Mohon tunggu...
Fiksiana Community
Fiksiana Community Mohon Tunggu... Administrasi - Komunitas pecinta fiksi untuk belajar fiksi bersama dengan riang gembira

Komunitas Fiksiana adalah penyelenggara event menulis fiksi online yang diposting di Kompasiana. Group kami: https://www.facebook.com/groups/Fiksiana.Community/ |Fan Page: https://www.facebook.com/FiksianaCommunity/ |Instagram: @fiksiana_community (https://www.instagram.com/fiksiana_community/) |Twitter FC @Fiksiana1 (https://twitter.com/Fiksiana1)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Belajar Bareng] Teknik Menghidupkan Dialog

27 Februari 2016   16:48 Diperbarui: 27 Februari 2016   20:51 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok. Fiksianer Dues K "][/caption]

Hai, Fiksianer...

Kemarin di grup Fiksiana Community para anggota dan admin baru saja belajar bareng tentang dialog. Salah satu poin penting dalam penulisan cerita yang sering diabaikan. Padahal dialog merupakan bagian penting yang membantu memperkuat karakter (tokoh) cerita. *Silahkan bergabung ke FC bila kalian ingin mengikuti sesi #BelajarBareng yang kami adakan. 

*Kembali ke pokok bahasan.

Tentu saja agar mempermudah, kami memberikan gambar di atas untuk kemudian dengan imajinasi yang luar biasa dari para anggota dijadikan cerita fiksi yang seru.

Kendala yang sering terjadi dan menyebabkan kekakuan dalam dialog adalah dialog tags atau tag dialog.

Apa itu dialog tags?

Dialog tags (Tag dialog) adalah; kata-kata atau frase pelengkap yang digunakan setelah atau sebelum dialog.

Seperti; "kata Sasuke", "tukas Naruto", "pekik Sakura", "Tsunade berkata", "keluhnya", "pikirnya" dan lainnya.

Tag dialog ini sangatlah penting karena selain dapat membantu menunjukkan siapa tokoh yang berbicara juga bisa menunjukkan karakter tokoh.

 

contoh:

“Saya menghabiskan dua piring nasi," kata Bima. ~> Kata Bima adalah tag dialog (dialog tags).

Jika sebagai pembaca kita bisa bosan membaca kata yang diulang-ulang. Maka sebagai penulis sekaligus pembaca kita perlu berpikir untuk menggunakan kata-kata lain agar tulisan lebih bervariasi dan enak dibaca dalam membuat sebuah karya tulis.

Tag dialog tidak harus berada di akhir kalimat atau awal kalimat, pada dialog panjang tag dialog bisa diselipkan di tengah-tengah.

Inti dari program belajar bareng FC kali ini adalah; bagaimana menghindari dialog yang kaku. Dialog yang kaku memang tidak akan menghancurkan cerita atau tulisan kita, tetapi dapat membuat pembaca terganggu dan tidak nyaman dalam membaca.

Contoh:

-dialog kaku

"Halo, Jane, kamu nampak sedih hari ini," sapa Charles.

"Benar, Charles, aku sedang sedih hari ini. Apa kamu ingin tahu alasannya?"

"Tentu, Jane, aku ingin tahu alasanmu sedih hari ini."

"Aku sedih karena anjingku sakit dan mengingatkanku pada kematian ayahku dua tahun lalu yang secara misterius."

 

-dialog tidak kaku (dialog yang lebih hidup)

"Jane, ada apa?" tanya Charles.

Jane mengangkat bahu, memandang ke luar jendela. "Anjingku sakit. Mereka tidak tahu sakit apa."

"Itu kabar yang buruk, tapi, Jane… yah, dia sudah tua. Mungkin memang sudah waktunya."

Tangan Jane menggenggam ambang jendela. "Hanya saja, hanya saja, apa kamu pikir dokter akan mengetahuinya?"

"Maksudmu dokter hewan?" Kening Charles berkerut.

"Ya. Apapun." Jane berguman lirih, hatinya perih ketika apa yang terjadi pada anjingnya justru membuatnya mengenang kembali kematian ayahnya yang masih menjadi misteri.

 

**CMIIW, materi disarikan dari berbagai sumber.

 

Di sini kami tampilkan beberapa hasil belajar kemarin;

 

 

Geng Bedebah - by; Sinna Hermanto.

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Lebaran kali ini aku berkesempatan mudik setelah menjadi Bang Toyyib yang tidak pulang selama tiga kali Lebaran dan tiga kali puasa … eh, terbalik, tiga kali puasa dan tiga kali Lebaran. Memang, sih, setelah kontrak pertama selesai, aku segera menandatangani kontrak kedua dengan bos yang sama agar aku bisa mengajukan libur tahunan tepat di hari raya.

Tahniah... Tiga tahun berselang, jalan Makadam telah berubah aspal. Listrik sudah masuk desa. Anak-anak kemarin sore pun tumbuh menjadi "dedek-dedek gemes". Sarah salah satunya. Saat aku tinggal dulu, keponakanku itu masih suka berhujan-hujan dengan hanya memakai kaus singlet dan celana dalam, kini ia sudah berkerudung. Ngajinya sudah sampai Iqra 6.
Sembari menyusuri jalan baru sepulang salat id, aku menggoda kakak iparku, ibu Sarah, agar segera nambah momongan.

"Lah, kamu kapan nikah?"

Skak mat! Bumerang! Tau gini, aku tidak akan tanya. "Anak presiden aja jomblo. Apalagi aku, aku hanya butiran debu," jawabku.

Tuk. Sebuah jitakan mendarat. Itu ulah kakak tertuaku, ayah Sarah. "Ngusap ingus aja belum bersih. Masak anak-anak udah punya anak?"

"Nggak apa-apa kok, Mas. Aku bersedia dilangkahi Rizki asal pelangkahnya tiket pesawat PP ke Timbuktu," sela kakak keduaku, Ilham.

"Enak aja. Mas Ilham dulu, dong."

"Si Ilham, kan jomblo juga. Jangankan nancepin cinta, nancepin batang singkong aja nggak numbuh." Kemudian terdengar gelak tawa dari bibir Ayah Sarah.

"Bedebah! Gini-gini gak asal nancep juga, keles."

"Orientasimu itu nggak jelas, Dik. Mentang-mentang anak elektro, mainnya ACDC."

Tuk. Jitakan mendarat di kepala kakak pertamaku. Tapi aku tersenyum bahagia. Itu balasa karena menjitakku tadi, batinku.

Bila dibiarkan, verbal bully bagi para tuna asmara ini akan semakin menjadi-jadi.
"Bu, Mas Akbar sama Mas Ilham mulai nakal," rajukku pada ibu. Ia melempar senyum pada ayah. Keduanya terus berjalan beriringan. Lengan ayah melingkar di bahu ibu.

Aku sempat membayangkan, ayah dan ibu melakukan kontak batin. Mereka akan menggunjingkan anak-anaknya yang ternyata telah tumbuh dewasa. Tapi aku yakin, anak-anak yang sudah tidak anak-anak ini akan tetap menjadi anak kecil di mata mereka. Ulah kami memang begitu, selalu begitu.

Ah, ulah bedebah-bedebah macam inilah yang aku rindukan selama di perantauan. Kini bahagiaku makin sederhana, berkumpul bersama keluarga saat hari raya.

***

Anak Kita - by: Arako

 

Idulfitri 2022

"Dia anakmu, Mas?" tanya Nawang pada Doni, lelaki berpeci yang berjalan dengan kaki diseret di sisinya. Mata perempuan 33 tahun itu tak lepas mengikuti sosok gadis kecil berjilbab ungu panjang yang melangkah riang, mendahului dengan kaki mungilnya yang lincah.

Doni mengikuti arah pandangan Nawang. Dia mengulum senyum menatap Zahra, putri kecilnya. Mati-matian Doni menahan butiran yang mulai menggenang pada kedua matanya. Rasanya baru kemarin lelaki gagah itu gemetar ketakutan di ruang bersalin, saat melihat tubuh mungil bayi Zahra kebiruan. Tak hanya itu, tangis pertamanya pun tanpa suara.

Doni lemas ketika dokter mengatakan kecil kemungkinan anaknya akan bertahan hidup. Terlalu banyak masalah sejak dari dalam kandungan. Tapi toh, itu sudah berlalu. Lihatlah, Zahra kini tumbuh sama normalnya seperti anak-anak lain. Sempat divonis tuna wicara, kini malah dianugerahi kecerewetan luar biasa. Sejak sebulan lalu, dia sudah merengek pada Doni minta dibelikan baju baru yang cantik untuk Salat Id perdananya.

"Dia anakmu, Mas?" Nawang mengulang pertanyaannya karena Doni tak kunjung menjawab. Namun Doni, pikirannya sudah melayang ke masa lalu tanpa bisa ia cegah.

***
Januari, 2016
Doni akhirnya menemukan gadis itu. Nawang, dia di sana. Termenung di bantaran kali, ditemani teriknya raja siang ibu kota. Beruntung, sebatang palem botol berdaun cukup lebar mampu menaunginya.

"Menyerahlah, Na," kata Doni. Suara tenornya tampak berhasil membuyarkan lamunan Nawang.

"Mas Doni?" Nawang benar-benar terkejut. Sudah hampir setengah tahun dia tak bertemu Doni. Bagaimana mungkin pemuda itu tahu keberadaannya?

Doni melangkah mendekat, lalu duduk tepat di sebelah Nawang. Nawang memerhatikan, ada yang aneh dengan cara berjalan Doni. Dia tampak tertatih, kaki kanannya seperti diseret.

"Oh ini," kata Doni begitu melihat tatapan 'kau-kenapa' Nawang pada kakinya. "Ikut operasi pekat bulan lalu. Bentrok dengan yang punya kafe, aku terkena peluru nyasar. Lumayan juga, kena syaraf."

Nawang mengangguk tanda mengerti. Matanya dilayangkan pada air kecokelatan di bawah sana, lalu mengalihkan pembicaraan. "Mau apa mencariku, Mas?"

"Bukankah sudah kubilang tadi? 'Menyerahlah, Na'. Kau sudah tidak bisa lari lagi," kata Doni.

Nawang tersenyum pahit. Bibirnya tampak kehitaman akibat terlalu banyak mengisap rokok. Dia sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kafemu sudah tutup. Sebentar lagi semua daerah di sekitar sana akan digusur, termasuk kontrakanmu," kata Doni dengan nada serius. "Kau sudah tidak bisa 'bekerja' lagi, Na."

Nawang memandang Doni tajam. Dia bisa merasakan adanya tanda kutip pada kata 'bekerja' yang diucapkan pemuda itu. Namun percuma saja, dia tak punya hak untuk komplain mengenai itu.

"Kata siapa? Pelangganku masih banyak kok, Mas. Malah enak sekarang bisa langsung ke hotel," kata Nawang. "Aku akan baik-baik saja, asal kalau razia, Mas mau berbaik hati memberi tahuku."

"Na," kata Doni. Suaranya kini memelas, nyaris memohon. "Aku sudah berjanji pada mendiang Ibu Panti untuk menjagamu. Jika kau terus-terusan begini, aku akan dikutuk selamanya di neraka."
"Kalau orang sebaik Mas Doni akan ke neraka? Lantas.... Aku akan kemana? Bahkan neraka pun mungkin tak cukup untuk menghukumku," kata Nawang getir.

"Menyerahlah, Na," kata Doni untuk kesekian kalinya. Namun kali ini suaranya berubah dalam. "Sudah saatnya kau akhiri ini semua. Menikahlah denganku!"

Nawang tersentak. Dia menatap Doni yang balas memandangnya tajam. Nawang berusaha mencari setitik kebohongan di sana. Berharap ada pengingkaran dari apa yang barusan didengarnya. Nihil. Hanya ada kesungguhan terpeta di wajah tampan Doni.

"Aku...," Nawang tergugu. "Aku tak bisa, Mas."

"Kenapa, Na?" tanya Doni. Nyaris frustrasi.

"Dari awal kita sudah tak sejalan. Aku sudah rusak. Tidak bisa diperbaiki lagi. Lagipula," Nawang menunduk, dia menelan ludahnya. "Lagipula, Mas pasti sudah dengar tentang lelaki baik hanya untuk perempuan baik. Mana mungkin, mana mungkin kau bisa menikahiku?"

"Kau benar," kata Doni. Diangkatnya dagu Nawang, hingga wajahnya yang bersimbah air mata terlihat jelas. "Kau benar tentang masa lalumu, Na. Itu tak bisa disangkal, tak dapat diubah. Tapi... Aku di sini bukan untuk menghakimi masa lalumu. Aku hanya berharap bisa menjadi seseorang yang bisa memperindah masa depanmu. Itu saja."

"Ta, tapi...," Nawang mendebat. "Bagaimana karirmu? Tidakkah menjadi aib, seorang polisi yang menikahi perempuan ja--"

"Na," potong Doni. "Dengarkan aku. Aku akan mengundurkan diri dari kepolisian. Kakiku sudah tidak mungkin kembali pulih. Hanya akan merepotkan rekan yang lain. Jika kau menerima lamaranku, kita akan pindah ke desa yang sama sekali baru. Kita akan memulai segalanya dari awal. Kau bersedia?"

Nawang menangis. Air matanya tak tertahankan lagi. Betapa ingin hatinya menjawab iya. Betapa kehangatan sejuta musim panas selalu menjalari sekujur tubuhnya setiap kali bertemu dengan lelaki di hadapannya ini. Namun.... Kenyataan kadang bisa sangat kejam.

"Aku tidak bisa, Mas," kata Nawang tersendat. Hatinya sakit seperti dijejali beribu lembar daun serai. "Aku.... di perutku..., ada anak haram yang aku sendiri tak ingat siapa ayahnya!"

***
"Aw, aduh!" Doni tersandung kerikil karena tak memerhatikan langkahnya. Beruntung Nawang sigap menahan dengan tangannya hingga tak sampai terjatuh.

"Mas Doni!" seru Nawang. "Hati-hati dong!"

Doni terkekeh. Dia senang tangan Nawang melingkari pinggangnya. Tak lagi memedulikan tetangga mereka yang ber-ciye-ciye ria melihat kemesraan keduanya.

"Hey, Na. Kau tadi bertanya, apa dia anakku?" tanya Doni begitu tetangga yang sama-sama baru pulang shalat sudah mendahului.
Nawang mengangguk.

"Bukan," jawab Doni. Dia terdiam sejenak, menghela napas panjang dan pelan-pelan menghembuskannya. "Dia bukan anakku, Na. Dia Zahra, anak kita."

 

Palembang. Bulan hujan 2016.

***

 

Yah, itulah beberapa hasilnya, selengkapnya, kunjungi saja grup FB Fiksiana Community, jangan lupa follow fanspage Fiksiana Community, instagram, dan twitter.

 

 

Terima kasih

Team Admin FC

 

[caption caption="Logo Fiksiana Community"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun