah dewasa dan bisa menerima apapun perkataan orang terhadap diriku."

4 tahun yang lalu, saat dimana aku mengajak Vela berkeliling kota Jakarta sampai larut malam, aku tidak sadar bahwa hal itu akan berujung pada kebencian kedua orangtuanya terhadapku. Aku sudah meminta izin terlebih dahulu sebelum mengajak Vela jalan-jalan. Namun, aku lupa bahwa Vela mempunyai jam malam dan itu selalu ditegaskan oleh kedua orangtuanya. Ketika aku mengantar Vela, itu sudah pukul 11 malam. Kulihat wajah kedua orangtua Vela yang merah padam menunggu Vela di teras rumah. Belum sempat Vela turun dari motor, aku sudah dicaci oleh kedua orangtuanya. Mulai dari tidak bertanggungjawab, sampai dengan tidak akan pernah memaafkanku. Entah itu permasalahan sepele atau tidak, tapi memang aku yang bersalah atas kejadian ini. Karena aku tidak bisa menghargai aturan jam malam yang sudah ditetapkan oleh kedua orangtuanya.

Vela kembali melanjutkan untuk membuka kado tersebut. Ketika kado tersebut selesai dibuka, dia mendapati kotak kecil yang terlihat elegan.

"Ini apa?" Tanya Vela padaku,

"Buka saja."

Vela membuka kotak kecil tersebut. Ketika dia melihat apa isi dari kotak tersebut, dia bertanya,

"Kamu gila?"

"Memang. Dari dulu malah aku sudah gila." Jawabku santai.

"Tapi ini benar-benar sudah gila." Ucapnya.

Aku kembali tertawa, teringat beberapa tahun yang lalu aku duduk disini bersama dirinya. Mengerjakan soal-soal untuk ujian bersama sambil memakan arum manis yang sangat dia sukai. Kami masih bercerita mengenai kuda poni dan puteri-puteri dalam serial Disney(sebuah rumah produksi untuk film animasi ternama dunia). Masih teringat di otakku bahwa Vela ingin sekali berdansa layaknya Cinderella, dan aku selalu mendengarkan ceritanya walaupun dia sudah mengulangi hal itu beratus-ratus kali.

"Kamu dulu pengen banget jadi Cinderella."

"KENAPA KAMU SELALU MENGALIHKAN PEMBICARAAN, ALTARA? AKU NANYA APA, KAMU JAWABNYA APA!" Bentak Vela, aku hanya tertawa.

Kembali juga teringat saat aku bersama dengannya, kala itu dia ingin sekali bertemu dengan diriku di tempat ini. Dia bahkan menunggu diriku lama sekali. Ketika aku datang, wajahnya terlihat ketakutan tapi dia benar-benar menutupinya. Dia ingin menanyakan sesuatu hal yang sangat penting. Namun, dia memilih untuk diam dan mengajakku berkeliling area ini. Pernah juga aku mengajak dirinya untuk belajar bersama dan diapun mengiyakan. Sesampainya aku di tempat yang dijanjikan, aku hanya mendapati dia sedang mengerjakan keperluan untu eventyang akan diselenggarakan di sekolah. Aku tersenyum melihat dia yang sangat fokus dengan apa yang dia kerjakan, dan tidak pernah sedikitpun terlihat ekspresi kelelahan dari wajahnya.

"Kamu melamun?" Vela bertanya,

"Ah tidak, aku tidak melamun. Aku hanya kelaparan."

Vela yang mendengar jawabanku, mengeluarkan kotak bekal berwarna ungu yang berisikan roti isi. Dia sodorkan kepadaku dan berkata, "Makanlah." Aku melahap roti itu satu persatu.

"Dulu kamu sering buatin aku ini." Ucapku,

"DIAM. MAKAN AJA GAUSAH BANYAK OMONG!" bentaknya.

Aku memakan roti isi tersebut dan meminum air yang dia bawakan. Lalu aku bertanya,

"Apa kabar?"

Dia menonjok perutku, "Mending langsung ke inti pembicaraan. Ini semua apa?"

Aku mengeluarkan secarik kertas dari kantong celanaku, memberikan itu kepadanya dan kembali menatap langit-langit pendopo.

Dear Vela,

Aku sudah menyelesaikan segala sesuatunya. Aku datang kemari hanya untuk menepati janji, bahwa aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku melihat masa depan dari kedua bola mata itu. Entah itu indah atau tidak, selama aku bersamamu aku yakin semua baik-baik saja.

Maafkan aku yang tidak ada kabar selama 4 tahun ini.

Aku,

Altara

 

"APA SEMUA INI, RA?! KAMU KIRA SEMUDAH ITU? KAMU TIDAK MEMIKIRKAN BAGAIMANA PANDANGAN ORANGTUAKU KE KAMU? KAMU ITU UDAH DIBENCI,RA!! DIBENCI!"

Aku terdiam. Kutatap matanya, terlihat tetesan air mata mulai membasahi pipinya yang mungil itu. Aku mengusap pipinya dan berkata, "Tenanglah."

Dia menangis, tapi kali ini aku tidak berusaha untuk menghentikannya. Aku hanya melihat dirinya sembari memakan roti isi yang dia sudah buat.

"Vela, bagaimana pendapatmu? Masih maukah dirimu untuk menerimaku?" tanyaku,

"Kamu benar-benar gila,Altara. Selama 4 tahun ini kamu kemana aja! Aku selalu mendoakanmu agar cepat kembali dan menepati janji itu. Aku udah tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Kamu meninggalkanku tanpa jejak sedikitpun. KAMU KENAPA TIDAK HADIR KETIKA AKU DIWISUDA? KAMU DIMANA SAAT ITU!?" tangisan Vela semakin kuat, aku hanya berdiam diri.

"KAMU MENGHILANG ALTARA. DAN SEKARANG KAMU KEMBALI SEAKAN KITA BAIK-BAIK SAJA! KADO ITU APA MAKSUDNYA!" teriak Vela, "Ya itu cincin untuk melamarmu." Jawabku datar.

"TAPI APA SEMUDAH ITU ALTARA?! APA SEMUDAH ITU KAMU MEMAKNAI SEMUA INI! KASIH AKU ALASAN KENAPA HARUS MENERIMAMU LAGI?"

"Vela, berikan aku alasan kenapa kamu harus menolakku."

Vela tidak dapat menjawab, tangisannya semakin keras tapi tidak ada satu katapun yang terlontar.

"Aku mencintaimu Altara."

Ucapan itu yang selalu aku tunggu, aku tersenyum dan tertawa.

.

.

 "Ya begitu ceritanya,Nak." Ucapku,

Terdengar tepukan tangan dari malaikat-malaikat kecil yang selalu senang mendengar kisahku,  Marcellino Ranoello Riswan dan Christina Fiony Purwaningsih.

"Nah, yaudah sekarang kalian berdua tidur ya."

"Tapi,Pa. ada hal yang aneh. Kenapa papa bisa begitu yakin?" ucap Noel.

"Janji sama papa, sehabis papa beritahu kalian berdua harus tidur. Oke?"

"JANJI!!" teriak mereka berdua.

"Mamamu selalu melihat bintang-bintang di langit ketika SMA dulu. Dia selalu menunjuk setiap bintang yang dia lihat, sedangkan papa sedang melihat bintang yang menunjuk bintang. Mamamu selalu bercerita mengenai betapa indahnya bintang-bintang yang ada di langit sana. Namun papa tidak pernah bercerita betapa indahnya bintang yang sedang papa tatap malam itu. Mamamu selalu ingin menjadi bintang di langit. Namun papa berbicara di dalam hati bahwa mamamu sudah menjadi bintang dalam hidup papa. Hari dimana papa melamar mama, ketika mama mengucapkan bahwa beliau mencintai papa. Disaat itu papa tertawa." Ucapku,

"mengapa papa tertawa? Bukankah kakek dan nenek pernah tidak suka dengan papa?" Tanya Fio,

"papa tertawa karena papa yakin bahwa ada sesuatu yang tidak dapat manusia tolak, dan berkata kepada mamamu... Hayo berkata apaaa??"

"PAPA BERKATA APAAA?"

Air mataku jatuh, tapi buru-buru kuusap sebelum malaikatku menyadari hal itu.

"Vela, tahukah kamu bahwa namamu itu merupakan nama lain dari bintang? Dan tahukah kamu bahwa Altara juga berarti bintang? Ada milyaran bintang di galaksi ini. Namun lucunya, hanya akan ada 2 bintang yang bertabrakan dan menyebabkan supernova. Tahukah kamu bahwa tim peneliti dari Calvin College Michigan memprediksi bahwa pada 2022 akan ada tabrakan 2 bintang? Mereka benar dalam memprediksi itu, tapi masih tidak 100% akurat. Karena ada bintang lain yang bertabrakan, yaitu Vela dan Altara. Kamu dan aku akan bertabrakan, menghasilkan Kita. Ketika Tuhan sudah berkehendak bahwa kita berdua akan bertabrakan, siapa diriku ini yang berhak untuk menolak?" Ucapku. Tak kurasa ternyata air mataku jatuh mengingat hari itu.

Kulihat kedua malaikatku sudah tertidur. Mereka merupakan hasil dari supernova 13 tahun yang lalu. Antara diriku dengan Vela. Aku mengecup kening kedua malaikatku dan berbisik, "Ciptakanlah supernovamu kelak. Malaikat kecilku."

Aku kembali ke kamar, mendapati Vela yang sedang tertidur pulas. Aku mengecup keningnya dan tidur disebelahnya. Mematikan lampu kamar dan menatap bintang-bintang yang didekor sedemikian rupa.

"Supernova." Ucapku sebelum menutup mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun